Kembali ke Jakarta, begitu membuka mata terasa berbeda. Bangun, isi kepala langsung 'berputar' pada pekerjaan, aktivitas-aktivitas impersonal yang rigid dan rasional. Apalagi keluar rumah, busway berpacu dengan kendaraan-kendaraan lain.
Semua bergerak serba cepat, saling serobot, tak ada yang mau menunggu barang sedetik pun. Apalagi bicara kompetisi, seolah semua takut tak kebagian di setiap sudut kehidupan metropolitan ini.
Jakarta mengkondisikan penghuninya tak bisa diam, karena takut dilibas. Hectic, selalu sibuk.
Gelap malam juga terasa meluncur dengan lebih cepat di Jakarta. Tak ada temaram senja di ufuk langit seperti di Pantai Kuta kemarin. Tak ada 'perhentian' jeda-jeda romantis alam. Jakarta seakan 'memaksa' senantiasa bergerak.
Hingga akan memejamkan mata lagi, orang terlalu sibuk bergerak, sehingga tak sempat berpikir untuk apa semua ini? Apa arti hidup ini? Sebuah aktivisme?
Jakarta, 28 November 2006
Semua bergerak serba cepat, saling serobot, tak ada yang mau menunggu barang sedetik pun. Apalagi bicara kompetisi, seolah semua takut tak kebagian di setiap sudut kehidupan metropolitan ini.
Jakarta mengkondisikan penghuninya tak bisa diam, karena takut dilibas. Hectic, selalu sibuk.
Gelap malam juga terasa meluncur dengan lebih cepat di Jakarta. Tak ada temaram senja di ufuk langit seperti di Pantai Kuta kemarin. Tak ada 'perhentian' jeda-jeda romantis alam. Jakarta seakan 'memaksa' senantiasa bergerak.
Hingga akan memejamkan mata lagi, orang terlalu sibuk bergerak, sehingga tak sempat berpikir untuk apa semua ini? Apa arti hidup ini? Sebuah aktivisme?
Jakarta, 28 November 2006
No comments:
Post a Comment