Indomie. Begitu orang Indonesia meng-generalisasi mie instant, tanpa peduli apa pun merek mie yang mereka lahap. Indomie seakan menjadi 'merek generik' yang identik dengan mie siap saji
itu. Sama seperti orang menyebut Aqua untuk semua produk air kemasan dan masih banyak lagi.
Terlepas dari pro-kontra, bombardir iklan dan ketersediaan massif produk ini merupakan kunci pemasarannya. Produk itu 'hadir setia setiap saat' bahkan seperti hakikat iklan mereka.
Ini sebuah penciptaan kebutuhan (demand create). Di bawah berondong iklan, terasa hidup 'tidak pas' tanpa produk-produk itu . Kekuasaan modal begitu digdaya 'mendiktekan' penciptaan ilusi ini. Notabene yang bisa melakukan ini cuma multinational corporation atau konglomerat.
Produk-produk lokal alias produk daerah tak bakal mampu membayar penciptaan ilusi seperti itu, apalagi gaya marketing andal lain.Tanpa iklan, tanpa promosi, produk lokal perlahan tapi pasti, mati kalau tidak 'sekarat'!
Kalau pulang ke Lumajang, tak kutemui lagi limun temulawak botolan dengan merek tempelan kertas dan 'kempyeng' tutup botol tanpa merek, terlindas gempuran produk CocaCola. Tak ada lagi sabun cuci batangan buatan pabrik tradisional peninggalan Nggua Kong (kakek luar, dari mama), yang tak mampu melawan Sunlight dan Rinso dari raksasa Unilever. Tak ada lgi mie cap
Kembang bal-balan besar yang murah-meriah, kalah dengan 'merek generik' Indomie!
Lumajang, 2004
itu. Sama seperti orang menyebut Aqua untuk semua produk air kemasan dan masih banyak lagi.
Terlepas dari pro-kontra, bombardir iklan dan ketersediaan massif produk ini merupakan kunci pemasarannya. Produk itu 'hadir setia setiap saat' bahkan seperti hakikat iklan mereka.
Ini sebuah penciptaan kebutuhan (demand create). Di bawah berondong iklan, terasa hidup 'tidak pas' tanpa produk-produk itu . Kekuasaan modal begitu digdaya 'mendiktekan' penciptaan ilusi ini. Notabene yang bisa melakukan ini cuma multinational corporation atau konglomerat.
Produk-produk lokal alias produk daerah tak bakal mampu membayar penciptaan ilusi seperti itu, apalagi gaya marketing andal lain.Tanpa iklan, tanpa promosi, produk lokal perlahan tapi pasti, mati kalau tidak 'sekarat'!
Kalau pulang ke Lumajang, tak kutemui lagi limun temulawak botolan dengan merek tempelan kertas dan 'kempyeng' tutup botol tanpa merek, terlindas gempuran produk CocaCola. Tak ada lagi sabun cuci batangan buatan pabrik tradisional peninggalan Nggua Kong (kakek luar, dari mama), yang tak mampu melawan Sunlight dan Rinso dari raksasa Unilever. Tak ada lgi mie cap
Kembang bal-balan besar yang murah-meriah, kalah dengan 'merek generik' Indomie!
Lumajang, 2004
No comments:
Post a Comment