Thursday, May 24, 2007

KIRI

Kekiri-kirian mulai dari kelahirannya membuat heboh
dunia. Kekritisan dan dialektika revolusinya
mengejutkan manusia, terutama kepentingan kelas
borjouis yang tertohok.
'Bahaya merah' dicanangkan di mana-mana. Kiri
seolah-olah hantu yang bergentayangan. Lantas tak
sedikit nyawa melayang 'secara percuma' atas dalih
revolusi maupun kontrarevolusi'. Tak sedikit
'kekerasan struktural' bermain di ujung hidup-mati
berjuta manusia yang dicap kiri, apalagi komunis.
Namun hingga kini, literatur kiri tetap menarik
sejumlah aktivis idealis dan para intelektual.
Rasanya belum ada yang bisa menandingi dialektika
kritis teori-teori ini.
Juga dari segi pengorganisasian berbasis massa riil.
Ini memberi 'kaki' teori yang memijak bumi.
Belum lagi kekuatan tersembunyi dari harapan perubahan
yang dijanjikan.
Namun di bawah Soeharto, tersembunyi bayangan gelap
risiko mempelajari kiri, stigma 'hantu' komunisme!

Surabaya, 9 Januari 1995

Kemiskinan = Kejahatan

ILO melaporkan Indonesia 'menyumbang'60% Pengangguran
di ASEAN! Ini gara-gara angka pengangguran
Indonesia
meningkat secara signifikan.
Kata Aso, hebatnya mereka dapat hidup.
Tapi hidup seperti apa yang mereka jalani?
Bayangkan seperti apa hidup kurang dari US$ 1/hari.
Pasti sebuah kehidupan subsisten, sekedar bertahan
asal perut kenyang. Paling bisa untuk makan dua kali
sehari, tanpa peduli nilai gizi.
Pakaian cukup menempel di badan dan 1-2 potong ganti
syukur kalau tidak compang- camping.
Rumah bisa dipastikan tidak sehat, dengan harga tanah
yang selangit. Syukur tak beralaskan bumi dan beratap
langit.
Apakah kehidupan ini layak bagi kemanusiaan?
Yang lebih jahat adalah ketika berkutat dengan urusan
asal perut kenyang, nutrisi otak dan jiwa pasti nyaris
terabaikan, tak terjangkau.
Akses terhadap pendidikan bakal nomor ke sekian.
Padahal tanpa pendidikan, mereka tak berpengetahuan.
Tanpa ini, mereka tak bakal memiliki akses terhadap
hal-hal lain yang lebih luas seperti melek angka, melek
huruf, apalagi melek komputer, melek internet, dll.
Jelas mereka bakal tertinggal di landasan ketika yang lain
menuju landasan pacu liberalisasi.
Karena itu kemiskinan berati kejahatan, yang akan
meninggalkan saudara kita dalam ketidakmampuan atau bahkan
menggadaikan harga diri demi sepiring nasi. Kemiskinan
bisa mendesak orang juga menjadi jahat terhadap sesama,
karena terpaksa dan 'dipaksa' keadaan.

Jakarta, 15 Mei 2007

Ingatan

Sangat tak disangka-sangka, seorang bapak menyapaku di atas
bis kota E1 yang membawaku dari Bungurasih. Ternyata

beliau Pak Bas, pegawai umum SMA Negeri 2 (SMADA)
Lumajang. Yang kuheran beliau masih mengenaliku setelah
5 tahun aku lulus SMA. Luar biasa ingatan beliau, padahal ada

ratusan anak tiap tahunnya.
Kenapa beliau ingat? Aku berharap itu bukan karena
kenakalanku lompat pagar sekolah, sebelum beliau membuka
pada jam bubar sekolah. Pasalnya aku melakukannya bersama
dua kelas IPS. Memang aku satu dari dua anak Tionghoa
kelas IPS, mudah diidentifikasi.
Aku berharap perhatianku selama menjabat sebagai Bendahara
Umum OSIS SMADA 1987-1988 yang melekat dalam ingat
beliau.
Pada masa itu, seperti ajaran Mam, aku belajar lebih
memperhatikan orang kecil dan pekerja rendahan di lingkungan
sekolah. Paling tidak, mulai dari rasa hormat dengan berbahasa
Jawa halus, krama inggil dengan mereka. Memberi jatah makanan
lebih dulu, bukan belakangan kepada mereka.
Memberi hati, itu yang coba kulakukan.
Semoga ini yang mereka ingat dariku, bukan kenakalanku :)

Surabaya, 9 Februari 1995

Kehendak Bebaskah?

Tuhan...
mengapa tak banyak
orang memikirkan yang lain?
mengapa tak banyak
orang mau berisiko demi yang lain?
Apakah ini justru atas
kehendak bebas yang Kau-anugerahkan?
atau justru kebebalan
lantas di sana fungsi agama?

Surabaya, 10 Januari 1995

Aging

Penuaan merupakan proses alami yang tak terelakkan
pada setiap orang sejalan dengan bertambahnya usia.
Kerentanan biologis yang menyertai proses ini
kerapkali meresahkan.
Lebih-lebih datangnya problem psikologis yang tak
terhindarkan seiring dengan menurunnya produktivitas.
Rasa kesepian, merasa tak lagi dibutuhkan, kurang
diperhatikan dan rupa-rupa bentuk ego tak tertolak
dan sangat manusiawi.
Menjadi masalah manakala pada saat yang sama anak-
anak beranjak dewasa dengan tuntutan tanggung jawab
yang lebih luas atas kemasyarakatan dan kenegaraan.
Namun tetap diperlukan keseimbangan untuk berbagi
rasa dengan orangtua yang berangkat senja.
Ini menjadi keresahan anak extra activities macam aku.

Lumajang, 8 Februari 1995

Tuesday, May 22, 2007

Food for Soul

Nutrisi untuk otak (food for thought) tidak lah terlalu sulit. Sepanjang kita rajin membaca, itu setidaknya menjadi semacam 'olahraga' otak agar tetap terasah. Syukur-syukur kalau terjadi 'dialog' dengan pemikiran penulisnya, sehingga tercipta dialog dan kekritisan. Akan lebih baik lagi
jika menimbulkan dialektika, kendati tak mudah.
Namun mempertahankan medan energi positif, energi tinggi/konsolasi, bukan lah hal yang mudah. Seberapa pun hebat seseorang bermental positif, akan ada saatnya jauh di dalam lubuk hati ia mempertanyakan kemungkinan mimpinya menjadi kenyataan. Akan ada periode kita merasa lelah, putus asa dan pikiran negatif lainnya.
Dalam the Alchemist, Paulo Coelho menulis, "There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure."
Sebelum masuk pada energi rendah/desolasi, kita perlu terus-menerus memberi nutrisi bagi jiwa (food for soul), seperti sastra yang memperhalus budi, buku-buku self help, psikologi, teologi, lebih-lebih filosofi.

Jakarta, early May 2007

Cuaca Hati


Mendung menggantung di musim penghujan seperti ini merupakan pemandangan sehari-hari. Langit berkabut, mentari sembunyi di balik mega seolah menjadi hari yang muram dan tak bersemangat.
Justru di sini lah keterandalan manusia. Dengan akal budi dan kehendak bebasnya, manusia menciptakan berbagai perlengkapan untuk melindungi diri dari segala cuaca. Manusia menjadi kreatif, tidak sekedar reaktif terhadap kondisi sekitarnya.
Lebih dari itu manusia berkuasa untuk menentukan sikap terhadap berbagai keadaan yang ada. Manusia dapat nenciptakan 'cuaca hatinya' sendiri TANPA ditentukan cuaca di luar sana!

Surabaya-Malang, 1 Februari 1995

3 B

Ada 3B yang begitu kusukai, yakni Bed, Bath, Bus/travelling.
Selain kebutuhan meluruskan punggung dan memulihkan sel-sel tubuh, Bed menjadi kesukaanku untuk bergelung dengan inspirasi sampai larut malam bahkan dini hari, lalu menjadi kemewahan tersendiri untuk bangun siang. Hal ini tak pernah dimengerti perempuan segenerasi Mam yang harus bangun pagi, apalagi perawan :) (Emangnya hanya cowok yang sah bangun siang?)
Di samping kebutuhan membersihkan dan menyegarkan tubuh, Bath menjadi tempatku mendapatkan privasi yang lain untuk mendulang inspirasi. Dalam kesendirian dan gemericik air kerap datang ide dan imajinasi liarku.
Travelling adalah hal yang paling menarik. Tidak sekedar berpetualang, tapi ini bagian dari kebutuhanku keluar dari belantara kota yang penuh dengan beton penghalang pandangan ke cakrawala. Memandang lepas bebas sampai kaki langit terasa melempangkan hati dan meluaskan pikiran.
Keleluasan tak hanya pada cara pandang secara fisik, tapi juga visi dalam konteks luas. Keluasan cara pandang memberi altar perspektif lain yang jarang terpikirkan.
Misalnya ketika aku melihat titik air di kaca terasa hidup bagai anak katak melata berkejaran. Menggelikan bagiku. Hal ini pasti sulit didapatkan di tengah kepadatan belantara beton kota.

Malang-Surabaya, 3 Januari 1995

Historisitas Manusia

Hanya makhluk bernama manusia
yang mengenal masa lalu yang menjadi kenangan,
masa kini yang harus dihadapi
masa datang yang menyimpan harapan.

Hanya manusia yang memikul beban masa lalunya
seperti Sisipus,
kala lupa menatap masa depan
tak menapak pada kekinian.

Tapi tanpa mengenal masa lalu,
manusia menjadi ahistoris
tak pernah belajar dari yang pernah terjadi

Surabaya New Year Eve 1995

Karma

2500 tahun lalu, Lord Buddha telah mengukur waktu dari emosi hanya 1/65 (satu per 65) jentikan jari. Ini merupakan unit waktu terkecil dari pikiran (mind/chitta) kita untuk bergerak. Setiap gerakan itu disebut aksi (karma). Setiap kali ada aksi, pikiran kita bergerak memotori ucapan dan perbuatan kita.
Jadi dalam Budhadharma definisi karma hanyalah gerakan dari pikiran (movement of the mind).
Demikian pula dengan emosi, sebenarnya hanya manifestasi dari gerakan pikiran itu sendiri.
Pengalaman yang kita sebut karma, terjadi berdasarkan pengalaman sebelumnya. Maka setiap kali kita bertindak akan meninggalkan tilasan (imprint).
Berbagai perasaan nyaman maupun tidak nyaman plus netral, tergantung karma. Misalnya kemarahan datang di saat karma buruk kita matang.

Dicuplik dari Buletin Dipamkara No.7
Potowa Centre

Friday, May 18, 2007

From Beijing With Excotic Foods

Ketika sengatan panasnya mentari mulai surut dan ufuk barat memerah, Dong'anmen Avenue makin menggeliat. Jalan Pintu Kedamaian Timur itu letaknya persis di sebelah timur komplek Kekaisaran Tiongkok yang dikenal sebagai Kota Terlarang (Forbidden City).
Dengan posisi strategis tak jauh dari jantung Central Beijing, jalan besar ini memang hidup nyaris 24 jam. Maklum di daerah kawasan elit para bangsawan (Wangfujing) ini berderet pertokoan, rumah makan, dan hotel-hotel yang menjadi sasaran para wisatawan, terutama turis asing.
Ketika senja turun, sisi utara trotoar jalan besar itu terlihat sibuk. Sederet rombong kosong yang berbaris rapat pararel mulai dijajar menghadap badan jalan. Peti-peti pendingin (cooler) dan pelbagai peralatan makan diturunkan dari mobil-mobil box.
Sebelum hari gelap, Dong'anmen Night Market telah bersiap menyambut wisatawan, baik dalam maupun dari luar negeri Tiongkok. Jajaran rombong di bawah lampu pijar yang terang telah memajang aneka panganan segar yang terlihat begitu menggiurkan.
Bermacam-macam mie yang menjadi makanan umum penduduk Beijing juga ada di sini. Tidak ketinggalan bangsa mie atau bihun ayam seperti di Jakarta, tapi dengan kuah ala Sichuan asam pedas yang menari di lidah. Tentu makannya dengan sumpit (chopstick) dan kuahnya langsung di-seruput dari mangkok styrofoam.
Ada pula makanan sejenis kebab dan lumpia lengkap dengan isi sayuran dan dagingnya. Tapi bisa juga pesan ala vegetarian, isi sayuran saja.
Tak ketinggalan berjenis-jenis minuman, baik botolan sampai model es campur yang kita kenal. Bahkan kelapa bulat pun ada di sini, cuma yang diminum airnya dengan sedotan.
Yang menarik ada tusukan dengan bermacam-macam 'isi'. Dari daging-dagingan dan organ dalamnya (jeroan) sampai makanan laut (seafood), yang siap digoreng atau dibakar seperti sate.
Hidangan laut seperti udang dan cumi-cumi yang memang kita kenal, meski cumi-cuminya lengkap dengan kaki-kaki mirip Octopusy di film. Tapi ada juga Bintang Laut yang sebesar jari-jari tangan orang dewasa dengan warna jingga yang menantang.
Itu belum apa-apa. Ada anak Kuda Laut kecil-kecil yang dibikin tusukan sate berbaris rapi dalam beberapa nampan. Bayangkan bekas lambang Pertamina itu ternyata bisa dijadikan sate. Masih ada lagi. Anak Penyu (tukek) atau sejenis anak kura-kura, juga dijadikan tusukan sate. Rasanya tidak tega untuk menyantap bintang kecil yang tak berdaya itu. Entah rasanya seperti apa?
Seperti di Bangkok dan beberapa daerah di Thailand, di sini pun ada sate berbagai jenis serangga. Sate kalajengking, ya lambang Scorpion itu di tusukan lengkap dengan ekor dan capit penyengatnya yang berbahaya. Juga kepompong ulat (sutra) dirangkai jadi sate. Malah ada sejenis serangga yang mirip dengan kecoak pun disate berjajar dalam nampan, siap digoreng. Tak ketinggalan belalang yang terkenal sebagai makanan di beberapa wilayah Afrika. Kata orang, rasanya renyah dan gurih.
Tentu ini bukan acara Fear Factor atau uji nyali. Ini betulan tempat panganan yang bertajuk Dong'anmen Night Market yang cukup eksotik untuk sajikan, tapi rasanya tak cukup eksotik untuk konservasi fauna.

Sate Sekak
Sebagai daerah yang beriklim gurun, Beijing terkenal juga dengan daging kambing (Yang'ruk). Daging merah yang 'panas' ini konon merupakan makanan aprodisiak. Tak heran salah seorang teman menyebutnya sebagai sate sekak (sate horny).
Seperti di Indonesia, di sini pun kambing dimanfaatkan maksimal sampai organ dalamnya (jeroan) juga dibikin sate. Bahkan sate terpedo (sate alat vital kambing) pun ada.
Tapi tidak seperti di Indonesia, di sini potongan dagingnya yang lumayan besar, bisa seibu jari orang dewasa. Bumbunya pun hot & spicy yang bakal bikin lidah 'kebakaran' buat yang tidak terbiasa. Dan jangan mengharap ada bumbu kacang lengkap dengan kecap manis yang legit seperti di Jawa.
Di Dong'anmen Night Market ini penjual sate dan makanan bernuansa daging kambing umumnya berasal dari Provinsi Xinjiang Uygur Autonomous Region. Provinsi di barat daya Tiongkok ini berbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgystan dan Pakistan serta penduduknya sebagian besar beragama Islam. Tak heran kalau di tengah-tengah kota Beijing ini mereka mencantumkan huruf Arab dan tulisan halal di rombong makanan mereka.
Konon ada sekitar 10 persen etnis minoritas Uygur (Uyguren) yang menjadi penduduk Beijing. Jadi di luar Dong'anmen Night Market ini pun tak terlalu sulit mendapatkan makanan halal di Megapolitan Beijing.
Di sini pun orang tak perlu takut kelaparan, karena kemeriahan malam di Dong'anmen Night Market baru akan mereda menjelang tengah malam. Maklum toko-toko di Beijing (dan sebagian besar kota-kota di Tiongkok) tidak sedikit yang buka sampai pukul 24.00.
Namun sebagai daerah turis lengkap dengan nuansa pariwisatanya, sate-satean di sini tergolong mahal. Anda harus merogoh kocek rata-rata 5 RMB (Renminbi, mata uang Tiongkok, sekitar Rp 7.500) untuk satu tusuk sate.
Padahal kalau Anda mau jalan sedikit di sebelah barat Jalan Dong'anmen, seperti Donghuamen Avenue ada penjual beragam daging sate dengan harga cuma 1 RMB (sekitar seribu lima ratus perak)! Itupun rasanya tidak terlalu hot & spicy serta dagingnya lebih empuk.

Peking Roast Duck
Ke Beijing terasa belum lengkap kalau Anda belum mencoba Bebek Panggang Peking (Peking Roast Duck). Kendati nama resmi ibukota Tiongkok berubah menjadi Beijing, sebutan bebek panggang ini tetap menggunakan nama Peking. Nuansa old style layaknya rasa renyah kulit bebek yang terkenal sedari dulu.
Di seantero Beijing, hampir setiap restoran, rumah makan, bahkan warung pun ada yang menyediakan Bebek Panggang Peking ini. Tapi yang paling tersohor adalah Quanjude Roast Duck di Qianmen Avenue, di selatan Tiananmen. Konon bebek ini dipanggang dengan oven khusus lalu digantung semalaman untuk meniriskan lemaknya. Bebek itu kembali dipanggang, sehingga renyah sampai kriuk ketika disajikan.
Khas di Quanjude ini, bebek panggang itu dibawa dengan kereta dorong yang menebarkan bau harum panggangannya. Seorang pelayan akan mengiris bebek panggang itu tipis-tipis di hadapan Anda. Maka jadilah sepiring irisan tipis daging bebek dengan kulit panggangan kecoklatan berkilat sungguh aduhai dan menggugah selera.
Irisan Bebek Panggang Peking disajikan dengan sepiring kecil kulit seperti kulit lumpia, sepiring kecil irisan daun bawang dan sepiring kecil saus kecoklatan, untuk setiap orang. Dengan sebuah piring pipih persis di hadapan Anda, mulailah dengan mengambil selembar kulit yang berbentuk bundar kecil. Lalu ambil saos dan ratanya di permukaan kulit yang sudah di hadapan Anda. Sekarang ambil irisan daun bawang melintang pas di tengah sesuai dengan selera. Kini giliran beberapa irisan bebek panggang di atasnya. Kemudian lipat dan gulung seperti lumpia. Wow, bebek panggang ala Peking ini siap disantap dengan lahap.
Tapi bukan orang Indonesia kalau melupakan sambal. Jangan khawatir, Beijing terkenal dengan sambal kering kecoklatan yang telah digoreng dengan minyak ala Sichuan. Memang Provinsi Sichuan bersuhu rendah sangat cocok dengan masakan khas-nya yang hot & spicy.
Seimbang dengan kualitasnya, harga bebek panggang ini pun terbilang tidak murah. Dibanding bebek panggang gaya-gayaan Beijing, harga bebek di Quanjude bisa 2-3 kali lipatnya. Padahal di luaran saja harga satu paket Bebek Panggang Peking itu antara 50-100 RMB (Rp 75-150 ribu). Tapi mungkin juga tergantung tempat makannya, kalau di lorong atau gang (hutong) biasanya bisa lebih murah. Bahkan ada juga yang sudah dibungkus dengan kemasan plastik yang bisa Anda tenteng untuk dibawa pulang sebelum tanggal kadaluwarsa-nya.
Sayangnya, kayak di Indonesia juga, tempat makan di Tiongkok jarang yang mencantumkan harga di depan sehingga bisa diteliti dulu harganya. Harga biasanya tercantum di menu bisa kita ketahui setelah masuk.
Itupun kalau kita bisa baca! Maklum kendati kota internasional, tidak banyak tempat makan yang mencantumkan aksara latin pada menu makanannya, restoran di Beijing sekalipun.
Memang untuk amannya makan di restoran siap saji (fastfood restaurant) yang rata-rata menyediakan foto makanan dan kadang huruf latin yang bisa kita baca. Atau hotel internasional dengan pramusaji pintar berbahasa Inggris, tapi ya pasti mahal lah.

La Mian
Biasanya orang Indonesia dan kebanyakan orang Asia merasa kurang mantap kalau belum makan nasi. Kata orang Jakarta, tidak nendang!
Meskipun ada, tapi di Beijing, penduduknya jarang makan nasi. Kebiasaan etnis-etnis di bagian utara Tiongkok, seperti di Beijing ini adalah makan mie atau semacam bakpao. Bahkan ada suatu provinsi yang makanan pokoknya mantau (semacam bakpao yang bentuknya oval), bahkan ubi. Etnis-etnis di selatan Sungai Panjang (Yangtze) yang biasanya makan nasi, seperti etnis Fujian yang banyak merantau ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Tak heran kalau hampir di setiap jalanan di Beijing selalu ada kedai mie. La mian (mie tarik yang dikerjakan secara tradisional dengan tangan) yang biasanya dimasak kuah, relatif murah dan bukan makanan fancy seperti di mal-mal Jakarta.
Restoran cepat saji Ma Lan juga tersebar di berbagai belahan Megapolitan Beijing. Seperti di restoran cepat saji biasa, Anda bisa langsung datang ke counter untuk memesan La mian sesuai selera Anda, membayar lalu menunggu sejenak.
Tapi jangan kaget kalau pesanan Anda keluar. Pasalnya mangkok yang buat menyajikan relatif besar, seperti mangkok sayur di meja makan rumah kita.
Mangkok mie ayam di Indonesia jadi terasa mini dibanding mangkok jumbo La mian.
Membawanya di atas nampan musti hati-hati karena berat dan panas, walau kepulan asap kuahnya menggugah selera. Kalau baru pertama kali, kayaknya mending Anda memilih tempat duduk yang dekat-dekat counter saja.
Di masing-masing meja sudah tersedia botol kecap asin dan sambal Sichuan yang tersohor pedasnya. Kalau Anda suka legit, silakan bawa kecap manis dari Indonesia. Sejauh penglihatan saya benar, saya belum menemui kecap kental manis di Tiongkok! Sampai-sampai ada mahasiswa Beijing yang titip minta dibawakan kecap manis dari Indonesia.
Yang unik, dari counter Anda cuma mendapat sepasang sumpit bambu yang sekali pakai. Dengan mangkok nyaris separoh kuah, Anda tidak akan mendapat sendok kalau tidak meminta. Jikalau meminta pun, pandangan petugas counter akan terlihat aneh. Ternyata, orang setempat makan mie dengan lahap sambil menyeruput kuah langsung dari mangkok jumbo itu!
Tapi di tempat makan seperti ini, untuk mie kuah polos, Anda hanya merogoh recehan di bawah 5 RMB (kurang dari Rp 7.500). Tapi kalau Anda memilih La mian dengan toping daging, harganya pun masih kurang dari 10 RMB. Murah meriah!
Makanan siap saji yang lain? Apalagi kalau bukan produk-produk multinational corporation (MNC) yang sudah mengglobal seperti Mc.Donald, Kentucky Fried Chicken, Burger King, Pizza Hut dan lain-lain. Dengan era keterbukaan sejak dua dasawarsa lalu, Tiongkok, apalagi Beijing sudah layaknya kota modern yang lain lengkap dengan MNC dari berbagai negara. Tapi apa asyiknya jauh-jauh ke Beijing makan funkfood seperti itu?

Kerang Raksasa
Masih banyak makanan eksotik lain dari seantero daratan Tiongkok yang sedemikian luas. Seperti makanan dari Fujian. Provinsi di tenggara Tiongkok ini kaya dengan makanan laut yang menarik.
Ada sejenis kerang yang kulit cangkang-nya mirip sekali dengan bambu komplit dengan garis ruas-ruasnya. Bentuknya memanjang persis bambu hijau, tapi daging di dalamnya berwarna putih, menyerupai siput dengan dua antena di atas kepalanya.
Ada juga kerang raksasa dengan cangkang sebesar piring. Kerang mirip jenis kerang mutiara ini bisa dimasak dengan beragam rasa, salah satunya asam manis ditambah paprika, bawang dan sayuran. Setelah matang, masakan ini disajikan di atas cangkang kerang yang sudah terbuka. Cukup eksotik jadinya.
Selain itu ada siput raksasa yang jauh lebih besar dari escargot-nya Perancis. Dagingnya putih, dipotong-potong sebelum dimasak dengan bumbu khas oriental. Seperti cumi-cumi, daging siput ini cukup liat dan kenyal.
Masih dari pantai timur Tiongkok yang menyajikan eksotisme berlebih dengan menu sup kura-kura. Binatang malang itu dilepaskan dari cangkang-nya yang keras lalu dagingnya direbus dengan rempah-rempah. Semangkok sup yang disajikan panas-panas itu bisa menguras isi kantong Anda, karena harganya hampir 500 RMB (sekitar Rp 750 ribu).
Tampaknya setimpal dengan kelangkaan bintang yang dipercaya agar berumur panjang itu. Makanan-makanan dengan kepercayaan kuno yang membuat berdiri bulu roma masih banyak beredar di Tiongkok. Misalnya tangkur harimau untuk keperkasaan, otak kera, dan lain-lain.
Sebuah eksotisme berlebih yang justru mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup bumi kita. Dengan dunia yang semakin mengglobal, sumber daya hayati Tiongkok jelas bukan lagi milik negara yang berpenduduk 1,3 miliar itu semata. Jelas kita menginginkan anak cucu kita masih sempat melihat panda, harimau, kura-kura, kerang bambu dan fauna yang lain hidup-hidup, bukan sekedar cerita. Semoga.

Published in B&B Magazine End of 2004

Thanks to Mc who accompanied in China

Sepenggal Hari di Vientiane

VIENTIANE – Lembayung merah jingga menyaput langit Vientiane bak lukisan agung sang pencipta. Sebuah pagi yang indah menyambut hari di ibu kota negara Laos yang berukuran 236.800 km2 ini, cukup mini untuk ukuran Indonesia yang luasnya 1.475.000 km2.
Bayangan akan makhluk-makhluk yang sibuk berhilir-mudik langsung sirna, begitu SH melihat jalan raya dari balik jendela kaca hotel. Jalanan nan lengang dan suasana tintrim (tenang menegangkan) masih meliputi ibu kota negara dengan total penduduk cuma empat juta jiwa itu.
Tak ada anak-anak berseragam yang berangkat sekolah, karena sekolah diliburkan. Tiada orang dewasa yang berangkat kerja, sebab kantor-kantor juga diliburkan.
Sedikit perempuan dengan phaa sin (sarung tradisional khas Laos) melintas di atas boncengan atau mengendarai motor. Mungkin ke pasar atau ke toko yang sebagian kecil buka.
Sebenarnya kelengangan sudah terasa sejak pesawat kepresidenan GA-1 yang membawa rombongan Delegasi Indonesia mendarat di Vientiane Wattay International Airport. Dari ketinggian hanya terlihat beberapa pesawat udara yang tengah parkir di apron bandar udara (bandara), kurang dari hitungan jari satu tangan.
Jalanan sepanjang tiga kilometer dari bandara menuju Vientiane nyaris melompong tanpa kendaraan. Kami masih menghibur diri mungkin karena Delegasi Indonesia mendarat di hari Minggu (28/11) dan di-escort sehingga jalanan ditutup untuk rombongan.
Nyatanya, Senin (29/11) pagi pun jalanan tetap lengang. Ternyata, Pemerintah Republik Rakyat Demokratik Lao (Lao PDR) melakukan pembatasan kegiatan masyarakat lokal. Pasalnya, tiga hari sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-10 ASEAN itu, sebuah bom meledak di wilayah Perfektorat Vientiane.

Kehidupan Malam
Jadi jangankan malam, pagi hingga sore hari saja, Vientiane sudah sunyi sepi. Tapi tanpa jam malam pun, sebenarnya penduduk Vientiane memang terbiasa berkegiatan dari pukul delapan pagi ke pukul delapan malam. Tak heran kalau menurut Lonely Planet, pukul sembilan malam sebagian besar dari mereka telah berangkat tidur.
Kendati demikian, tidak berarti Vientiane tidak mengenal kehidupan malam. Meski ada pembatasan, sebetulnya nightclub berselubung bola gelinding (bowling) di kota (downtown) tetap buka.
Demikian pula restoran-restoran masakan mancanegara di Jalan Fa Ngoum seberang Sungai Mekong terlihat ramai. Restoran yang menyajikan masakan Prancis, India, dan Cina itu tampaknya menjadi sasaran peserta KTT yang masih memicingkan mata.
Itu belum terhitung karaoke dan pub di hotel-hotel berbintang. Namun malam di Vientiane di tengah berlangsungnya KTT nyaris tanpa ingar-bingar layaknya sebuah kota internasional.

Ketatnya Penjagaan
Maklum sejak hari Minggu itu, nyaris tiap 100 meter berdiri polisi di tepi jalan, termasuk di pinggir-pinggir Sungai Mekong. Postur polisi dengan seragam hijau muda terlihat kecil kalau tidak boleh dibilang kerempeng. Tapi jangan salah, di balik tubuh langsing itu tersandang senapan serbu jenis AK buatan Rusia.
Yang lebih antik lagi polisi voorijder yang mengawal rangkaian mobil pimpinan negara. Motor putih 200-an cc yang paling depan ditumpangi dua orang polisi, jadi berboncengan! Untungnya motor tepat di sisi kiri kanan mobil pimpinan negara cuma ditunggangi satu polisi.
Tidak seperti di Indonesia, rangkaian mobil pimpinan negara melesat cepat. Di Vientiane, walau jalan lengang dan semua kendaraan lain dihentikan, rangkaian mobil VVIP ini jalan nyantai paling 50-60 km/jam.
Jalan-jalan protokol dari bandara ke Istana Kepresidenen ke tengah kota dan ke lokasi KTT di Lao International Trade Exhibition and Convention Centre (Lao-ITECC) tertutup bagi kendaraan umum, selain mobil KTT. Taksi dari bandara pun diadang polisi hampir di sepanjang jalan dan harus menunjukkan kartu identitas peserta KTT.

Ternoda
Di atas segala ketatnya penjagaan dan suasana tintrim tadi, seperti halnya masyarakat Indochina, penduduk Lao terkenal santun dan bertutur kata halus. Dengan tangan terkatup di depan dada, mereka mengucapkan salam Sabbai Dee. Hal sama mereka lakukan ketika menerima tips.
Yang paling menarik ketika pagi merekah, kita bisa menyaksikan beberapa biksu berjalan beriringan dengan jubah jingga yang melambai-lambai tertiup angin sepoi-sepoi. Di beberapa bagian trotoar, ada ibu-ibu yang menanti mereka untuk memberikan bekal makanan. Dengan takzim satu telapak tangan memegang dada, ibu itu akan menunduk dalam-dalam ketika makanannya diterima para biksu.
”Walaupun rejim memiliki kedekatan politik dengan Vietnam, Laos mempertahankan identitasnya sendiri. Buddhisme mendarah daging dalam struktur sosial budaya masyarakat dan rejim menjelaskan bahwa Buddhisme dan Komunisme tidak bertentangan,” tulis Lonely Planet.
Tapi slogan itu langsung runtuh ketika kami menyaksikan sebuah motor nyelonong di suatu perempatan ketika kendaraan kami melintas. Sebenarnya lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau dari arah datangnya motor tadi, tapi kendaraan KTT selalu mendapat prioritas untuk lewat.
Tak ayal pengendara itu langsung dipukul polisi hingga terjatuh dari motornya. Tertindih motor, badan lelaki muda itu diseret polisi, kendati ia telah meringkuk dengan tangan terkatup ke atas seakan meminta ampun.
Pemandangan seperti ini mengingatkan beberapa tahun silam ketika Indonesia masih di bawah rejim Orde Baru, ketika aparat bertindak otoriter dan memonopoli kebenaran. Ah, moga-moga kita mampu menjaga agar Indonesia tidak kembali kepada otoritarian seperti ini. Semoga!

Sinar Harapan edisi Selasa, 07 Desember 2004

Secuplik Cerita WNI di AS yang "Digelangi"

JAKARTA – Sepintas lalu, Melati (bukan nama sebenarnya) berjalan layaknya orang biasa di tengah masyarakat Amerika Serikat (AS) yang cuek. Tak ada yang mencolok dari cara jalan maupun kakinya.
Namun di balik pergelangan kaki kiri Melati sebenarnya terlingkar sebuah ‘gelang’ dengan detektor. Gelang itu dilengkapi dengan alat elektronik yang dihubungkan ke monitor yang kemudian dihubungkan ke sambungan telepon sebagai alat monitor bagi lembaga yang menanganinya sehingga ke mana orang tersebut pergi lembaga ini dapat mengetahuinya.
”Penggelangan itu sebagai alternatif pemenjaraan.
Kalau dipenjara, biayanya besar, mereka memberi pilihan ”digelangi” selama satu bulan atau dua bulan. Kalau ‘digelangi’ satu bulan, mereka wajib lapor ke kantor tiga kali seminggu. Kalau dua bulan mereka wajib lapor dua kali seminggu. Setelah itu selama dua bulan, mereka tetap dikenai wajib lapor dua kali seminggu selama dua bulan. Setelah itu baru satu kali seminggu. Jadi gradual,” kata seorang sukarelawan yang tinggal di Pantai Timur AS itu dalam surat elektronik kepada SH belum lama ini.
Menurutnya, aturan baru yang disebut Intensive Supervision Appearence Program (ISAP) ini diberlakukan bulan Juni 2004. Di kotanya, ia sudah menemui ada tujuh WNI yang terkena jaring ISAP di bawah The Departement of Homeland Security AS.
”Pelaporannya menggunakan kartu kayak orang kerja gitu. Mereka juga bilang, mereka diperbolehkan keluar rumah pukul tujuh pagi dan harus kembali ke rumah pukul tujuh malam. Ada yang minta dispensasi sampai pukul sembilan malam dan diperbolehkan,” ujar sukarelawan tadi.

Kasus Imigrasi
Ia menceritakan kasus orang yang ‘digelangi’ bisa bermacam-macam.
Ada yang dihukum karena soal kriminal, tapi untuk komunitas Indonesia di kotanya lebih berkenaan dengan peraturan keimigrasian.
”Yang aku wawancarai ini dia di-granted asylum-nya (diberi suaka), tapi lalu dibanding oleh Jaksa Penuntut dan dimenangkan oleh Federal Court (Pengadilan Federal).
Lalu diperintahkan untuk deportasi. Ketika dia lapor ke Imigrasi, terus ‘digelangi’,” tutur sumber SH tadi.
Namun ada juga yang kena gerebek. Ia mengisahkan pihak Imigrasi AS memang mencari orang yang seharusnya dideportasi karena kalah sidang asylum atau tidak melanjutkan kasus kemudian pergi ke sana kemari untuk sembunyi dan menghindari penggerebekan.

Menahan Malu
Memang sepintas, tidak akan ada orang yang tahu kalau orang macam Melati ‘digelangi’ kakinya. Namun seperti biasa, AS pun tidak luput dari kasak-kusuk dan pergosipan.
”Tidak apa-apa, karena dibandingkan dengan kalau mereka harus dipenjara. Di penjara mereka tidak bisa apa-apa. Tapi kalau sekarang mereka masih bisa mencari penghidupan. Reaksi awal dari mereka yang lebih dulu ditangkap, sempat menimbulkan reaksi keras karena perusahaan takut menerima mereka,” kata sukarelawan yang membantu Warga Negara Indonesia (WNI) yang terkena masalah di AS itu.
Reaksi lain, lanjutnya, seperti biasa reaksi sosial dalam pergaulan. Ia menyebutkan ada yang teman-temannya pergi karena takut mereka sendiri kena tangkap.
”Mereka sendiri malu. Mereka menghindar dengan banyak alasan,” ujar sukarelawan ini dengan nada getir sembari mengakui no choice (tak punya pilihan), karena ingin bertahan di negara Paman Sam itu untuk mencari nafkah.

Sinar Harapan Edisi Selasa, 23 November 2004

Tak Hanya Aceh di Nanggroe

JAKARTA – Ada berapa suku di Provinsi Aceh Nanggroe Darussalam? Jangan dikira cuma ama Suku Aceh. Ternyata, menurut ahli Antropologi, ada delapan suku di provinsi ujung barat Indonesia itu.
Suku Aceh memang yang mayoritas. Selain itu di antaranya ada Suku Gayo di Aceh Tengah dan Aceh Timur, Suku Alas di Aceh Tenggara, Suku Simeulue di Pulau Simeulue, dan Suku Singkil di Aceh Singkil.
Suku Gayo pun memiliki beberapa sub dan dialek berbeda seperti Gayo Lut yang tinggal di sekitar Danau Lut Tawar yang indah bukan kepalang dan Gayo Luwes dengan ibukota Belangkejeren. Lalu ada Gayo Linge, Gayo Seberjadi yang mendiami Lokop sampai Aceh Timur dan Gayo Johar di Sumatera Timur.
Menurut sejarawan Dada Meuraxa, Marco Polo singgah di Perlak tahun 1292 sekembali dari perjalanan panjangnya ke Tiongkok. Ia menemukan penduduk Perlak telah memeluk Islam.
Menurut Marco Polo, yang tidak bersedia diislamkan menyingkir ke pedalaman. Mereka yang tersingkir ini mendapati adanya kerajaan kecil dan laut kecil di pedalaman itu.

Budaya Batak

Sedang para ahli antropologi memasukkan Suku Gayo dan Alas ke dalam kelompok suku budaya Batak. Pasalnya, ketiga suku ini berada dalam satu daerah kebudayaan yang sama karena persamaan unsur-unsur kebudayaan.
Memang pada kenyataannya bahasa dan adat istiadat Gayo dan Alas berbeda dengan Suku Aceh yang mayoritas. Lihat saja kesenian Didong dengan bahasa Gayo dalam film Puisi Tak Terkuburkan yang jelas nampak berbeda.
Tak pelak Suku Gayo dan Alas tidak termasuk dalam daerah kebudayaan Aceh. Kendati demikian secara geografis kedua suku ini mendiami Aceh Tengah, Aceh Timur hingga Aceh Tenggara yang sebenarnya berada di bagian tengah Provinsi NAD. Dataran tinggi Gayo merupakan rangkaian Pegunungan Bukit Barisan yang kaya flora fauna.
Gunung Leuser dengan ketinggian 3.000 meter bak pengawal di antara kedua kabupaten tadi. Pantas saja kalau kemudian ide pemekaran provinsi NAD mengambil nama Provinsi Leuser Antara.

Sentimen Antar Etnik

Perbedaan-perbedaan etnis tak jarang mencuat ke permukaan. Tapi apakah perbedaan kesukuan menjadi alasan yang sah untuk membagi provinsi menjadi provinsi tersendiri?
“Gagasan pembagian itu sudah lama, bahkan tiga provinsi. Yang paling santer memang Leuser Antara. Ini akan mempertajam sentimen antar etnis,” kata sosiolog Otto Syamsuddin Ishak dalam percakapan dengan SH.
Mantan dosen Universitas Syah Kuala, Banda Aceh ini menilai ide pemekaran provinsi itu justru mengabaikan aspek budaya. Ia juga menyebutkan aspek historis.
“Ini dapat menghilangkan realitas Aceh secara sejarah maupun budaya. Salah satu faktor yang mereka tidak pikirkan. Siapa nanti yang menamakan diri Serambi Mekkah, siapa yang memberi kontribusi paling banyak,” ujar Otto memberi gambaran.
Menilik hal itu, bukan tidak mungkin ide pemekaran bak politik devide et impera. Mengingatkan pada politik penjajah yang bakal memecah belah antar suku-suku di Aceh.
Tapi Otto segera mengingatkan, “Aceh bukan masalah suku, tapi nasion.”

Sinar Harapan edisi Senin, 21 Juni 2004

Saturday, May 12, 2007

Nasib WNI di AS

Terkena Getah Pasca–Bom Bali

JAKARTA – Ibarat tidak makan nangka, tapi ikut kena
getahnya, itulah nasib puluhan Warga Negara Indonesia
(WNI) di Amerika Serikat (AS) sekarang ini. Peristiwa bom
Bali tahun lalu, Indonesia masuk daftar 25 negara yang
dicurigai sebagai ”sarang” teroris. Bahkan di AS,
Indonesia disebut-sebut sebagai negara nomor lima yang
berbahaya dalam terorisme. Alhasil, WNI di AS mendapat
panggilan khusus untuk mendaftarkan diri. Di sinilah
para WNI yang tinggal melebihi batas waktu (overstayed)
tersandung masalah.
”Kalau mereka overstayed, maka mereka ditangkap Bureau
Investigation dan dilepaskan lagi tanpa jaminan. Tapi
mereka harus menghadap ke pengadilan keimigrasian. Untuk
maju ke pengadilan, orang-orang Indonesia harus menyewa
lawyer yang akan menemani mereka menghadap hakim untuk
master hearing dan sekaligus mempersiapkan diri untuk hadir
di pengadilan atau individual hearing,” jelas seorang
sumber SH di Philadelpia, AS melalui surat elektronik.
Dalam rangka mempersiapkan pengadilan inilah, lanjutnya,
orang-orang mengajukan suaka politik (asylum). Menurutnya
ini dipakai untuk memperpanjang tinggal di AS secara legal.
”Suaka politik adalah salah satu senjata orang Indonesia
untuk menghadapi NTA (Notice to Appear before Immigration
Court) sebagai konsekuensi dari Panggilan Khusus untuk
mendaftar tempo hari. Malangnya sekarang mereka tidak
memperoleh apa-apa sampai permintaan suakanya dikabulkan.
Kalau dikabulkan maka I-94 (izin tinggal) lama ditarik,
dan orang diberi yang baru dengan status granted asylum,”
terang sumber SH itu lagi.
Padahal dulu, tambahnya, 180 hari setelah berkas diterima
mereka mendapatkan social security number (nomer layanan
sosial yang dimiliki oleh setiap penduduk). Ini yang
menjadi pondasi untuk working authorization dan kartu
penduduk ataupun SIM.

Mendekam di Penjara
Gara-gara kebijakan imigrasi barulah inilah, beberapa WNI
sempat mendekam di penjara. Pasalnya permohonan suaka tidak
serta-merta diberikan dengan mudah.
”Ketika orang mengajukan permohonan asylum, ia akan
di-interview. Kalau alasannya begitu kuat, maka keputusan
bisa langsung dibuat. Kalau ditolak, maka pemohon harus
maju ke pengadilan imigrasi, ia harus diwakili lawyer lalu
dibuatlah master hearing. Ini adalah sirkuit pertama. Kalau
hakim menyatakan pemohon kalah, pemohon diberi kesempatan
naik banding ke pengadilan lebih tinggi, Bureau of Imigration
Administration (BIA),” tutur sumber SH itu.
Selanjutnya, kalau BIA menolak permohonan, maka pemohon
dapat naik banding sekali lagi ke Federal Court (Pengadilan
Federal). Inilah yang disebut sirkuit ketiga. Dalam proses
naik banding itulah, beberapa orang Indonesia sempat menginap
di hotel prodeo AS sebelum dipulangkan ke Indonesia. Ada
yang ditangkap pagi-pagi buta saat masih terlelap dan itupun
tak diperkenankan menukar pakaian.
Bahkan menurut sumber SH itu, mereka tidak diperbolehkan
membawa tas bepergian. Barang-barang hanya boleh
ditempatkan dalam tas kecil yang telah ditentukan aparat
imigrasi setempat.
Sedihnya ketika ini terjadi, Kedutaan Besar Republik Indonesia
(KBRI) seolah tak tahu menahu yang menimpa warga negaranya.
Seakan hanya masalah administratif saja kerjanya, kalau orang
Indonesia melaporkan diri atau memperpanjang paspor.

Penghasil Devisa
Izin kerja (working permit) yang menjadi incaran WNI
sebagaimana imigran lainnya. Seperti cerita seorang ibu yang
pernah mengajukan permohonan suaka politik di Negeri Paman
Sam itu.
"Working permit itu, tidak penting yang lain-lainnya. Sebab
buat orang seperti saya, tidak gampang untuk dapat green card
(izin tinggal tetap di AS). Tapi saya tetap maunya nanti
pulang ke Indonesia,” ujar ibu yang demi studi anaknya
berangkat ke AS ketika SH menghubunginya belum lama ini.
Ibu ini berangkat di kala krisis menerpa Indonesia tahun 1997,
ia tidak merasa menjelekkan Indonesia dengan mengajukan suaka.
Sebab baginya itu adalah keharusan di tengah keterjepitan.
”Maka jauhkanlah sinisme terhadap mereka, karena mereka
justru memberi kontribusi banyak kepada keluarga di Indonesia.
Ada yang per dua bulan mengirim US$ 2.500. Mereka harus
bekerja keras untuk itu. Ini kan devisa untuk pemerintah
Indonesia,” tandas sumber SH tadi.
Seperti ibu yang kini kembali ke Jawa Tengah itu, ketika di AS
ia mampu menyisihkan tidak kurang dari US$1.000-1.500 rata-rata
per dua bulan bagi keluarganya di Indonesia. Bahkan menurutnya
yang bekerja secara mapan bisa menyisihkan sampai US$2.000-2.500
(sekitar Rp 20 juta) per bulannya.
Ibu ini tidak mengingkari di samping motivasi ekonomi, adalah
rasa aman dan penghargaan yang ia cari nun jauh di negeri orang.
Maklum sebelum ia berangkat, bumi pertiwi tengah gonjang-ganjing
terlanda krisis, setelah sebelumnya pembakaran gereja dan
diskriminasi yang ia rasakan berkepanjangan sebagai etnis
minoritas.
Duh, kapan negeri ini memberi ketentraman kepada anak-anak
bangsanya sendiri? Sehingga tak perlu mencari di negeri orang.

Sinar Harapan edisi Sabtu, 27 September 2003

Kisah Iwan Firman

Jadi Korban karena Keturunan Tionghoa

JAKARTA – Perjuangan manusia adalah melawan lupa. Kata-kata sederhana Milan Kundera itu menjadi tidak sederhana bagi Iwan Firman.
Justru ia tidak dapat lupa. Peristiwa enam tahun lalu kuat terpatri dalam ingatannya. Kendati telah enam tahun, seperti di luar kepala, ayah dua anak ini menceritakan kronologi kemalangan yang menimpa dirinya.
Laki-laki mendekati paruh baya ini ingat benar segala detail kejadiannya. Diawali sebagai bawahan yang menjalankan permintaan bosnya untuk menagih, berangkatlah ia dari rumah bos menuju Bekasi.
Seperti biasa pekerjaan menagih ia jalankan nyaris tanpa hambatan. Dengan uang di tangan, Iwan Firman melakukan perjalanan dengan motor kembali ke Jakarta.
Hari-hari digumuli dengan kesibukan pekerjaan, tidak menjadikannya awas terhadap ekskalasi politik yang saat itu meningkat. Ia tidak menyadari tanggal 14 Mei 1998 itu Jakarta telah menjadi tak terkendali.
Mata hatinya membisikkan untuk melihat lebih jeli keadaan yang mulai mengancam jiwanya ketika massa mengadangnya di Jalan Raya Kranji Bekasi. Beruntung ia lolos hingga dapat menyerahkan uang tagihan kepada bosnya dengan selamat.
Dalam perjalanan pulang, di kawasan Poncol, Jakarta Pusat, massa kembali mengadangnya. Justru ketika sudah hampir dekat tempat tinggalnya di Tanah Tinggi, musibah itu terjadi.
Kali ini, massa beringas tak berbelas kasihan beramai-ramai mendaratkan pukulan yang membuatnya terjatuh dari motor, digebuk, dan diinjak-injak. Darah keluar dari mulut dan hidungnya tidak menyurutkan massa yang meradang.
Motornya dibalikkan. Tubuhnya yang berkulit kuning khas Asia Timur dihujani dengan bensin dan sekonyong-konyong api menjilati badan yang tak berdaya itu. Sebelum tak sadarkan diri, Iwan Firman tahu ia dibakar hidup-hidup.

Ditolong Haji
Saat membuka mata, ia mendapati ruangan yang serba putih. Rumah Sakit Islam Jakarta tempatnya dilarikan untuk menolong nyawanya yang meregang. Yang lebih mengharukan lagi, ternyata seorang haji yang menyelamatkan jiwanya. Haji Harun, demikian ia mengenalnya.
”Setelah diselamatkan ke Rumah Sakit Islam Jakarta, setelah sadar di batin saya ada yang bilang, itu yang menyelamatkan saya. Haji, Haji Harun. Waduh saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih,” ucap Iwan Firman kepada SH, usai bersama Panitia Peringatan Tragedi Mei diterima Presiden Megawati di Istana Negara Jakarta beberapa waktu lalu.
Pada diri Iwan terjadi pertemuan kontradiksi yang kental. Di satu pihak, ia menyadari benar dirinya menjadi sasaran massa karena darah Tionghoa yang mengalir di tubuhnya.
”Saya pikir memang benar saya menjadi korban karena (saya) Tionghoa. Saya akui. Tapi untuk apa kita dendam,” kata Iwan Firman dengan nada lirih.
Namun, massa beringas merampas kebahagiaan hidupnya sebagai manusia pekerja dengan meninggalkan cacat menetap, terutama pada bagian tangannya. Sekarang jari-jari tangannya tak lagi lengkap dan tak berfungsi sempurna.
Tapi di lain pihak, justru seorang haji yang berlainan suku yang menolongnya. Jelas terdapat perbedaan keyakinan pula di antara keduanya.
Justru di kala Jakarta panas meregang, ada kesejukan toleransi yang terpancar nyata. Rasa kemanusiaan yang tak mengenal batas-batas suku, agama, ras dan keyakinan yang menyelamatkan jiwa.
Betapa sebenarnya masyarakat bawah dalam kesehariannya, seperti Haji Harun itu, yang lebih yang digerakkan oleh rasa kemanusiaan. Masyarakat yang secara alami tidak terusik oleh perbedaan-perbedaan suku, ras, maupun agama.
Ada banyak Iwan Firman dan Haji Harun yang lain dalam Tragedi Mei dan tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya di tanah air. Selalu ada kelembutan wajah toleransi dalam kebuasan beringas massa yang digerakkan tangan-tangan tak bertanggung jawab hingga kini.
Semoga kiranya kelembutan wajah toleransi, kelembutan hati, lebih mengatasi motivasi gerakan-gerakan politik bertangan besi. Semoga Tragedi Mei dan tragedi kemanusiaan yang lain tak terulang lagi.

Sinar Harapan edisi Sabtu, 15 Mei 2004

Penghasil Beras Terbesar di Dunia

Mencermati Dahsyatnya Kemajuan Sektor Pertanian Cina

JAKARTAChang Jiang (sungai panjang) begitu penduduk lokal menyebutnya. Itulah Sungai Yangtze, sungai terpanjang di Cina dan sungai nomor tiga terpanjang di dunia setelah Sungai Amazon di Amerika Selatan dan Sungai Nil di Afrika.
Dengan panjang 6.380 kilometer, Sungai Yangtze setara dengan enam kali panjang Pulau Jawa. Di samping sebagai irigrasi, setiap tahun sungai ini membawa berkah endapan tanah lumpur subur yang mengukuhkan Cina sebagai penghasil beras nomor satu di dunia.
Saat ini saja 35 persen beras dunia dihasilkan oleh negeri dengan penduduk lebih dari satu miliar itu. Belum lagi kalau tiga dam besar yang dibangun sejak tahun 1994 akan selesai pada tahun 2009.
Negeri yang pernah dijuluki Tirai Bambu itu jelas bakal menjadi tantangan nyata bagi
Indonesia, juga di sektor pertanian. Bukan saja irigrasi teknis yang krusial, tiga dam besar Sungai Yangtze akan meningkatkan produktivitas pertanian, kapasitas transportasi dan menyediakan listrik setara dengan 18 pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
“Ini proyek yang luar biasa.
Ada tiga kanal yang akan dibangun, terutama untuk membendung desertation (penggurunan). Tapi memang Cina berhasil. Salah satu contoh produksi beras terbesar di dunia, kan Cina sekarang. Nomor dua India. Kita sendiri nomor tiga,” kata Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Cina, Aa Kustia, dalam percakapan dengan SH usai diterima Presiden Megawati di Istana Negara, Jakarta minggu lalu.
Belum lagi upaya intensif Pemerintah Cina untuk meningkatkan teknologi, termasuk di bidang pertanian. Dubes Aa Kustia menyebutkan Cina berhasil dalam riset seperti padi hibrida. “Padi hibrida dalam satu hektar bisa menghasilkan sampai 10 ton (padi). Bahkan dalam suatu percobaan, bisa menghasilkan sampai 14 ton,” ujar Aa Kustia.
Tak pelak kalau Indonesia harus belajar dari Cina. Seperti kata pepatah belajar sampai ke negeri Cina.
Untuk itu Indonesia perlu bekerja sama dengan Cina dalam perberasan. Dubes Aa Kustia menyebutkan wujud kerjasama itu di Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah berhasil. “Mudah-mudahan dengan kerjasama ini, produksi beras kita juga meningkat,” harap Kustia.
Ia mengungkapkan Cina juga berhasil dalam budi daya dan produksi tebu, terutama di Guang Xi. Bahkan, katanya, investor
Indonesia turut menanamkan modalnya di sana.
Sekarang saja, Cina sudah sedemikian digdaya dalam sektor pertanian khususnya perberasan. Apalagi nanti kalau tahun 2009 tiga dam besar itu rampung dengan segala kedahsyatannya.
Kendati demikian, secara diplomatis sang dubes tidak menganggap Cina sebagai ancaman bagi
Indonesia. Menurutnya, itu tantangan buat Indonesia untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pertanian kita.

Diversifikasi Pangan
Di samping itu, Aa Kustia menilai
Indonesia masih mengimpor beras karena konsumsi beras kita yang sangat tinggi. Ia menyebutkan 135 kilogram per orang per tahun, sementara Cina hanya 92 kilogram per orang per tahun dan India hanya 77 kilogram per orang per tahunnya. “Tapi kita semua makan beras, jadi tinggi. Tapi diversifikasi kita ke terigu juga tidak bisa, karena kita mengimpor. Salah satu contoh di Cina, saya berkunjung ke kota kecil lalu dijamu oleh walikota. Yang disuguhkan kepada saya ubi dan talas, karena itu makanan mereka dan mereka tidak malu,” tutur Kustia.
Lebih lanjut ia menyebutkan rakyat Cina di utara jarang makan nasi, melainkan mie.
Sementara rakyat Cina di selatan lebih banyak makan nasi, sehingga ada diversifikasi pangan.
Lebih jauh, sebagai duta besar di Cina, Aa Kustia memandang unsur etos kerja turut berperan dalam keberhasilan, terutama di sektor pertanian ini. Ia melihat etos kerja ras kulit kuning ini luar biasa. “Saya harus akui memang orang Tionghoa luar biasa bekerja. Salah satu contoh, kalau bekerja mereka bekerja, kalau istirahat ya istirahat. Ini challange buat kita. Kalau bahaya, kalau kita tidur ya bahaya kan.
Yang penting kita bangun, bagaimana kita bangun menghadapi challange itu,” tandas Aa Kustia.
Semoga pemerintah
Indonesia ke depan benar-benar melihat tantangan ini. Semoga pemerintah bangun dan siap menghadapi tantangan.

Sinar Harapan edisi Senin, 09 Agustus 2004

Balada Bayi Zulkifli

Orang Miskin Dilarang Sakit

JAKARTA – Bayi Muhammad Zulkifli dari pukul 09.00 WIB sudah berada di Puskesmas Pinang Ranti, Jakarta Timur. Dalam kondisi seluruh badan ‘menguning’ (berwarna kuning), pasangan Husein-Lailasari sebagai orangtuanya membawa Zulkifli ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih di kawasan Cawang, Jakarta Timur.
Ditolak, Zulkifli ‘dilarikan’ ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jalan Diponegoro Jakarta Pusat. Di rumah sakit rujukan nasional ini pun Zulkifli ditolak, sehingga dibawalah ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto di kawasan Senen Jakarta Pusat.
Di sini, menurut orangtuanya, dokter setempat bertanya, berani nggak bayar Rp 700.000 per hari? Lantas alasan klise pun muncul, ruangan penuh.
Dari arah utara, Zulkifli yang cuma berbobot 1,4 kilogram itu terpaksa ‘dilarikan’ ke Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Mintoharjo. Lalu ke arah barat Rumah Sakit Anak dan Bersalin (RSAB) Harapan Kita.
Menjelang petang tak membuahkan hasil, Zulkifli yang lahir prematur itu kembali dibawa ke arah timur. Kali ini Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (RS UKI) pun menolaknya.
Total enam rumah sakit menolak anak buruh proyek itu. Sampai akhirnya Rumah Sakit Ibu Bersalin (RSIB) Harapan Bunda, di Jalan Raya
Bogor, Ciracas, Jakarta Timur yang menerima untuk merawatnya.
Alhasil Menteri Kesehatan (Menkes), Siti Fadilah Supari gerah, lalu memanggil direksi enam RS itu ke kantornya. Ternyata Menkes cuma meminta para direksi RS lebih manusiawi dengan tidak menolak pasien seperti kasus Zulkifli.

Cacat Bawaan
Jelas kasus penolakan pasien miskin ini bukan pertama kalinya. Tahun lalu, bocah balita (bawah lima tahun) Siska Yulia ditolak RS Ananda, di Jalan Raya Sultan Agung Km 28, Medan Satria, Bekasi. Orangtuanya, Daswin dan Siti Maemunah tidak mampu menyediakan uang kontan Rp 1 juta untuk biaya perawatan.
Juni lalu bayi prematur yang lahir dengan kondisi tidak normal juga ditolak di RSAB Harapan Kita. Lagi-lagi alasan klise tak ada ruangan.
Yang lebih mengenaskan bayi Anis Syamsuddin warga Karet Pasar Baru Barat I yang lahir dengan bobot 1,8 kilogram di tempat bidan tanggal 2 Juni lalu. Bidan melarikannya ke Puskesmas Karet yang kemudian dirujuk ke RSCM, pasalnya terlahir dengan cacat bawaan usus di luar. Itu pun RSCM menolak merawatnya dan dua hari kemudian bayi malang itu menghembuskan napas terakhir.
Mengutip SK (Surat Keputusan) Dirjen Bina Pelayanan Medis, Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta menyatakan rumah sakit tidak boleh menolak pasien gawat darurat. Menurutnya, lahir dengan usus di luar itu tidak usah dilihat, jelas darurat.
”Terus terang saya sudah bosan dengan penolakan rumah sakit seperti ini. Kita secara hukum ingin meng-KUHP-kan, sebab itu melanggar Pasal 304 juncto 306 ayat 2 menelantarkan pasien kedaruratan sehingga mengakibatkan kehilangan nyawa. Itu juga melanggar Undang-Undang Konsumen,” ujar Marius kepada SH yang menghubunginya di Jakarta, Kamis (28/7).
Namun dokter yang aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu tidak akan melayangkan tuntutan sendiri. Bersama sejumlah LSM, Marius akan membentuk aliansi untuk melakukan upaya hukum terhadap kasus-kasus penolakan pasien oleh rumah sakit tadi.”Kalau tidak, ini didiamkan, akan ada kejadian terus-menerus seperti ini,” tegas Marius.
Memang tidak cukup teguran atau sekedar peringatan memanggil direksi rumah sakit. Harus ada upaya konkret agar peristiwa tragis ini tak terulang. Jangan seperti judul buku, orang miskin dilarang sakit!

Sinar Harapan edisi Jum'at, 29 Juli 2005

Friday, May 11, 2007

Anggaran Sensitif Gender, Kenapa Tidak?

JAKARTA – Angka harapan hidup bayi yang baru lahir meningkat dari 71,8 menjadi 74 persen. Sementara itu, rata-rata umur perkawinan naik dari 20 menjadi 22 tahun dan angka melek huruf melonjak dari 65,7 persen ke 87,86 persen. Pada saat yang sama, angka kelahiran turun drastis dari 26,4 ke 16 per 1.000 kelahiran, berikut angka kematian bayi langsung merosot dari 41 menjadi 15,3 persen.

Malah di Distrik Kottayam, angka melek huruf perempuannya menduduki peringkat pertama dengan angka 94,45 persen. Di Distrik Pathanamthitta di peringkat kedua, 93,7 persen perempuannya melek huruf.
Angka-angka ini bukan sulapan, bukan keajaiban. Ini adalah sebagian indikasi Pembangunan Gender di Negara Bagian Kerala,
India, dalam kurun waktu tahun 1981 dan 2001 yang dilaporkan dalam Economic Review 2003.
Angka-angka ini akan lebih menakjubkan ketika dibandingnya dengan angka secara nasional di seluruh
India dalam kurun yang sama. Jika di India dari 1981 ke 2001, angka kematian ibu turun dari 468 menjadi 407, di Kerala tahun 2001 angka itu tinggal 140.
Bandingkan juga rata-rata umur perkawinan di
India tahun 2001 meningkat tipis ke 19,5, padahal di Kerala tahun 1981saja, rata-rata umur perkawinan sudah 20 tahun lalu naik menjadi 22 tahun di 2001.
Lihat
pula angka harapan hidup bayi yang baru lahir di Kerala tahun 1981 sudah 71,8 persen, kemudian naik ke 74 persen. Secara nasional di India tahun 2001 angka itu baru mencapai 65,3 persen.
Kalau di seluruh India kematian bayi tahun 2001 masih bertengger di angka 71 persen, di Kerala tahun 1981 saja, angka kematian bayi sudah 41 persen. Lantas angka ini langsung merosot menjadi 15,3 persen di tahun 2001.
Pada tingkat nasional, perempuan buta huruf masih bertengger di angka 45,8 persen alias nyaris separuh penduduk perempuan India. Namun di Kerala, perempuan tidak melek huruf cuma 12,4 persen.
Prestasi Kerala memang luar biasa, tidak hanya untuk ukuran India. Nama Kerala sudah tidak asing lagi, terutama ketika nama Amartya Zen mencuat sebagai pemenang Nobel Ekonomi. Salah satu studi Amartya Zen menunjukkan angka perluasan melek huruf perempuan Kerala jauh lebih pesat dibanding di Republik Rakyat Cina (RRC).
“Ketika angka kesuburan perempuan RRC turun dari 2,08 menjadi 2 persen dalan kurun waktu 1979 dan 1992 (saat kebijakan satu anak diperkenalkan), pada waktu yang sama angka kesuburan merosot dari 3 ke 1,8 persen di Kerala, tanpa paksaan,” kata Amartya Zen sebagaimana dikutip dalam International Journal of Health Services, 2001.

Dampak Angka
Angka-angka itu jelas tidak berdiri sendiri. Meningkatnya angka melek huruf di kalangan perempuan, sekaligus mendudukkan Kerala menjadi negara bagian dengan tingkat peserta didik perempuan tertinggi di India. Lebih dari 49 persen dari total peserta didik itu adalah perempuan.
Kian tinggi jenjang pendidikan dan rendahnya angka putus sekolah, secara tidak langsung ini merupakan penundaan perkawinan secara alami. Tak pelak kalau umur rata-rata perkawinan meningkat pula. Alhasil, angka kesuburan pun turun seiring dengan meningkatnya umur rata-rata perkawinan itu.
Semakin terdidiknya dan makin matangnya usia calon ibu secara otomatis menekan angka kematian ibu dan kematian bayi. Tidak heran, harapan hidup bayi yang lahir pun lebih tinggi.
Makin tinggi jenjang pendidikan, kian mampu
pula perempuan mengambil keputusan dalam rumah tangga maupun publik.

Rahasia di Balik Angka
Apakah gerangan yang membuat Kerala begitu menakjubkan dalam kurun waktu dua dekade terakhir? Kuncinya adalah penetrasi kebijakan yang sensitif dan memberi manfaat langsung terhadap perempuan.
Hal itu berarti bisa dimulai dari prioritas dan perluasan pendidikan bagi perempuan. Lantas meningkat pada pendidikan dan pelatihan pemberdayaan sosial ekonomi perempuan yang terintegrasi.
Contohnya di Kerala pada tahun 2001-2002 terdapat 30 skema proyek yang memberi manfaat langsung pada perempuan. Kerala juga menerapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar 10 persen untuk proyek yang bermanfaat bagi kaum Hawa.
Tidak hanya kebijakan dan anggaran, tapi Kerala juga menyiapkan institusi yang memberi manfaat langsung pada perempuan. Lembaga yang besar misalnya Kerja Sama Pembangunan Perempuan Negara Bagian Kerala (Kerala State Women Development Corporation), Komisi Perempuan Negara Bagian Kerala serta Kudumbasree.

Anggaran Minimum
Dengan lebih dari separuh penduduk adalah perempuan,
Indonesia dapat mengikuti jejak Kerala dengan memilih provinsi pilot project.
Atau dengan otonomi daerah, kabupaten/kota dapat mulai menetapkan anggaran minimum sensitif gender, misalnya 10 persen.
Di samping menyediakan anggaran, Pemerintah Daerah (Pemda) perlu menyiapkan kebijakan yang sensitif gender berikut lembaganya. Bisa juga Pemda bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk
segera mengentaskan perempuan dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan mengentaskan perempuan sebenarnya berarti mengentaskan seluruh keluarga
Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan pula. Pasalnya, ibulah perawat dan pendidik utama anak-anak.
Bukankah
Indonesia masa depan membutuhkan ibu-ibu yang cerdas dan pandai untuk meredam gizi buruk, muntaber dan lain-lain? Pasalnya wabah ini yang sesungguhnya menunjukkan wajah kemiskinan dan keterbelakangan. Kalau tidak mulai menyediakan anggaran sensitif perempuan dari sekarang, kapan lagi?

Sinar Harapan edisi
Senin, 04 Juli 2005

'Tilik-Pitik' Dengan Limousine

Pernahkah Anda melihat mobil limousine? Ini limousine betulan, bukan limo salah satu tipe sedan yang dipakai untuk taksi. Ini limousine mobil mewah yang panjang itu, seperti di televisi dan film-film orang kaya luar negeri. Putra sulung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti, berkendara jenis limousine ini sebagai mobil pengantinnya.
Limousine Mercedes Benz dengan enam jendela pada lambung mobil yang memanjang itu biasa digunakan tamu negara tingkat Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan negara sahabat. Enam tempat duduk lapis kulit, dengan empat tempat duduk di belakang yang saling berhadapan.
Sebagai mobil pengantin, kap depan dan belakang berhiaskan rangkaian bunga potong segar lily dan mawar merah putih serta jenis bunga subtropis yang dominan dengan warna putih. Sementara di ke-empat handle pintunya berhiaskan pita putih lengkap dengan juntaian roncean (rangkaian) melati berujung kuncup bunga kenanga.
Limousine hitam itu menggunakan nomor polisi (Nopol) B 1904 BS. Sementara tepat di belakang limousine itu, masih ada satu mobil Mercedes Benz dengan nopol B 2073 BS.
Konon akhiran BS merupakan penanda kendaraan milik pemerintah. Juru bicara (jubir) Presiden, Andi A. Mallarangeng, membenarkan hal itu. ”Memang itu adalah satu dari mobil Rumah Tangga Kepresidenan. Dengan perhatian publik yang begitu besar, maka perlu juga ada pengamanan yang cukup. Itu juga dengan dasar hukum yang jelas juga, bahwa berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 25 Tahun 1972. Dan yang menjadi tanggung jawab TNI, Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) kan bagian dari TNI dengan Buku Petunjuk TNI Nomor 54/II/2001 tentang Operasi Pengamanan VVIP,” kata Andi menjawab pertanyaan SH di samping Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (8/7) siang.
Selanjutnya Andi menerangkan VVIP itu terdiri dari Presiden dan keluarga langsung, Wakil Presiden dan keluarga langsung serta tamu negara.
Andi juga menjelaskan, Presiden Yudhoyono dan istrinya, Kristiani Herawati tidak turut dalam upacara Akad Nikah. Bertindak sebagai wakil keluarga mempelai laki-laki adalah Letjen TNI Hadi Mulyo yang saat ini menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad).
”Orang tua mempelai laki-laki tidak ikut, karena kemarin pada waktu acara di Cikeas selain sungkeman kemudian ada acara suapan terakhir. Bahasa Jawa-nya saya lupa. Maksudnya, itulah suapan terakhir dari orang tua, setelah itu dia harus mandiri. Ketika pergi nikah, laki-laki tidak butuh wali, dia pergi sendiri. Nanti setelah (akad) nikah, Presiden akan datang dan itu istilah Jawanya tilik-pitik, melihat menantunya yang baru saja menikah,” jelasnya.
Maka Agus keluar dari pintu samping Istana Merdeka tanpa diiringi ayah ibunya. Agus keluar setelah para pengiring yang mengenakan seragam surjan dan kebaya merah maroon dengan kain panjang warna senada. Kalau acara Siraman, seragam keluarga mempelai berwarna lilac (ungu kebiruan), maka acara akad nikah ini, seragam keluarga mempelai bernuansa merah maroon.
Agus hanya didampingi adiknya, Edhie Baskoro, yang mengenakan seragam surjan merah maroon dan kain panjang lengkap dengan blangkon Jawa yang serasi. Sedang Agus memakai busana pengantin Jawa putih gading dengan payet dipadu kain panjang wiron (dilipat seperti kipas) dan blangkon warna coklat.
Meski tersenyum tipis, Agus tidak dapat menyembunyikan raut ketegangan di parasnya. Ia duduk di sisi kanan dan adiknya di sisi kiri bagian belakang limousine itu.
Usai membuka kaca dan melambaikan tangan kepada wartawan istana, limousine itu bergerak diikuti Range Rover, Jaguar, Toyota Alphard, VW Caravelle, Land Cruise dan sedan yang menjadi kendaraan pengiring pengantin. Tidak termasuk mobil pasukan pengawal (Patwal), rombongan itu berjumlah 22 kendaraan membelah jalan protokol yang bebas dari kendaraan lain. Nguing, nguing rombongan VVIP mau lewat!

Sinar Harapan edisi
Sabtu, 09 Juli 2005

Kisah Pesta dari Istana Negara

BOGOR – Karpet merah, jalur penghormatan itu terhampar mulai dari anak tangga ruang utama Istana Bogor. Melintasi Ruang Garuda tempat berlangsung prosesi Pedang Pora, hamparan karpet merah menyimpang kanan beranda belakang ke tangga turun setengah lingkaran.

Sebelum turun, mata para tamu disegarkan dengan taman buatan dengan hamparan ratusan bunga warna-warni yang asri di kaki tangga dan sisi luar tenda utama. Di sela-sela taman bahkan ada sebuah kolam buatan dengan air mancur pilar patung putri bergaya Eropa, lengkap dengan 10 angsa betulan.
Di koridor sebelum memasuki tenda utama, para tamu disambut prewedding photo sang mempelai bak lukisan di tengah taman. Juntaian rangkaian melati di rumpun bambu dan potongan ranting kayu di antara foto berbagai pose itu menambah romantis suasana. Selain itu, ada beberapa televisi datar (plasma TV) yang akan menampilkan prewedding photo secara elektronik.
Dalam tenda raksasa yang luasnya sekitar 3.000 meter persegi itu, sisi kiri koridor masuk adalah pelaminan bergaya
Yogyakarta dengan gebyok (rangka) kayu nan megah. Dengan taman bunga di depan panggung, pelaminan yang panjangnya sekitar 20 meter itu diterangi lampu.
Di panggung itu terdapat kursi pelaminan panjang berukir dengan dominasi warna merah maroon, tempat Lettu Inf. Agus Harimurti Yudhoyono dengan Annisa Larasati Pohan bersanding. Sofa tersebut diapit empat kursi untuk orangtua kedua mempelai berbahagia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Kristiani Herawati dan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Tantowi Pohan-Yani Pohan.
Pengantin perempuan tampak anggun dengan kebaya panjang berwarna hijau apel karya Adjie Notonegoro, perancang langganan Keluarga Yudhoyono. Menurut Adjie kepada wartawan, ia memodifikasi kebaya bergaya Keraton Yogyakarta dengan taburan kristal Swarovski impor dengan warna senada.

VVIP dan VIP
Di sisi kiri pelaminan, agak menjorok ke dalam, ada tenda terusan dengan meja-meja bundar dikelilingi kursi berbalut kain putih dan pita merah maroon. Masing-masing meja berhiaskan tempat lilin tinggi dengan hiasan bunga dan
lima lilin merah maroon. Inilah tenda VVIP untuk para menteri, putra-putri proklamator, mantan presiden dan wakil presiden, dan tamu dari negara sahabat.
Di seberang panggung pelaminan yang dibatasi dengan taman buatan nan asri, ada meja panjang tempat hidangan dan ruang terbuka untuk ber-standing party. Atap tenda utama ini berhiaskan juntaian vitrage merah putih berselang dengan puncak tergantung lampu krital bundar kelap-kelip indah.
Menurut pihak catering, hidangan di antaranya soto
bogor, pempek, dan soto bangkong. Makanan itu disiapkan Catering Akasia dan Tiara dari Jakarta, Catering Rosika dari Bogor dan sebuah rumah makan padang Jakarta.
”Kami berpesan memang kepada panitia dan seluruh perangkat yang ikut menyukseskan acara resepsi ini agar dekorasi, makanan, buah-buahan, kemudian busana yang digunakan khas
Indonesia, produksi Indonesia. Kalau buah-buahan dan tanaman juga ditanam di Indonesia.
Ini sekaligus, karena tamu undangan datang dari banyak tempat, termasuk dari mancanegara, untuk mengenalkan nilai luhur budaya bangsa, dari adat dan tradisi kita yang mengesankan dan tentunya insyaallah bisa meningkatkan budaya dan pariwisata
Indonesia,” kata Susilo Bambang Yudhoyono dalam jumpa pers sebelum resepsi di Gedung Samping Istana Bogor, Sabtu (9/7), pukul 17.30 WIB.
Kendati demikian, ada juga meja hidangan menyajikan masakan Jepang, seperti sushi, sashimi, dan sukiyaki. Pasalnya, pengantin perempuan menjalani masa kanak-kanaknya di Negeri Matahari Terbit itu setelah dilahirkan di Boston, Amerika Serikat.
Di ujung belakang tenda, terdapat panggung band hiburan lengkap dengan gamelan Jawa yang terlihat kinclong. Sebelum tamu berdatangan, Ahmad Dani dari Grup Dewa tampak berlatih dengan iringan orkestra Purwacaraka.
Sembari menikmati hidangan dan lantunan lagu maupun gending Jawa, para tamu dapat berpesta kebun di halaman belakang Istana Bogor yang asri lengkap dengan kolam. Berpasang-pasang obor dengan tiang-tiang bambu anyaman makin menyemarakkan suasana resepsi malam itu.

Tenda Wartawan
Sementara itu, wartawan istana yang mengantongi ID khusus harus berpuas dengan menonton semua perhelatan itu dari layar CCTV di tenda khusus. Kamerawan dan fotografer hanya berkesempatan mengambil jumpa pers dan kedatangan pengantin sampai prosesi Pedang Pora dari halaman depan Istana Bogor.
Selebihnya, wartawan ”dikandangkan” di tenda khusus di sisi kiri Ruang Samping Istana Bogor. Tenda sederhana itu tertutup hanya berisi jajaran kursi-kursi dan sebuah meja kayu panjang melompong di lapangan rumput.
Tenda khusus wartawan lumayan jauh dari tenda utama raksasa itu. Wartawan cuma bisa melihat aktivitas di tenda sambungan tenda utama yang berfungsi sebagai dapur untuk menyiapkan hidangan. Malangnya lagi, tenda itu dekat toilet box.
Jangankan untaian bunga dan pernak-pernik indah seperti di tenda utama, untuk mendapatkan air minum kemasan saja, wartawan mesti minta pada Andi Mallarangeng, si Juru Bicara Presiden. Wartawan pun hengkang seusai pidato sambutan Yudhoyono karena makanan kotakan ada di bus.
Jadilah ke resepsi putra Presiden makan nasi kotakan!

Sinar Harapan Edisi Senin, 11 Juli 2005

Tak Semua Penderitaan Rakyat Masuk Hitungan Penguasa

Lalu kudengar episodemu adik kecil

Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku

Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

JAKARTA – Pengalan puisi di atas adalah puisi Abdurahman Faiz yang berjudul ”Kisah dari Negeri Yang Menggigil”. Siswa Sekolah Dasar (SD) itu menulis untuk Khaerunisa, seorang bocah tiga tahun yang meninggal karena muntaber dan sang ayah harus menggendong jenazah anaknya, karena tak mampu menyewa ambulans.
Goresan pena siswa pemenang pertama Lomba Menulis Surat untuk Presiden Tahun 2004 itu sudah seminggu beredar ke berbagai mailing list di dunia maya. Kendati demikian, mungkin puisi Faiz yang menyayat hati ini tidak sampai ke mata telinga sang penguasa. Memang kematian Khaerunisa tidak di depan mata penguasa. Namun tragedi kematian Khaerunisa adalah fakta yang demikian terang benderang menohok mata hati Bangsa
Indonesia.
Khaerunisa sudah terbujur kaku berkalang tanah, sudah kembali ke hadirat-Nya. Tapi ada kemalangan anak bangsa yang di depan mata, toh penguasa juga mengabaikannya. Adalah Victor Djami, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI)
Jakarta. Dia salah satu korban bentrokan antara petugas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) Jakarta Timur dengan pedagang kaki lima yang dibantu mahasiswa UKI di kawasan Cawang.
Akibat pukulan yang bertubu-tubi di kepalanya, Victor mengalami pendarahan otak, kepala bagian depan remuk, dan tulang tengkorak atas harus diangkat. Hingga kini, mahasiswa yatim itu masih koma di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit (ICU RS) UKI sejak 17 Mei lalu.
Jumat (10/6) siang kemarin, hiruk-pikuk kedatangan rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istri ternyata tidak sampai ke ruang ICU RS UKI tempat Victor terbaring. Kendati sudah ada wartawan yang mengusulkan, Presiden Yudhoyono dan rombongan hanya menuju ruang perawatan enam korban bom Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah.
”Saya sudah melihat enam orang korban Tentena. Kita akan melakukan pengobatan yang terbaik. Saya sudah minta pada pimpinan rumah sakit dan saya juga akan berkontribusi dalam pengobatan dan penyembuhan itu,” ujar Presiden Yudhoyono kepada wartawan sebelum meninggalkan RS UKI siang itu.
Ternyata korban dan kemalangan di mata penguasa berarti berbeda-beda. Tidak semua kemalangan dan penderitaan rakyat masuk dalam perhitungan penguasa. Ah malangnya!

Sinar Harapan Edisi Sabtu, 11 Juni 2005

Dipasena 2

Pertarungan Kepentingan di Bumi Dipasena

TULANGBAWANG – Inilah proyek besar Sjamsul Nursalim. Menjadikan Lampung tanah kelahirannya, lokasi pertambakan udang terbesar di dunia. Luas lahan konsesi yang dikuasai dari Lampung Utara (PT Dipasena Citra Darmaja/ DCD) hingga bagian tenggara Sumatera Selatan (PT Wachyuni Mandira/WM) keseluruhan mencapai 186.250 hektare.

Pada masa jayanya di tahun 1996, DCD menyumbang devisa US$ 167 juta dari ekspor udang windu. Bahkan ketika mulai krisis tahun 1997, ekspornya masih menghasilkan US$ 131 juta.
Namun malang tak dapat ditolak, krisis moneter menerjang cita-citanya. Kurs rupiah terpuruk, utang yang dalam dolar pun menumpuk. Tapi apakah adil menyalahkan krisis semata? Mengapa WM yang dikelola manajemen dan dengan cara yang sama bisa tetap jalan, sementara DCD terus bergolak? Apa yang salah?

Lahan kedua perusahaan ini hanya dibelah oleh aliran Sungai Mesuji. Namun secara administratif keduanya terpisahkan oleh provinsi yang berbeda. WM berada di Provinsi Sumatera Selatan, sementara DCD di Provinsi Lampung.

Tahun 1998 WM pun sempat mengalami kerusuhan. Ini diawali sekitar 2.000 petambak plasma menuduh manajemen tidak terbuka dan menuntut berbagai hal. Maklum era reformasi, tuntutan keterbukaan dan transparansi pun sampai ke pertambakan.

Ujung-ujungnya, petambak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini naik darah, mengepung kantor manajemen, menjarah sebelum membakar aset-aset perusahaan. Anehnya, di antara petambak sibuk mencari pimpinan yang acap berdialog dengan mereka di lapangan.
”Ini ada pengaruh orang luar, sebab mereka tidak kenal pimpinannya. Kalau petambak betulan, mereka kenal karena sebelum kejadian rutin ada pertemuan dengan Badan Musyawarah Plasma Sementara (BMPS),” tutur Senior Manager WM, Josef Francisico MB yang sebelumnya menangani DCD juga.

Namun reaksi aparat dan pemerintah daerah Sumatera Selatan cepat. Kurang dari tiga hari pasukan dari Marinir diterjunkan mendukung polisi dan aparat Kodim yang melokalisir lokasi. Hukum ditegakkan, para perusuh ditangkap dan diproses secara hukum sehingga masalahnya segera selesai.

Bahkan sekarang hidup DCD bertahan karena pengolahan udang yang dihasilkan WM yang rata-rata 20 ton per hari dari 7.451 tambak. Lahan yang dicadangkan untuk WM berkembang hingga 170.000 Ha, kini baru 42.000 lahan bersih tambak
”Awal tahun 2002 akan mulai pembangunan cold storage plan III kemudian dermaga ekspor. Sebab kalau dibawa ke DCD kendalanya pengangkutan yang tiga kali biayanya melalui air dan terlebih masalah kualitas,” terang General Manager WM, Anta Winarta ketika SH menemui di kantornya.

Masalah Perut
Di DCD, bara konflik mulai timbul tahun 1996-1997 yang dipicu oleh masalah perut. Meski nyaris semua kebutuhan sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) petambak plasma dipenuhi, tak ayal krisis dirasakan karena mahalnya barang-barang. Ini memicu petambak mempermasalahkan Biaya Hidup Bulanan Petambak (BHBP).

”Dapat BHBP dan sembako, kalau dilihat dari situ, kami cukup sejahtera dibanding orang luar waktu itu. Tapi kehidupan ke depan mau bagaimana? Karena kenyataan lebih dari 10 tahun kami tidak punya apa-apa. Tidak mungkin hanya Rp 150.000 per bulan, sementara biaya hidup terus bertambah. Ini pun tidak pernah berubah sejak tahun 1992,” keluh Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Nafian Faiz.

Sementara manajemen merasa harusnya BHBP itu mencukupi mengingat sembako sudah diberikan, termasuk beras hingga susu. Ikan Nila dari kanal bisa sebagai lauk, lahan di pinggir tambak bisa untuk bercocok tanam.

Sehingga ketika itu konflik diredam dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) pemimpin cikal bakal P3UW, meski BHPB berhasil naik dua kali lipat.
Bagai menyimpan bara dalam sekam, konflik kembali muncul tahun 1998. Kembali perut yang dijadikan alasan hingga disepakati naik dari Rp 300.000 menjadi Rp 500.000 per Kepala Keluarga (KK). Ditambah masalah harga udang yang semula ditetapkan sepihak, kini petambak ikut menetapkan diwakili P3UW yang berdiri resmi 30 September 1998.
Tahun 1999 konflik kian membara dipicu oleh PHK Ketua P3UW, Sari, bersama sekitar 300 pengurus lainnya. Rentetan masalah pun bermunculan, mulai dari masalah kemitraan yang dirasa tidak adil hingga utang petambak.

”Harusnya kemitraan tidak ada PHK. Kewajiban kami seperti buruh, tapi hak-hak seperti mitra. Tapi hak-hak ini pun tidak gratis,” ujar Nafian.
Padahal manajamen mengatakan telah menyediakan segala keperluan dan peralatan hidup petambak dari rumah hingga segala isinya. Ibaratnya cobek pun disediakan. Termasuk pelayanan kesehatan dan pendidikan, kendati itu nantinya diperhitungan ke dalam rekening petambak.
Masalah terus bergulir bagai bola salju yang terus membesarkan kecurigaan kedua belah pihak. Urusan kredit investasi dan kredit modal kerja yang sebagian dolar menggelembung ketika dirupiahkan sangat dipertanyakan.

Lantas pernah diupayakan membentuk Tim Independen yang terdiri dari beberapa akademisi dikoordinir Nanang Trenggono dari Universitas Lampung (Unila). Saat itu sudah berhasil mendudukkan manajemen dengan P3UW bersama penasihat hukum dari LBH Bandar Lampung.
”Ketika ketemu pemda jadi kacau. Sehingga tim menjadi vakum,” ungkap Penasihat Hukum P3UW dari LBH Bandar Lampung, Watoni Noerdin, ketika ditemui dikantornya.

Maka konflik pun memuncak menjadi kerusuhan pada tanggal 1 Maret 2000 ketika Sjamsul Nursalim hendak berdialog dengan para petambak. Kepanikan di tengah massa yang merangsek memicu anggota Brimob mengeluarkan tembakan mengenai seorang petambak. Segera menyulut kemarahan massa yang berakibat dua anggota Brimob tewas disertai kerusuhan mencekam.
”Pasca kejadian ini, LBH mendorong pemda untuk mengutamakan masalah Dipasena karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan sangat berpengaruh terhadap eskalasi stabilitas di Lampung, tapi tidak ada tanggapan,” ujar Watoni Noerdin.

Efek Karambol
Seperti efek karambol, maka perselisihan yang bermula Inti-Plasma berrentet ke mana-mana. Dipicu pendekatan penyelesaian masalah yang berbeda hingga kecurigaan menjadi kolaborator Inti, P3UW berselisih dengan petambak plasma yang lain, seperti Tim Pelaksana Perjuangan Petani Tambak (TP3T), Plasma Peduli dan Serikat Petambak dan Nelayan (SPN).
Hingga puncaknya terjadi pengusiran dan pembakaran rumah sekitar 200 petambak yang bukan anggota P3UW di bulan November 2000. Namun P3UW mengaku bukan mereka yang melakukannya.

”Tidak ada kebijakan organisasi untuk melakukan pengusiran. Prinsip perjuangan kami berbeda dengan mereka, sehingga kami tidak mau melibatkan mereka. P3UW tahan susah dan dalam hal prinsip kami tidak mau kompromi,” jawab Nafian Faiz.

Bukan hanya sesama petambak plasma yang menerbitkan kecurigaan bagi P3UW. Karyawan pun khususnya yang tinggal di areal tambak seperti di Blok IV turut menjadi sasaran pengusiran.
Dengan jumlah massa ribuan, isu yang berbau manajemen dianggap tidak populer di mata anggota. Sehingga tak mudah menyamakan persepsi di antara sekian banyak massa. Hal itu diakui Watoni Noerdin. Katanya, ”Di sana banyak pihak, bisa bias. Di sana variasi manusianya beragam dan mungkin banyak kepentingan yang membuat bias.”

Bom Waktu
Sebagai ajang perebutan politik, DCD merupakan lahan empuk yang memenuhi dua persyaratan. Dari segi ekonomi maupun dari segi massa yang lebih dari 7.000 petambak plasma itu.
Apalagi udang windu jenis black tiger yang dibudidayakan termasuk komoditi ekspor unggulan. Lahan yang dikuasai dengan infrastruktur terpadu mulai dari power plan (sumber daya listrik) 160 Mega Watt, pabrik pakan 15.000 ton, lebih dari 25.600 tambak pembesaran udang, cold storage 2.340 ton sampai pengapalan (Enterpot Produksi untuk tujuan Ekspor). Kurang apalagi?
Tidak heran bila mulai dari Keluarga Cendana sampai kelompok konglomerat saingan Sjamsul Nursalim disebut-sebut berkepentingan merebut lahan itu. Itu pun masih ditambah pihak yang berkepentingan atas nama keamanan untuk melanggengkan ‘periuk nasinya’ di sana.
Sebab kalau masalah Dipasena selesai atau tenang dan damai, tentu keberadaan aparat keamanan tak dibutuhkan lagi. Maka ada yang berkepentingan agar Bumi Dipasena terus bergolak guna mempertahankan keberadaan mereka di sana.

Karenanya Watoni Noerdin mengatakan, ”Kami khawatir, P3UW menjadi komoditas politik. Sebab dari sektor ekonomi pendapatan dari udang, besar. Dari sektor massa pun, besar dengan lebih dari 7.000 anggota.”

Kepada SH, Sekretaris P3UW Nafian Faiz mengaku memang pernah ada ormas dan partai politik tertentu yang menawarkan bantuan. Namun janji bantuan tidak pernah ada yang beres, sehingga P3UW kecewa. ”Kami belum merasakan pihak-pihak itu membantu. Jadi kami tidak mengharapkan orang luar,” tegas Nafian.

Namun dari sini jelas terlihat, Dipasena sasaran empuk. Ini bagai bom waktu yang siap meledak, kalau tidak segera ditangani secara nasional. Waktunya tak lama lagi, sebab 2002 sudah diambang pintu. Lebih-lebih mendekati ajang politik Pemilihan Umum Tahun 2004. Sudah barang tentu, para kontestan bersiap-siap dari sekarang mengincar.

Terlepas dari perselisihan penyerahan aset dari Sjamsul Nursalim kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang jelas ini adalah aset negara yang harus diselamatkan karena puluhan ribu orang bergantung kepadanya. Sebab masalah penyerahan aset, termasuk Grup Dipasena di dalamnya sudah mirip ayam dan telur. Tentu kita tidak bisa terus berputar-putar, bukan saatnya mencari-cari kesalahan lagi. Sebelum lebih hancur, pemerintah, silakan beradu cepat dengan para pembawa kepentingan ini! (bersambung)


Sinar Harapan edisi Selasa, 6 November 2001