Aku ingat betul ketika Sekolah Dasar, angpao Imlek kami (aku bersaudara) Mama belikan emas. Ada kalanya angpao juga dijadikan modal untuk membeli segulung kain seragam oleh mama. Lantas Mama menjualnya di toko dan menyisihkan hasilnya. Ternyata per meter aku cuma mendapat Rp 25 (tahun 1980-an awal), selisih dari yard ke meter. Sebuah keuntungan yang sangat tipis, namun dari sini aku menghargai nilai uang. Marjin keuntungan yang begitu cekak, cuma pedagang yang ulet saja yang bertahan mengumpul sen demi sen! Maka Mama mengajarkan angpao sebagai uang bonus musti diperlakukan sebagai modal, uang yang bekerja, sebuah investasi.
Sementara hari pertama Idul Fitri selalu kulihat anak-anak dari keluarga sederhana memenuhi supermarket membeli makanan dan minuman ringan, junk food yang tidak bergizi. Anak-anak ini tidak diajari untuk menabung, apalagi memutar uang sebagai modal. Anak-anak ini justru dibuai konsumerisme yang nantinya akan menyengsarakan mereka. A demand create!
Jakarta, November 2005
Sementara hari pertama Idul Fitri selalu kulihat anak-anak dari keluarga sederhana memenuhi supermarket membeli makanan dan minuman ringan, junk food yang tidak bergizi. Anak-anak ini tidak diajari untuk menabung, apalagi memutar uang sebagai modal. Anak-anak ini justru dibuai konsumerisme yang nantinya akan menyengsarakan mereka. A demand create!
Jakarta, November 2005
No comments:
Post a Comment