Thursday, April 26, 2007

Bekas Kamp Konsentrasi Buchenwald


Mengabadikan Kebesaran Hati

BUCHENWALD - Mentari di bulan April bergerak ke garis Lintang Utara menandai datangnya musim semi bagi bangsa-bangsa belahan utara. Namun hijau segar dedaunan pada pucuk-pucuk pohon tak tampak di sini. Padahal di kota tua nan cantik Weimar, yang jaraknya kurang dari 30 menit perjalanan dengan bus dari lokasi bekas kamp konsentrasi ini, bunga-bunga indah telah bersemi bersama segarnya pucuk daun-daun.

Pepohonan penuh ranting inilah pemandangan pertama yang menyambut sepanjang jalan paving stone menuju kompleks bekas Kamp Konsentrasi Buchenwald di negara bagian Thuringen, Jerman. Kesunyian alam yang tampak mendung muram berkabut, kian menambah suasana trintrim (tenang memilukan) di Bukit Ettersberg itu.
Inilah lokasi wisata atau lebih tepatnya semacam ziarah batin, bila Anda kuat menanggungnya. Sebab perasaan akan tercekam tanpa ada modifikasi suara buatan atau hal-hal artifisial yang lain.
Pertama di lokasi parkir terdapat gedung manajemen, gedung pertemuan, coffeeshop, reception berserta sinema dan bookshop yang menggambarkan bekas kamp konsentrasi ini. Lalu menyusul hamparan jalan setapak menuju gerbang kamp.
Dari jalan itu dingin udara terasa kian menggigit bersamaan dengan perasaan yang tertusuk-tusuk foto di sudut jalan. Inilah jalan yang harus ditempuh para tahanan NAZI (Partai Sosialis Nasional Pekerja Jerman) menuju tempat kerja paksa di pagi-pagi buta dan kembali larut malam.
”Di bawah iklim yang keras, para tahanan biasanya hanya memiliki selembar pakaian tipis atau seadanya yang tidak layak untuk cuaca musim semi maupun musim gugur, apalagi kalau musim dingin tiba. Para tahanan juga tidak mendapat makanan secara memadai,” tutur Robert Hass yang menjadi pemandu sukarelawan ketika SH mengikuti excursion ke bekas Jerman Timur itu.
Menurut dia, Buchenwald tidak sedahsyat Kamp Konstrasi Auschwitz di Polandia dan Bergen Belsen yang digunakan sebagai tempat pemusnahan para tahanan. Buchenwald lebih berfungsi sebagai kamp pekerja.
”Bagaimanapun kerja bisa digunakan secara sistematis untuk menghancurkan bahkan terkadang membunuh orang. Dengan waktu kerja 14-16 jam per hari, sebagian besar di pertambangan dan di pabrik,” imbuh Robert Hass dari Yayasan Frederich Naumann itu. Sehingga, lanjutnya, menyebabkan sakit berkepanjangan, perlakuan yang kejam hingga penembakan sewenang-wenang serta penyiksaan. Ratusan terbunuh secara sistematis karena kelaparan pula.
Ditambahkannya, mula-mula Buchenwald digunakan sebagai tempat menahan lawan-lawan politik NAZI. Namun belakangan kaum Yahudi, gipsi, homoseksual, tahanan perang dan kriminal kambuhan (Kapos) pun dijebloskan ke kamp ini. Sehingga tidak kurang 250.000 orang dari 30 negara yang pernah ditahan hingga berakhirnya Perang Dunia (PD) II.
Begitu memasuki gerbang kamp, terhampar bekas blok-blok kamp yang telah rata dengan tanah. Kamp yang dibangun tahun 1937 itu hancur berantakan saat serangan udara yang dilakukan oleh pasukan Sekutu tahun 1944.
Serangan perasaan mencekam kian menjadi ketika rombongan bergerak ke kanan. Bangunan tua itu adalah krematorium. Tungku-tungku yang kini dihampari bunga belasungkawa itu tetap saja membuat berdiri bulu roma.
Apalagi di ruang bawah tanah krematorium itu, terdapat cantolan pada dinding. Itulah tempat tidak kurang dari 1.000 orang tahanan meregang nyawa tergantung. Belum lagi lubang di dinding yang digunakan untuk menembak tepat di tengkuk serta tahanan perang yang digunakan untuk percobaan obat-obatan.
Keseluruhan lebih dari 56.000 korban yang nyawanya melayang di Kamp Konsentrasi Buchenwald. Lebih dari 10.000 di antaranya adalah kaum Yahudi.
Keluar dari bangunan tua mencekam itu ada bekas bangunan penyimpanan jauh di belakangnya. Gedung berlantai dua ini kini digunakan sebagai museum untuk memperlihatkan kondisi kamp antara tahun 1937 hingga 1945.
Penderitaan yang tak terkatakan beserta tangis yang tak terdengar menjadi saksi bisu pada barang-barang peninggalan yang kini tersimpan di sana. Patahan sendok, cangkir dekil dan peyot, puluhan sepatu buntung bahkan sepatu bayi berbicara penuh arti.
Di sinilah sejarah itu dibuka terang benderang. Tak ada yang ditutupi, termasuk berbagai kekejian yang membuat bulu kuduk berdiri.
Dengan penuh kebesaran hati bangsa Jerman mengakui seluruh kesalahan yang telah diperbuat Hitler beserta pasukan SS-nya. Sehingga generasi Robert Hass berbesar hati menandaskan, ”Ini dibutuhkan untuk mengenang agar tragedi kemanusiaan ini tidak terulang kembali.”
Apakah kita bangsa Indonesia bisa seperti ini? Mengabadikan kebesaran hati mengakui tragedi kemanusiaan tahun 1965, Tragedi Mei 1998, Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh dan Papua serta kenyataan sejarah Nusantara lainnya? Sehingga generasi berikutnya mengenang kebenaran sejarah serta berjanji untuk tidak mengulang kembali? Semoga!
(SH/mega christina)




Calling

Freedom from Fear, for Food and Family (4F)
Then Read, (w)Riting and (a)Rithmetic (3R)
Those are not enough
We need Purpose and Programming (2P)

Jakarta, 23 April 2007
Inspirasi "Virus of Minds" Richard Brodie

Rindu Untuk Mc

Aku merindukanmu dengan
rindu yang tak terbalas setimpal
Rindu hati kau baca birahi
hati terasa sulit bertemu hati
cuma sepotong logika bersua
Hatiku merindukan hatimu

Singapura, 31 Oktober 2006

Pilihan

Kehidupan yang kupilih
hidup tak mudah
tak sesederhana sebayaku
sekolah, kerja, kawin beranak-pinak
Ini harga mahal kebebasanku
melalui hari berbeda dan berwarna
tak semata rutinitas belaka

Jakarta, 17 Juni 2006

Luka

Dusta menggores
luka menganga
hatiku kembali merana

Kamal, 15 Juni 2006

Lelah

Kaki-kaki cinta
berhentilah
aku lelah
mengikuti

Jakarta, 8 Juni 2006

Pergi

Kalau 'ku pergi
jangan tangisi
ini keniscayaan
ada yang datang
ada yang pergi
ada hidup, ada mati
toh tak absolut
'ku kan hidup dalam sanubari
tulisanku kan bicara dalam diamku

Jakarta, 1 Juni 2006

Cinta

Bak benih jatuh
tak terelakkan 'kan tumbuh
pasang-surut oleh waktu
tak 'kan mati
ikatan emosi yang abadi
kecuali
kau cerabut akarnya
bagai aborsi
mengguncang kehidupan

Jakarta, 11 Februari 2006

Roma, Kota Beribu Pilar Kebesaran

Semburat nuansa merah bertahta di kaki langit, memancarkan warna keemasan Isola Tiberina. Inilah delta kecil di tengah sungai yang membelah jantung Kota Roma. Dari daerah bertanah subur inilah konon cikal bakal kemegahan Kekaisaran Romawi. Tempat ini pula menjadi pilihan titik awal perjalanan menelusuri tempat-tempat yang tak boleh dilewatkan di Roma. Tapi tentu banyak jalan menuju Roma.

Delta yang kini menjadi hunian eksklusif tak terlalu banyak 'bercerita'. Namun bayangan 2.000 tahun lalu mengental pada situs Area Sacra, tak jauh dari Isola Tiberina itu. Dengan kedalaman sekitar 3-5 meter di bawah permukaan badan jalan daerah Largo Argentina, terbayang lebih dari dua milenium empat kuil marmer ini terpendam di perut kota.

Menyusuri Via d.Torre Argentina ke utara sebelum mentari tenggelam, kita akan bertemu Pantheon yang awalnya dibangun Agrippa. Bangunan silinder berdiameter 43,3 meter dengan kubah berlubang (oculus) ini merupakan salah satu gedung penting tanda kebesaran Roma di bawah Kaisar Adrian (118-125). Dari depan, kita akan disambut 16 pilar Corinthian menuju ruang utama yang dibangun kembali menjadi Gereja Madonna dan Para Martir sejak tahun 604 dan makam seniman besar Raphael.

Menyeberangi jalan protokol Via Del Corso, malam itu perburuan menapaki jalanan batu hitam berusia 2.000 tahun, berakhir di Fontana di Trevi. Ke Roma terasa belum lengkap, kalau belum melempar koin ke kolam ini seraya make a wish kembali ke Roma. Kolam dengan arsitektur gaya barok karya Nocola Salvi ini sangat menawan ditimpa sorot lampu di malam hari. Malam kian romantis menapaki jalan pulang menghampiri Piazza di Spagna yang terkenal dengan tangga Spanish Steps-nya.

Citta del Vaticano
Negara mungil Vatikan di barat Kota Roma menjadi pilihan melewatkan pagi dengan memandangi kemegahan Basilika Santo Petrus dari Piazza San Pietro. Kubah raksasa yang dibangun Michelangelo di tahun 1546 nampak harmonis, tegak lurus terhadap obelisk dengan colonade berbentuk elips ciptaan Bernini.

Basilika yang mampu menampung 50.000 orang ini memiliki tidak kurang 500 pilar, 50 altar dan tidak kurang dari 450 patung. Di sini pengunjung tidak akan melewatkan masterpiece Michelangelo, Pieta dan patung perunggu Santo Petrus karya Arnolfo da Cambio. Dan jangan lupa menengok keindahan lukisan serta mozaik di kubah-kubah balisika. Selain itu kita dapat mendaki kubah raksasanya dengan lift.

Tamasya menyegarkan mata belum berakhir dengan mengunjungi Kapel Sistina dan Museum Vatikan. Lukisan malaikat menyentuhkan jari-jarinya di langit-langit kapel baru merupakan salah satu keindahan karya Michelangelo tentang penciptaan dan pengadilan terakhir. Belum lagi lukisan-lukisan rennaissance yang memenuhi dinding bangunan.

Bagi peziarah, Roma memiliki ratusan kapel hingga gereja dengan arsitektur yang menawan dan nilai sejarah tinggi.

Foro Romano
Inilah bekas pusat Kekaisaran Romawi yang dahulu menguasai hampir seluruh Eropa hingga Asia kecil dan Afrika utara. Dari Via dei Fori Imperialli pilar-pilar dan bongkahan marmer tanda kebesarannya teronggok bisu. Di situ ada sebuah museum kecil yang memutar film rekonstruksi Forum Romanum itu, mulai dari Julius Ceasar, Forum Augustus, Forum Vespasianus, Forum Nerva dan Forum Traian yang sebagian tersembunyi di bawah jalan batu Via dei Fori Imperialli.

Dari jalan besar itu berdiri megah Colosseum yang dibangun Kaisar Vespasianus mulai tahun 72. Dengan tinggi 47 meter, panjang 186 meter dan lebar 153 meter, bangunan raksasa oval ini dulunya tempat para gladiator berlaga melawan singa maupun binatang buas lainnya. Dengan merogoh kocek 10 euro, sebelum matahari terbenam pengunjung harus antri memasuki salah satu landmark Kota Roma ini. Dari sana kita bisa menengok Circo Massimo gelanggang pacuan kereta kuda yang terkenal itu.

Fontana
Selain itu Roma modern diperindah dengan ratusan air mancur yang menyegarkan wajah kota, apalagi di tengah terik mentari. Piazza Barberini dengan Fontana Trotone merupakan salah satu masterpiece Bernini yang menggambarkan curahan air dari kerang besar yang disanggah empat lumba-lumba. Jangan lewatkan juga Piazza Navona dengan tiga air mancur indah dan arsitektur bangunan berbalkon tua dulunya pasar sentral abad XVI di sekelilingnya.

Roma juga memiliki ratusan obelisk yang tersebar di segala penjuru kota dengan tempat-tempat umum terbuka yang nyaman untuk bersantai dan berfoto. Seperti Piazza del Popolo dengan dua gereja kembar karya Carlo Rainaldi.

Di luar landmark tadi, terdapat tembok yang disebut Mura Aureliane dengan tinggi enam meter sepanjang 19 kilometer yang mengelilingi 1.400 hektar Kota Roma kuno. Tembok pertahanan kota itu dibangun Kaisar Marcus Aurelius (161-180) dengan sisa yang terlihat di utara Piazza del Popolo.

Jangan lupa menyantap home made ice cream (gelatto) yang bertebaran di seantero Roma. Es krim Italia mempunyai puluhan citarasa yang bakal memanjakan lidah Anda. Roma bakal memanjakan mata, lidah hingga turun ke hati. *

Survival

Tak sejengkal pu tak terjamah
tinggi gunung menjulang
hingga gurun pasir tak bertepi
dengan akalnya
manusia menakhlukkan alam

Moembris-Jerman, 9 Desember 2005

Natural Wisdom

Kecil nampak lemah
rendah seolah tak berdaya
kala hawa dingin menyergap
rerumputan justru berjaya
kala pepohonan dipaksa
merontokkan mahkota
hijau daun tak bekerja
mengalah pada batang
'tuk tetap bertahan

Moembris-Jerman, 9 Desember 2005

Nisbi

Ada batas nisbi
di atas segala capaian
ada yang ats di atas segalanya

Sunrise Schiphol, 20 November 2005

Pelabuhan

Menggaris cakrawala
menembus batas
terbang mengangkasa
menggapai asa
jauh tinggi
saatnya nanti
kembali memijak bumi

Schiphol-Belanda, 20 November 2005

Kelabu

Mega berarak kelabu
kelabu menyaput langit
kelabu menaungi hatiku yang kelabu

Jakarta, 4 April 2005

Sunset

Gilang cerlang cemerlang baskara berpendar
mengisi kaki langit senja
merah bak sangkakala marah
sebelum kelam menerbarkan jubah hitamnya
menakhlukkan hari
sebuah perlawanan melawan kegelapan kah?

Senja dari balkon Kb Kacang Jakarta, 2004

Nilai

Manusia
begitu rentan di kaki-kaki
keterbatasan materi
demikian riskan
di batas-batas nilai
cenderung tak berdaya
di hadapan pesona dunia

Goethe Haus Jakarta, 13 Desember 2003
Inspirasi Film "Lichter"

Tax Payer

Aku bayar pajak
kau makan dari keringatku
tapi apa yang kau lakukan terhadapku?
Tak kau akui aku warganegaramu
uang kau kehendaki konsekuensi kau ingkari
Mbo ceng li!

Imigrasi Tangerang, 23 September 2003
(Kemarahan atas diskriminasi pelayanan publik negeri ini)

Sirene

Atas urgency apa kau bunyikan sirene itu?
Kau usir pengguna jalan menepi
hanya untuk memberi jalan siswa Akademi Militer
Apa hakmu?
Seragam militer itukah legitimasimu?
Baru siswa minta didahulukan,
apalagi kalau jadi perwira
apa pula yang kautuntut?

Jakarta, 17 Desember 2002

Silent Majority

Reformasi bak kuda lepas kendali
riuh reda...
Ku tak pernah menyangka
yang berteriak lantang lah yang memonopoli kebenaran
Silent majority
bak tawanan di bawah kebenaran yang gemetar
tak berbunyi!

Jakarta, Desember 2002

Tapak-Tapak Waktu

Tapak-tapak membekas
dalam ingatan
segar dalam kenangan
tertelan ambang masa
yang terjelang
Tapak-tapak tergoreskan apresiasi
imbau aspirasi
hanyut dalam
aliran alur ambang masa depan

Pantai Ujung Piring-Bangkalan, 1 Januari

Di Ambang Waktu

Alur waktu
betapa nisbi di batas ambang masa
berjalan
tiada surut ke belakang
terus maju tak tertahankan
tak peduli kesiapan
tak hirau kesediaan
seret semua pada alur permainan linier
tak tertawar
Hanya ada satu kemungkinan
tatap ke depan
tapakkan!

Pantai Ujung Piring-Bangkalan, 1 Januari

Tuesday, April 24, 2007

Equil

Presiden baru, Susilo Bambang Yudhoyono terlihat sederhana dan pekerja keras. Namun kulihat 'selera' yang dilekatkan pada sajian tamu negara, kendati pasca tsunami, tetap selera borjouis yang berlebih. Minuman untuk konferensi pasca tsunami bagi para pejabat tinggi adalah Equil, air dari
Pegunungan yang harganya berkali lipat dari air kemasan biasa!
Sebotol Equil nyaris bisa mendapatkan satu karton air kemasan biasa. Negara ini 'miskin' tapi nggaya. Sok!

Jakarta, Januari 2005

Good Words

Dulu kalau aku mengucapkan kata-kata berkaitan dengan kematian atau hal lain yang berhubungan dengan bad luck (nasib jelek), Mama akan melarang ngomong sembarangan (lam sam lok). Mama dibilang itu 'ngalup' mengharapkan itu terjadi.
Setelah nonton The Secret aku jadi ingat ini. Kata-kata yang keluar merupakan refleksi hati dan pikiran, harapan untuk menjadi kenyataan. Self fulfilling prophecy. Karena itu penting untuk berkata-kata baik, untuk 'menghidupkan' energi dan frekuensi positif.

Jakarta, 20 April 2007

John Paul II

Tanggal 2 April 2005, belahan bumi utara masih cukup dingin (untuk ukuran tropis), Paus Yohanes Paulus (YP) II tutup usia. Ini seperti titik stop dari spekulasi kematian beberapa hari, bahkan beberapa kali sebelumnya.
Karol Wotyla konsekuen dengan ajarannya anti-euthanasia. Dia sendiri membuktikan dalam derita, ia menjemput maut dengan tabah setelah bertahun-tahun menderita Parkinsons.
Kapitalisme dan seluruh gemerlap modernisme demikian menghindarkan manusia dari sakit dan derita. Padahal ada makna, pemanaham religius yang mungkin bisa dipandang sadomasochis, di balik penderitaan dan rasa sakit. Sebuah rasa manusiawi yang kehilangan 'daya tarik'nya di tengah gegap-gempita konsumerisme 'membunuh rasa pedih'.
Namun aku sulit menerima doktrin YP II yang anti-kontrasepsi. Bahkan kondom pun dipandang penghalang kehamilan yang tidak membunuh sekali pun.
Namun aku tetap hormat dan bangga memiliki YP II sebagai pemimpin tertinggi
umat Katolik. Bangsa di seluruh dunia pun, tanpa memandang agama, menghormati karya-karya YP II. Hampir semua negara berpenduduk Katolik ia kunjungi.
Ia menentang Amerika dalam Perang Irak dan kapitalisme, sama kerasnya dengan tentangannya terhadap kekejian Komunisme. Di bawah kepemimpinannya, Gereja Katolik menjadi mercusuar moral universal dan pluralistis.

Jakarta, April 2005

Hotel Rwanda

Tahun 1994 aku baru lulus sarjana dari Universitas Airlangga, sibuk mulai bekerja dengan berbagai kegiatan yang tidak ada habisnya, Tutsi massacre lewat begitu saja di benakku, seperti berita lainnya, tidak menggoncang. Pembantaian itu sekedar 'pengetahuan' nyaris tanpa emosi yang bergolak.
Jujur saja, Afrika 'terlalu jauh' (dari unsur proximity berita) dan persoalan bangsa ketertindasan di dalam negeri lebih menyita energi, emosi dan pemikiran di bawah rejim opresif Orde Baru.
Hotel Rwanda, kejadian 11 tahun lalu 'mengaduk-aduk' emosiku di bangku 21 TIM Cineplex. Film ini bahkan mengingatkan pafa 'kekejian' bangsaku terhadap rakyat Timor Leste. Mea culpa, mea culpa... dengan bahu terguncang aku menangisi Rwanda/Tutsi, Timor Lorosae dan negeri-negeri yang tercabik-cabik ketololan hatred.
Aku merasa turut bersalah 'ambil bagian' dalam sejarah hitam ini dengan 'kediaman'. Tanpa berbuat sesuatu, tanpa teriak dan sebagainya bukankah kita setengah setuju dengan semua kejadian bengis itu?
Apalagi aku 'terbang' bersama observers asing dari Dili ketika milisi yang mendapat back up (langsung tak langsung) TNI membumihanguskan Dili dan sekitarnya. Betapa pengecutnya?!
'Penerimaanku' terhadap Gutteres adalah bagian dari 'penebusan' rasa bersalahku. Meski beberapa bulan, setidaknya aku pernah 'memperjuangkan' nasib dan empati terhadapnya. Mungkin nothing, tidak berarti.

Jakarta, mid 2005

Nias Earthquake


Hanya selang 3 bulan, gempa dahsyat berkekuatan 8,7 skala Richter (SR) kembali menghantam Nias dan Simeulue. Memang alam sah dan berkuasa, namun akal budi manusia dikodratkan menguasai alam dalam arti positif. Manusia dengan kecerdasannya seharusnya mampu menghindarkan atau paling tidak meminimalkan dampak bencana (mitigasi).
Belajar dari gempa dan tsunami 26 September 2004, di bawah UN International Strategy for Disaster Reduction, Pusat Peringatan Tsunami Jepang dan Amerika Serikat menyebarkan fax gempa 8,2 SR ke negara tetangga Indonesia. BMG Thailand langsung menyiarkan dan meneruskan berita itu, sehingga penduduk di enam provinsi yang menghadap Laut Andaman dapat menyelamatkan diri. Presiden Sri Lanka dalam hitungan detik diberitahu dan segera muncul di televisi diikuti dentang lonceng dan pengumuman di kuil-kuil.
Indonesia? Ya Tuhan, bebal kali bangsaku ini?! Tengah malam dihubungi televisi, BMG belum bisa memberi penjelasan rinci!
Rakyat tunggang-langgang tanpa koordinasi, hanya 'dituntun' naluri survival. Kalaupun polisi bergerak itu pun spontan bukan atas fakta scientific!

Jakarta, Maret 2005

Sint Nicholas's Temptation

Karitatif dan bergaya Sinterklas memang mudah mendapatkan 'pesona'. Apalagi untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terkenal jaim (jaga image).
Inspeksi mendadak pasca kenaikan bahan bakar minyak (BBM) seperti ajang kampanye menarik simpati rakyat miskin. Perintah memperbaiki muara, rehabilitasi sekolah dan gaya artifisial lain. Sedang Ibu Negara memborong ikan dengan 'lembar merah' Rp 100 ribuan.
Semua ini 'godaan' Sintrerklas'! Presiden, pembuat keputusan publik! Kalau dia mau, dia bisa mengeluarkan kebijakan pro rakyat miskin yang berdampak luas dan jangka panjang secara sistemik-struktural.

Carita, Maret 2005

Reading Habit

Kutelusur masa kecilku, sejak masuk Taman Kanak-kanak Santa Maria, Pap berlangganan majalah Bobo untukku. Secara dini aku berkenalan dengan gambar dan cerita yang kureka, karena aku belum bisa baca waktu itu. Imajinasiku terasah rutin setiap minggu dengan tokoh-tokoh Bobo, bahkan tokoh dunia.
Di Sekolah Dasar (SD) Santo Yoseph, begitu bisa membaca aku mendapatkan buku-buku H.C.Andersen dan dongeng-dongeng dunia yang Pap belikan di Surabaya.
Mulai kelas III SD, Hari Sabtu adalah hari yang kutunggu-tunggu karena buku Perpusatakaan keluar dan kami dapat memilih dua buku untuk dipinjam berakhir pekan di rumah.
Dari Pak Saelan, wali kelasku V SD, aku melahap buku pewayangan lalu menyukai filsafat.
Ketika boleh bersepeda di jalan raya, secara rutin siang lepas sekolah aku ke Perpustakaan umum di belakang Pendopo. Buku-buku know how, ensiklopedi, psikologi dan novel sastra kupelajari dari sana.
Sedang dari perpustakaan romo-romo di pastoran, aku memperlajari buku-buku filsafat dan buku relijius keagamaan, hingga menemukan Ajaran Sosial Gereja.
Di Sekolah Menengah Atas, Cacak memperkenalkanku pada Tolstoy dan sastra Rusia serta filsul-filsuf besar abad XX seperti Bertrand Russel, Frederich Nietzsche dan lain-lain.
Sebelum kuliah pun, bacaanku sudan massif dan bermutu. Tentu aku juga menyukai dongeng Lima Sekawan, Alfred Hitchok, Smurf, Tin Tin, Lucky Luke, Asterix dan lain-lain. Sebuah keberuntungan yang kusyukuri seumur hidup.

Jakarta, 2004

As Simple As Operete?

Bangsa ini terlalu gemar ber-seremoni, tanpa guna! Hari Tanpa Narkoba dirayakan di Istora dengan operet segala. Sepertinya memberantas narkotika sesederhana operet saja! Dengan mudah mereka 'mematikan' musuh. Ilusi!
Tentu slogan saja, katakan "Tidak" kalau narkoba bisa didapatkan dengan relatif mudah, bahkan di penjara sekali pun! Penuh dengan kemunafikan, tak menyentuh akar masalahnya!

Jakarta, 2004

Disable Friendly

Mendarat di Xiamen International Airport, aku mencari money changer. Aih, aku lupa kalau ini negara Komunis dengan pasar terkendali dan rejim devisa tertutup! Maka aku harus menunggu Bank of China buka nyaris 2 jam kemudian.
Tapi aku menyukai kesan pertama airport ini, bersih, teratur dan rapi dengan kesan minimalis gedung kaca light construction. Bahkan toliet pun bersih meski tanpa tissue, menghapus image joroknya bangsa leluhurku ini dalam urusan sanitasi.
Lebih dari itu, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) disable friendly! Mereka punya toilet untuk penyandang cacat!
Petugas kebersihan sedari pagi hilir-mudik dengan tongkat pel di atas lantai keramik abu-abu yang telah bersih. Tong sampah stainless steel berjajar rentang 10 meter untuk memastikan orang mudah menjangkaunya. Kursi permanen stainless steel langsung melingkar pada pilar-pilar airport, kurang ergonomis, tapi kukuh dan mudah dibersihkan. Anti maling pula.
Neat and tidy, kesanku pertama terhadap RRT modern. Tapi ini baru wilayah internasional Xiamen.

Xiamen, 15 Agustus 2004

Korupsi 'Berjamaah'


Check-in Air China lewat tengah malam, dengan berani petugas airlines 'kongkalikong' dengan petugas Imigrasi untuk mengkorupsi pembayaran fiskal. Tentu saja tanda terima, jelas uang Rp 800 ribu akan masuk ke kantong pribadi dan mereka bagi-bagi. Korupsi 'berjamaah'!
Itu pun di boarding gate D4, petugas toilet berani mengutip uang kebersihan, sebuah pungutan liar (pungli). Padahal toilet jorok, tanpa tissue, sabun dan sebagainya. Lantas kemana uang airport tax Rp 100 ribu yang pengguna bandara bayarkan ke Angkasa Pura?
Kalau 'gerbang negara' bandara internasional di ibukota saja seperti ini, apalagi di dalam negaranya?!

Cengkareng, 14 Agustus 2004

Goodbye Local Products?

Indomie. Begitu orang Indonesia meng-generalisasi mie instant, tanpa peduli apa pun merek mie yang mereka lahap. Indomie seakan menjadi 'merek generik' yang identik dengan mie siap saji
itu. Sama seperti orang menyebut Aqua untuk semua produk air kemasan dan masih banyak lagi.
Terlepas dari pro-kontra, bombardir iklan dan ketersediaan massif produk ini merupakan kunci pemasarannya. Produk itu 'hadir setia setiap saat' bahkan seperti hakikat iklan mereka.
Ini sebuah penciptaan kebutuhan (demand create). Di bawah berondong iklan, terasa hidup 'tidak pas' tanpa produk-produk itu . Kekuasaan modal begitu digdaya 'mendiktekan' penciptaan ilusi ini. Notabene yang bisa melakukan ini cuma multinational corporation atau konglomerat.
Produk-produk lokal alias produk daerah tak bakal mampu membayar penciptaan ilusi seperti itu, apalagi gaya marketing andal lain.Tanpa iklan, tanpa promosi, produk lokal perlahan tapi pasti, mati kalau tidak 'sekarat'!
Kalau pulang ke Lumajang, tak kutemui lagi limun temulawak botolan dengan merek tempelan kertas dan 'kempyeng' tutup botol tanpa merek, terlindas gempuran produk CocaCola. Tak ada lagi sabun cuci batangan buatan pabrik tradisional peninggalan Nggua Kong (kakek luar, dari mama), yang tak mampu melawan Sunlight dan Rinso dari raksasa Unilever. Tak ada lgi mie cap
Kembang bal-balan besar yang murah-meriah, kalah dengan 'merek generik' Indomie!

Lumajang, 2004

Globalisasi = Homogensasi?

Di HauptBahnhof Frankfurt am Main dan Koeln (Jerman) kutemui Mc.Donald. Di Bussum dan Hilversum Centraal, huruf kuning Mc.D menyolok. Di depan Ateneo de Manila University, Mc.D bersaing ketat dengan produk lokal Jolly Bee. Bahkan di negara komunis pun, Mc.D eksis di kawasan pedestrian Wangfuching, Beijing.
Mc.D, Starbuck, Kentucky Fried Chicken (KFC) dan berbagai merek global ini seakan menawarkan homogenistas produk dunia.
Produk-produk global yang homogen berhadapan dengan kesederhanaan produk lokal yang begitu bervariasi, nyaris tanpa standard. Produk-produk global yang trans dan multinasional perlahan menggilas produk lokal yang beranekaram itu dengan keseragaman. Kearifan lokal tak terjaga, hilang variasi dan keanekaragaman, tergeser homogenitas produk global!
Nanti ke mana pun kaki melangkah, akan kita temui toko atau counter dengan produk yang sama di seluruh dunia. Menyedihkan!

Beijing, mid Augustus 2004

Transnational Home

Kalau mau jujur, perkara transnasional sebenarnya bukan hal baru. Silk Road telah membuktikan itu dan juga imigrasi China diaspora ke seluruh dunia. Tapi kemudahan terbang ke segala penjuru, belum lagi teknologi serat optik yang kian 'mendekatkan' orang dari ujung dunia satu dengan benua lain. Kita seperti hidup di sebuah kampung besar bernama bumi, dengan bahasa 'internasional' plus kemudahan komunikasi. Orang makin mudah bergerak, berpindah, studi dan bercinta.
Aku meyakini kian banyak transnational marriages. Di Jerman saja (Majalah Deutschland E4 No.3/2003) menyebutkan 1 dari 6 perkawinan adalah transnasional. Dengan demikian kian banyak anak tak lagi hidup secara homogen, kebudayaan maupun ras dan sebagainya. Semakin banyak transnasional home di dunia yang mempertemukan berbagai kultur dunia.
Seperti kata Buntiaw pada anaknya, "You are half Chinese, at least you must have a Chinese sign. If you can't think Chinese philosophy and use Chinese manner, at least you can cook Chinese food".

Beijing, mid August 2004

Spoil Generation

Kehidupan makin mudah, anak-anak Indonesia nyaris dibesarkan dengan memiliki pembantu rumah tangga (terutama kelas menengah ke atas). Perempuan-perempuan modern jadi tidak terbiasa dengah pekerjaan rumah yang tampaknya sepele, seperti mencuci piring-gelas bekas makan-minumnya sendiri. Mereka menjadi tidak sensitif terhadap hal sederhana menghemat air bersih dan tidak membuang-buang makanan.
Perempuan-perempuan muda ini 'sibuk' dengan urusan kecantikan luar belaka dan bekerja di sektor publik, lupa atau bahkan menyepelekan pekerjaan domestik tadi.
Pada zaman ini, tak banyak rumah yang teratur, bersih dan rapi tanpa ada pembantu! Generasi ini 'dimanja' atau menjadi manja di atas ketidakberuntungan sebagian perempuan yang lain.

Jakarta, 2003

Beda Generasi

Dulu waktu aku masih muda, Mam sering membandingkan dengan masa mudanya. Zaman susah dulu, Mam harus membanting tulang dan bekerja berat sedari kecil. Benar-benar kerja otot, domestik dan menghabiskan waktu.
Sementara aku sebagai baby oil bomb, zaman mulai enak. Kehidupan lebih mudah, meski tantangan persaingan kian berat. Sedari kecil, aku tak menyukai kerja otot dan kerja domestik yang menghabiskan banyak waktu. Aku suka tenggelam dalam kamar dengan pena dan kertas-kertas, menulis dan membaca. Atau justru 'beredar' ke luar rumah meluaskan pergaulan, belajar berorganisasi, bertoleransi dan mengenal kehidupan publik.
Aku dan Mam tidak hanya beda generasi secara umur kronologis, tapi juga secara sosiologis. Lingkup hidup Mam hanya rumah-toko dan keluarga besarnya. Hidupku kebalikan 180 derajat. Aku nyaris tak punya rumah tinggal tetap dan belum membangun rumah tangga sendiri, sibuk dengan kehidupan publik.

Jakarta, 2003

Friday, April 13, 2007

Nigeria

Tahun1970-an Nigeria mengedepan karena ledakan harga minyak, seperti Indonesia. Tapi korupsi dan mental memperkaya diri sendiri para birokratnya, sampai kini negeri itu tetap miskin, bahkan jauh lebih parah disparitasnya. Kayak remuk republik ini! Seperti Pertamina di bawah Orde Baru, cuma makelar, bukan perusahaan minyak!
Kini bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi 'harus' naik demi keuntungan Petronas, Shell dan perusahaan minyak asing lain yang siap menyerbu pasar Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) tanpa harga subsidi. Harga BBM yang murah 'tidak ekonomis' buat mereka alias sulit bersaing dengan BBM bersubsidi.
Malangnya rakyat tak punya pilihan, tak ada alternatif. Itu pun harga bisa naik, tanpa ada jaminan harga bisa turun seperti di luar negeri. Lebih parah lagi, harga bahan pokok ikut naik! Malang nian bangsa ini.
Mungkin ini benar-benar seperti Nigeria. Dengan asumsi presiden relatif bersih, tapi tak berani bertindak, apa guna?

Menjelang kenaikan kedua kali harga BBM dalam setahun.
Jakarta, Oktober 2005

Values

Microsoft melaporkan anak-anak kelahiran 1980-an lebih individualistis. Dekade itu permainan serba teknologis, tak banyak lagi anak yang tumbuh di kampung dengan keguyuban dan kolektif. Play Stasion tersebar sampai pelosok kampung, internet dengan games online merambah, jam sekolah makin panjang pula. Bocah tidak lagi punya waktu bermain kolektif sebagai sarana sosialisasi.
Sebuah rekrutmen juga memperlihatkan anak Jakarta mencari kerja demi uang semata. Sementara anak asal Yogya-Solo masih mencari value (nilai) idealisme korporasinya.
Di tengah budaya instant dan mau serba cepat plus mudah, tak banyak pendidikan nilai yang ditawarkan dan dikembangkan. Hasil pendidikan keluarga cepat tergerus budaya instant tadi.
Butuh sebuah penguatan nilai-nilai untuk keberpihakan hidup yang tidak melulu materialistis-egosentris! Butuh orang-orang outward looking yang berorientasi pada kehidupan bersama yang lebih baik.

Jakarta, Oktober 2005

Benedict XVI

Monopoli kebenaran paling kutentang, kendati semua agama besar bersifat hegemonic. Tapi kecenderungan konservatisme dan radikal kembali ke akar Kristianitas yang sempit terlalu 'diusung' Paus yang baru terpilih. Bagiku ini sebuah 'kemunduran' dari inklusivitas Paus Yohanes Paulus (YP) II.
Meski di mataku Paus YP II relatif konservatif pula dalam urusan kontrasepsi, dll, namun keluar relatif progresif. Ini menjadi semacam 'legitimasi' aku kian menjauh dari Gereja Katolik. Bagiku 'wajah' Gereja tidak terlalu menarik berhadapan dengan realitas riil kemiskinan yang absolut di depan mata dan kompleksnya problematika kehidupan milenium ke-21 ini.

Jakarta, April 2005

Memvertikalkan Jakarta

Gedung-gedung pencakar langit, apartemen yang berdiri menjulang kian merebak di metropolitan ini. Hunian-hunian vertikal makin merambah ke segala penjuru menyusul meroketnya harga tanah.
Hidup pada bangunan-bangunan tinggi makin tidak memijak bumi, dalam artian yang sesungguhnya dan konotatifnya. Hidup pada bangunan vertikal kian tinggi gaya dan biaya hidupnya. Semua tersedia asal uang berbicara, kecuali hati yang tak terbeli.

Jakarta, 12 April 2007

Wednesday, April 11, 2007

Highlight "The Secret "

Law of attraction every seconds creating future. What ever you thinking about, creating your future.
The universe will correspond your feeling.
The universe responds your thought.
Like genie said, "Your wishes is my command".
The universe like speed, don't delay!

But is is impossible to control your thought every second, so use your feeling.
Good feeling = good vibes.
Attract good feeling.
Important to feel good (feeling happy), attract more good things.
Start something beautiful, a baby, pet, etc.
Use 'vision board' to put everything that you want to achieve.

Creative process = go to generate.
1. To ask
2. To believe (without doubt)
> to act
3. To recieve.

When you want a change, you must change your thinking/thought. Like when you think a bill or expect the check.
When you visualized then you materialized.

Powerfull process = gratitute!
Use gratitute rock, attitute to gratitute.
Focus on you had, feel grateful what you have.

Dewan Perwakilan Dharmawangsa

Wakil Presiden RI juga ketua umum partai pemenang Pemilu legislatif, bahkan juga sejumlah menteri. Jelas mereka berkepentingan pemerintahannya tidak mendapat halangan yang berarti di parlemen. Lobby setengah kamar terjadi!
Pimpinan-pimpinan fraksi yang bisa mereka 'beli' (tidak selalu dengan konotasi uang) mereka kumpulkan di The Dharmawangsa, sebuah hotel mewah di bilangan selatan Jakarta. Bahkan sebelum Rapat Paripurna dan rapat-rapat signifikan seperti menyangkut hak interpelasi (hak parlemen meminta penjelasan dan pengusutan dari pemerintah), semua telah diputuskan di Dharmawangsa. Di Senayan (Gedung DPR/MPR) cuma tinggal 'sandiwara' saja!
Apa yang bisa diharapkan dari demokrasi macam ini?

Jakarta, Oktober 2005

Tuesday, April 10, 2007

Kwepang

Aku tak paham benar asal-usul dan makna sebenarnya kwepang, mengangkat anak. Yang kuketahui aku di-kwepang ke Engku dan Engkim, koko (kakak laki-laki) kandung mama, lalu aku memanggil papi-mami selain mama-papaku.
Aku menduga ini bukan karena 'jiong' makna buruk karena perbedaan atau persamaan shio, tapi lebih karena sakit dan lain-lain. Dengan di-kwepang, bocah- bocah mendapat perhatian lebih dari sepasang orangtua. Aku ingat betul, sebagai bocah, aku sangat menyukai baju pemberian mami setiap menjelang Imlek.
Aku meneruskan tradisi angkat anak ini pada putri sahabatku, Aliffiati. Ayahnya memanggilku sebagai anaknya. Maka Farah memanggilku Mama Ega. Meneruskan tali persaudaraan yang cross-cutting cultural.

Jakarta, Februari 2007

Makna Kehilangan

Kehilangan bisa menjadi relatif, manakala berhadapan dengan 'total lost'.
Ini terjadi usai keliling dari daerah banjir siang hingga malam, kurang konsentrasi, lelah dan lapar, telpon genggam lepas dari genggamanku. Tapi kehilangan Nokia 7610 yang kubeli Oktober 2005 menjadi seperti 'tidak ada arti' dibanding kehilangan yang menimpa korban-korban banjir, yang tak sempat menyelamatkan harta-bendanya.
Kehilangan juga menjadi relatif, karena toh 'cuma' benda yang bisa dibeli lagi. Meski ada foto di Berlin dan foto anak angkat serta beberapa data yang belum kupindah, itu tetap sebuah benda tak bernyawa.
Kehilangan menjadi kian relatif manakala menjadi semacam tanda untuk melepas masa lalu. HP itu kubeli karena ada call manager yang bisa reject nomor-nomor tertentu.

Jakarta; Sabtu, 10 Februari 2007

Language Without Words

It seems impossible. But it did!
Aku percaya orang bisa berkomunikasi tanpa perlu berkata-kata, meski ini 'bertentangan' dengan pekerjaanku yang berurusan dengan bahasa dan aksara. Sehari-hari kerjaku menguntai kata menjadi tulisan.
Namun dalam relasi keseharian, dengan anak-anak kerapnya, mimik dan bahasa tubuh (gesture) jauh lebih mudah ditangkap. Pada orang-orang dengan 'frekuensi' yang sama dan perasaan aman, bahasa tanpa kata bukan mustahil.
Di balik kata-kata, sesuatu yang latent dari yang manifest ini juga memainkan intuisi, bukan pembaca pikiran (mind reader). Apalagi bila ini berurusan dengan hal-hal yang ingin disembunyikan, seperti ketidakjujuran, kesedihan dan berbagai perasaan negatif lain.
In silentio veritas revalat, dalam diam kebenaran menemukan benderang jalannya sendiri!

Jakarta, 12 Desember 2007

Intimidasi Sosial

"Kapan undangannya? Sudah berkeluarga?" pertanyaan-pertanyaan halus sampai terang-terangan seputar status perkawinan menjadi semacam intimidasi sosial bagi perempuan lajang. Anehnya laki-laki lajang jarang mendapat intimidasi semacam ini. Seakan mereka memiliki priviledge lebih untuk melajang.
Tampaknya ada tabu sosial untuk menjadi perempuan lajang. Ini tampak dari julukan perawan tua, dll. Sementara bujang lapuk jarang dipermasalahkan. Sebuah bias gender! Lebih dari itu, ini sebuah pelanggaran privacy yang sepertinya biasa di adat timur.

Jakarta, Desember 2006

Out of the Box

Setelah beberapa tahun 'absen' dengan kegiatan AJI (Aliansi Jurnalis Independen), mengikuti Training Investigasi Skandal Keuangan Daerah menjadi semacam out of the box, keluar dari rutinitas keseharianku.
Secara teori dan pengalaman Desk Khusus, aku banyak belajar investigasi. Namun refreshing dan menambah ilmu adalah kenicayaan. Selain itu aku butuh keluar dari suasana kantor sejenak. Sejak masuk 'Tim Kecil' bikin business plan, hidupku nyaris rutin antara kost dan kantor. Cuma dua arah dalam seminggu pertanda buruknya kualitas kehidupan sosial. Meski kadang jalan-jalan dengan Ida, ke Keluarga OY di Tibet maupun Gajah di Cikokol.
Ini menjadi semacam 'menentang' rasa imun harian yang bikin tumpul pikiran. Refreshing ilmu macam begini perlu untuk 'mengolah' rasa sensitif terhadap masalah yang semula terlihat biasa-biasa.

Jakarta, 1-3 Desember 2007

Hectic

Kembali ke Jakarta, begitu membuka mata terasa berbeda. Bangun, isi kepala langsung 'berputar' pada pekerjaan, aktivitas-aktivitas impersonal yang rigid dan rasional. Apalagi keluar rumah, busway berpacu dengan kendaraan-kendaraan lain.
Semua bergerak serba cepat, saling serobot, tak ada yang mau menunggu barang sedetik pun. Apalagi bicara kompetisi, seolah semua takut tak kebagian di setiap sudut kehidupan metropolitan ini.
Jakarta mengkondisikan penghuninya tak bisa diam, karena takut dilibas. Hectic, selalu sibuk.
Gelap malam juga terasa meluncur dengan lebih cepat di Jakarta. Tak ada temaram senja di ufuk langit seperti di Pantai Kuta kemarin. Tak ada 'perhentian' jeda-jeda romantis alam. Jakarta seakan 'memaksa' senantiasa bergerak.
Hingga akan memejamkan mata lagi, orang terlalu sibuk bergerak, sehingga tak sempat berpikir untuk apa semua ini? Apa arti hidup ini? Sebuah aktivisme?

Jakarta, 28 November 2006

Welcome to My Paradise

Mendarat di Bali untuk benar-benar liburan, baru kali ini kulakukan. Denyut Sanur tanpa kemacetan, tanpa hentakan gas kendaraan yang terburu-buru, tanpa lengkingan klakson, tanpa motor yang berkejaran di garis stop traffict light. Dari cara berlalu-lintas saja, terasa detak jantung Bali berdetak
tenang, tanpa ketergesaan Jakarta, tanpa serobot-serobot ketidakpastian. Ada kesantunan, tapi juga detak yang melambat merambati waktu low season pasca Bom Bali II.
Langgam orang Bali yang mengedepankan adat dan ritus
menjadi bagian ketenangan, bergerak santai mengikuti alam. Apalagi hidup agraris, nelayan dan seniman yang bergantung pada kemurahan alam dan seni.

Bali, 24-27 November 2006 bersama Mc

Black Ice

Inilah salju pertama, riil di depan, aku menyentuh, tersentuh dan menginjaknya. Salju putih lebat mengambang di udara mendung, melayang-layang bak kapas menari di tengah suhu dingin dan kelabu lantas mendarat, menumpuk putih bersih bak hakikat alam ini.
Namun pada bagian jalanan yang terinjak-injak atau tergilas roda-roda, salju putih mencair dan kadang membeku menjadi lapisan es yang menyatu dengan legam aspal atau beton trotoar, tak nampak. Tapak-tapak 'intervensi' manusia merusak putih bersih salju menjadi seperti kehitaman. Inilah black ice yang baru pertama jali kukenal di musim dingin negara subtropik.

Berlin, akhir November 2005

Necklace

Untaian kalung pada leher nan jenjang akan terlihat indah. Cantik, cuma itu fungsinya.
Perempuan kerap difungsikan sebagai kalung, look nice. Cuma itu, tidak diharapkan bersuara, apalagi mengeluarkan pendapatnya.
Aku paling membenci hal ini. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Aku sangat menghargai dan membela hak untuk menyuarakan pendapatku, baik secara lisan maupun tulisan seperti di blog ini.

Jakarta, 7 April 2007

Man for Others

Selalu ada hikmah di balik bencana, blessing in disguised, tak ada yang absolut hitam-putih. Ada penolong-penolong kehidupan di tiap bencana yang merenggut nyawa. Ada kekuatan dan energi solidaritas dahsyat dari bangsa yang dicap salah satu paling korup dan menuju individualsme yang egosentrik. Ada kohesivitas di tengah anakhisme sektarian yang memecah belah.
Memang jauh di lubuk hati tiap manusia tertanam gerakan untuk selalu 'keluar' dari dirinya, memberi arti bagi kehidupan, bermakna bagi sesama.

Pasca Gempa Yogya, 27 Mei 2006

Investment Habit

Aku ingat betul ketika Sekolah Dasar, angpao Imlek kami (aku bersaudara) Mama belikan emas. Ada kalanya angpao juga dijadikan modal untuk membeli segulung kain seragam oleh mama. Lantas Mama menjualnya di toko dan menyisihkan hasilnya. Ternyata per meter aku cuma mendapat Rp 25 (tahun 1980-an awal), selisih dari yard ke meter. Sebuah keuntungan yang sangat tipis, namun dari sini aku menghargai nilai uang. Marjin keuntungan yang begitu cekak, cuma pedagang yang ulet saja yang bertahan mengumpul sen demi sen! Maka Mama mengajarkan angpao sebagai uang bonus musti diperlakukan sebagai modal, uang yang bekerja, sebuah investasi.
Sementara hari pertama Idul Fitri selalu kulihat anak-anak dari keluarga sederhana memenuhi supermarket membeli makanan dan minuman ringan, junk food yang tidak bergizi. Anak-anak ini tidak diajari untuk menabung, apalagi memutar uang sebagai modal. Anak-anak ini justru dibuai konsumerisme yang nantinya akan menyengsarakan mereka. A demand create!

Jakarta, November 2005

Tuesday, April 3, 2007

Multidimenstional Man

Membaca kembali perjumpaan dengan Mc selama lima tahun, terasa sekali betapa seorang manusia sangat multidimensi. Ibarat mengupas bawang, mengenal manusia makin masuk ke dalam, kian tak terhingga. Bak faset berlian, dimensi manusia ada yang berkilau terang gerlap-gemerlap, namun ada juga sisi gelap yang tak tertimpa terang nan Ilahi.
Ini menjadi refleksi betapa manusia menjadi pantulan kedekatan dengan energi prima. Kendati mencapai kedalaman, tetap manusia adalah misteri tersendiri. Kendati ada yang mengatakan kromosom xx perempuan lebih kompleks, toh makhluk berkromosom xy bernama laki-laki pun tak 'bertepi'. Sebagian mengatakan pria lebih bisa diprediksi, tak jarang tidak juga. Manusia tetap
penuh misteri. Benarlah dalam air dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu?

Jakarta, 6 Desember 2006

Keterpisahan

Aku memahami kematian sebagai keterpisahan secara fisik belaka. Wadag, badan kasat yang meninggalkan jiwa, melepas keterkungkungan dalam raga yang lemah. Sementara jiwa abadi, kendati aku tak paham dia di mana.
Ketidakhadiran fisik yang bisa disentuh, dicum, dibaui, dilihat, didengar apalagi dipeluk dan dibelai dengan panca indra, memang tak mudah diterima. Ada semacam 'keterlemparan' dari hiruk-pikuk dunia menghadapi keterpisahan fisik ini.
Namun keterpisahan menjadi pilihan yang jauh lebih baik daripada sebuah kebersamaan dalam penderitaan dan kesakitan salah satu di antara kita. Kematian melepas rasa sakit, menghentikan penderitaan menjadi pelepasan yang melegakan. Terkadang Thanatos menjadi demikian indah mempesona daripada hidup yang berlumpur penderitaan tak tertahankan. Namun inilah dharma, bertahan hidup dalam kebaikan.

Perpisahan dengan Mama Uwe
RIP 13 Februari 2007

Mechanic Way

Pembantuku mengaku membuang sewing kit yang dikembalikan oleh tetangga kamar di atas kotak sepatu depan kamarku. Biasanya aku meletakkan pakaian untuk dicuci atau barang untuk kuberikan padanya di situ.
Aku tidak habis pikir dia membuang sewing kit yang lengkap dan kukumpulkan dari berbagai hotel berbintang. Bukankah barang itu tidak rusak, malah masih berguna? Kalaupun barang itu dia ambil, tidak masalah. Setidaknya barang itu masih ada faedahnya.
Aku jadi ingat omongan Mamaku, "Kalau dia pandai, dia tidak mau menjadi pembantu". Bagiku ini tidak berlaku untuk pembantuku. Selama ini dia cukup trampil dan cerdas untuk ukuran rata-rata pembantu. Makanya aku tak habis pikir dia sembrono membuang barang yang berguna begitu saja.
Bagiku ini lebih pada cara mekanis, kayak mesin, kayak robot, yang tidak pikir panjang. Kemalasan untuk berpikir panjang, care & concern terhadap faedah barang.

Jakarta, 31 Maret 2007

Sunday, April 1, 2007

Sosialisme Never Die

Aku tak yakin diriku sosialis! Yang kutahu, yang kucita-citakan tersirat dalam ide-ide sosialisme, yakni sebuah masyarakat egaliter yang menjunjung kebersamaan, solidaritas dan keadilan sosial-ekonomi-politik dengan mempersempit disparitas hingga menghilangkan alienasi manusia. A never ending goal!
Karena itu aku tak percaya sosialisme akan mati. Mungkin partai-partai bertumbangan (fenomena di Eropa), tapi sebagai sebuah cita-cita, aku yakin sosialisme belum mati. Bagai kecambah, dia tumbuh dalam jiwa setiap aktivis, terutama di negara-negara miskin seperti 'remuk republik' Indonesia ini.
Mereka yang menyebut dirinya aktivis, setidaknya pernah 'melahap' buku-buku kiri macam Soe Hok Gie. Teori-teori Marxisme setidaknya menjadi pisau analisa membedah borok-borok kapitalisme/liberalisme. Teori ini akan terus dimodifikasi, disesuaikan dengan zaman dan bumi yang dipijak. Lebih dari itu, dalam jiwa setiap orang tersirat pasti senantiasa tersirat pembebasan.
Bukankah tak ada sebuah sistem yang absolut?

Jakarta, 7 November 1999

Umur Sosiologis & Kawin

Umur sosiologis kepala tiga bisa dibilang masih muda, mengingat ini baru setengah usia rata-rata harapan hidup di Indonesia. Namun secara biologis, kepala tiga usia yang telah matang bagi perempuan untuk mengakhiri masa lajang. Bahkan secara biologis pada usia belasan, perempuan telah siap untuk kawin.
Masalahnya kawin tak hanya menuntut kesiapan biologis semata! Dalam masyarakat modern-kosmopolitan, perempuan sebagaimana laki-laki perlu memiliki akses penguasaan sumber daya sosial, ekonomi, bahkan politik berupa ilmu, skill maupun profesi dan kedudukan tertentu. Tanpa itu semua, perlu akan cenderung kembali 'terlempar' ke sektor domestik.
Sementara itu dalam norma konvensional dan secara tradisional, orang 'dipaksa' untuk menerima lembaga perkawinan/keluarga. Hidup lajang secara sosiologis seakan berada di luar tatanan keluarga tradisional.

Jakarta, 2000-an awal

EMOSI NEGATIF

Benarlah adanya, pertempuran yang paling dahsyat adalah perang melawan diri sendiri, melawan perasaan negatif. Melelahkan dan harus dihadapi sendiri. Tak ada seorang paling baik pun yang dapat 'menolong'. Tak heran, di antara elan perjuangan hidup, selalu terselip 'bahaya laten' thanatos keinginan mati untuk mengakhiri peperangan.

Perasaan-perasaan manusiawi seperti keresahan, kesepian, sedih, gundah, marah akan nasib dan ketidakberdayaan menjadi 'kendaraan' emosi-emosi negatif yg menghanyutkan. Perang melawan emosi negatif ini jadi kian melelahkan, manakala 'mild autism' melanda, menolak interaksi dari luar.

Dalam 'Ancient Wisdom, Modern World' Dalai Lama mengatakan, "Kita merasa emosi yg menyiksa ini sedemikian kuat, maka walaupun tidak ada orang yang tidak menghargai hidupnya, mereka mampu membawa diri kita hingga ke titik kegilaan dan bahkan upaya membunuh diri sendiri. Namun karena ekstremitas seperti itu tidak lazim, maka kita cenderung untuk melihat emosi negatif sebagai bagian integral dari pikiran kita, yang terhadapnya kita merasa
tidak berdaya".

Dalai Lama menyarankan:

1. Proses melawan pikiran dan emosi kita dengan menghindarkan situasi dan aktivitas yang biasanya akan membangkitkannya.
2. Menghindari kondisi sesungguhnya yang dapat mengarah pada pikiran & emosi yang negatif.

Mawas diri adalah tugas seumur hidup, yang sanggup memiliki pengekangan diri yang tidak terbatas.

Jakarta, 27 Maret 2007

Be Thankful

Setiap akan berangkat tidur, tanpa doa yang khusuk, tak putus aku bersyukur atas seluruh anugrah hidup. Andaikata anugrah itu berupa barang, pasti bobotnya tak terhingga. Sayangnya anugrah kerap tak berasa dan kita tidak mawas untuk merasakannya.
Padahal oksigen gratis yang kita hidup, metabolisme ajaib triliunan sel tubuh, jutaan giga memori otak dan berbagai kerja tangan-tangan tak terlihat itu anugrah yang acapkali terlewat.
Belum lagi menjadi sedikit orang di antara 6 miliar warga dunia yang menikmati air bersih, listrik, melek huruf bahkan melek internet. Bukankah ini berkah luar biasa?
Apalagi lingkungan yang baik untuk tumbuh dan berkembang tetap kritis, bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang dan ragam bangsa, bahkan berdiri tak jauh dari orang-orang nomor satu di beragam instansi nyaris setiap hari. Betapa karunia tak ternilainya.
Be thankful, Mega, be grateful!

Jakarta 31 Maret 2007

Structural

Dalam Asian Laity Meering (ALM) III di Sampran, Thailand, aku merasakan betapa pengalaman bersentuhan dengan grassroot yang miskin dan tertindas memang 'menggoda' untuk segera ditolong. Tak jarang secara eksistensial 'memaksa diri' untuk solider menjadi miskin.
Namun bagiku memperjuangkan orang miskin tak berarti harus miskin, kendati tak betul juga kalau bermewah-mewah. Pasalnya tanpa kemandirian finansial dan kerja profesional, perjuangan mudah 'dilacurkan'. Dengan kesadaran talenta analisa sosialku, aku lebih suka memperjuangkan secara struktural-sistemik yang holistik.
Aku ingin, meski tidak seperti kata Cacak bagai menarik seutas tali, tapi cara struktural dengan kebijakan menyeluruh dan perundangan lebih bersifat massif dan mengena banyak orang. Meski kadang birokratis, cara struktural efektif dan efisien.

Nakhom Pathom, 21 Maret 2001

Why journalist?

Sebagai freelancer, aku mendapatkan honor US$ setara dengan runner-up Miss Universe. Rasanya seperti mendapat gaji pertama dulu. Tapi toh, uang bukan segalanya. Pekerjaan ini tak memuaskanku.
Aku melakukan investigasi, wawancara dan menulis untuk klien tertentu, tidak untuk publik. Sebagai jurnalis, aku sadar akan hak publik untuk tahu (article 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Ini yang mendorongku kembali menjadi jurnalis fulltime, kendati ada tawaran lain dengan gaji yang jauh lebih tinggi.
Menjadi jurnalis bagiku 'mengabdi publik'. Dengan demikian aku loyal pada profesionalisme, bukan pada perusahaan. Jurnalis harus independen dalam bersikap maupun bekerja.

Jakarta, 11 Mei 2001

Adversity

Kendati bukan yang pertama, setiap pendakian gunung merupakan pengalaman tersendiri dan sangat berarti bagiku. Pendakian selalu kurasakan sebagai menakhlukkan diri sendiri daripada menakhlukkan alam yang dahsyat, terjal berliku, licin dan keras.
Bagiku penakhlukan ini merupakan tindakan aktif ketimbang reaktif, bahkan pasif menikmati alam.
Pencapaian puncak menjadi realisasi upaya gigih, bahkan bersakit-sakit meraih sesuatu.
Jer basuki mawa bea, Di Gunung Gede ini 'upahnya' riil, pemandangan yang maha dahsyat dengan tebing kawah bergurat, lembah hijau dan langit yang terasa dekat dengan awan-gemawan.
Pencapaian ini selalu memberi energi baru, seperti recharge untuk kembali menghadapi ruwetnya kehidupan ini.

Gunung Gede, 4-5 Juni 2007

Oasis

Ini sangat pribadi, aku merasa sangat beruntung dan bersyukur mendapat beberapa oasis dalam fase-fase hidupku. Ketika memilih menjadi Katolik dan bertemu pastor serta komunitas yang
mendukung kepedulian sosial serta kebiasaan membaca dari awal. Pengaruh
positif dan oasis masa remajaku.
Berikutnya pergumulan dengan gerakan mahasiswa dan aspek politik dari Cacak sejak SMP, sehingga aku langsung 'tune in' ketika kuliah. Juga ketika bergabung dengan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) yang inklusif dan gerakan kiri yang melakukan pengorganisasian dan advokasi.
Saat menjadi jurnalis, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menjadi oasis yang tidak sekedar profesional, tapi juga organisasi perlawanan dan perjuangan melalui serikat buruh.
Lalu Madha (Mawas Diri Hanya Aksi) yang menjadi oasis mereguk energi baru di tengah rutinitas kerja.
Belum lagi berbagai institusi dan perkumpulan yang ikut aku bidani. Semua ini nyaris menjadi bagian telat kawin, saking keasyikan. Namun ini kusyukuri, karena setidaknya aku pernah demikian mencintai dan menjalani kepenuhan hidup.
Dari kengerian represi era Soeharto ke pergumulan radikal bawah tanah. Dari kekerasan pergerakan yang dingin rasional berikut kelembutan solidaritas dan percumbuan romantis. Aku betul-betul menjalani kepenuhan romantisme penindasan yang patut dikenang sepanjang hayat.

Jakarta, 18 April 2001