JAKARTA – Sepintas lalu, Melati (bukan nama sebenarnya) berjalan layaknya orang biasa di tengah masyarakat Amerika Serikat (AS) yang cuek. Tak ada yang mencolok dari cara jalan maupun kakinya.
Namun di balik pergelangan kaki kiri Melati sebenarnya terlingkar sebuah ‘gelang’ dengan detektor. Gelang itu dilengkapi dengan alat elektronik yang dihubungkan ke monitor yang kemudian dihubungkan ke sambungan telepon sebagai alat monitor bagi lembaga yang menanganinya sehingga ke mana orang tersebut pergi lembaga ini dapat mengetahuinya.
”Penggelangan itu sebagai alternatif pemenjaraan. Kalau dipenjara, biayanya besar, mereka memberi pilihan ”digelangi” selama satu bulan atau dua bulan. Kalau ‘digelangi’ satu bulan, mereka wajib lapor ke kantor tiga kali seminggu. Kalau dua bulan mereka wajib lapor dua kali seminggu. Setelah itu selama dua bulan, mereka tetap dikenai wajib lapor dua kali seminggu selama dua bulan. Setelah itu baru satu kali seminggu. Jadi gradual,” kata seorang sukarelawan yang tinggal di Pantai Timur AS itu dalam surat elektronik kepada SH belum lama ini.
Menurutnya, aturan baru yang disebut Intensive Supervision Appearence Program (ISAP) ini diberlakukan bulan Juni 2004. Di kotanya, ia sudah menemui ada tujuh WNI yang terkena jaring ISAP di bawah The Departement of Homeland Security AS.
”Pelaporannya menggunakan kartu kayak orang kerja gitu. Mereka juga bilang, mereka diperbolehkan keluar rumah pukul tujuh pagi dan harus kembali ke rumah pukul tujuh malam. Ada yang minta dispensasi sampai pukul sembilan malam dan diperbolehkan,” ujar sukarelawan tadi.
Kasus Imigrasi
Ia menceritakan kasus orang yang ‘digelangi’ bisa bermacam-macam.
”Yang aku wawancarai ini dia di-granted asylum-nya (diberi suaka), tapi lalu dibanding oleh Jaksa Penuntut dan dimenangkan oleh Federal Court (Pengadilan Federal). Lalu diperintahkan untuk deportasi. Ketika dia lapor ke Imigrasi, terus ‘digelangi’,” tutur sumber SH tadi.
Namun ada juga yang kena gerebek. Ia mengisahkan pihak Imigrasi AS memang mencari orang yang seharusnya dideportasi karena kalah sidang asylum atau tidak melanjutkan kasus kemudian pergi ke sana kemari untuk sembunyi dan menghindari penggerebekan.
Menahan Malu
Memang sepintas, tidak akan ada orang yang tahu kalau orang macam Melati ‘digelangi’ kakinya. Namun seperti biasa, AS pun tidak luput dari kasak-kusuk dan pergosipan.
”Tidak apa-apa, karena dibandingkan dengan kalau mereka harus dipenjara. Di penjara mereka tidak bisa apa-apa. Tapi kalau sekarang mereka masih bisa mencari penghidupan. Reaksi awal dari mereka yang lebih dulu ditangkap, sempat menimbulkan reaksi keras karena perusahaan takut menerima mereka,” kata sukarelawan yang membantu Warga Negara Indonesia (WNI) yang terkena masalah di AS itu.
Reaksi lain, lanjutnya, seperti biasa reaksi sosial dalam pergaulan. Ia menyebutkan ada yang teman-temannya pergi karena takut mereka sendiri kena tangkap.
”Mereka sendiri malu. Mereka menghindar dengan banyak alasan,” ujar sukarelawan ini dengan nada getir sembari mengakui no choice (tak punya pilihan), karena ingin bertahan di negara Paman Sam itu untuk mencari nafkah.
Sinar Harapan Edisi Selasa, 23 November 2004
No comments:
Post a Comment