Friday, May 18, 2007

Sepenggal Hari di Vientiane

VIENTIANE – Lembayung merah jingga menyaput langit Vientiane bak lukisan agung sang pencipta. Sebuah pagi yang indah menyambut hari di ibu kota negara Laos yang berukuran 236.800 km2 ini, cukup mini untuk ukuran Indonesia yang luasnya 1.475.000 km2.
Bayangan akan makhluk-makhluk yang sibuk berhilir-mudik langsung sirna, begitu SH melihat jalan raya dari balik jendela kaca hotel. Jalanan nan lengang dan suasana tintrim (tenang menegangkan) masih meliputi ibu kota negara dengan total penduduk cuma empat juta jiwa itu.
Tak ada anak-anak berseragam yang berangkat sekolah, karena sekolah diliburkan. Tiada orang dewasa yang berangkat kerja, sebab kantor-kantor juga diliburkan.
Sedikit perempuan dengan phaa sin (sarung tradisional khas Laos) melintas di atas boncengan atau mengendarai motor. Mungkin ke pasar atau ke toko yang sebagian kecil buka.
Sebenarnya kelengangan sudah terasa sejak pesawat kepresidenan GA-1 yang membawa rombongan Delegasi Indonesia mendarat di Vientiane Wattay International Airport. Dari ketinggian hanya terlihat beberapa pesawat udara yang tengah parkir di apron bandar udara (bandara), kurang dari hitungan jari satu tangan.
Jalanan sepanjang tiga kilometer dari bandara menuju Vientiane nyaris melompong tanpa kendaraan. Kami masih menghibur diri mungkin karena Delegasi Indonesia mendarat di hari Minggu (28/11) dan di-escort sehingga jalanan ditutup untuk rombongan.
Nyatanya, Senin (29/11) pagi pun jalanan tetap lengang. Ternyata, Pemerintah Republik Rakyat Demokratik Lao (Lao PDR) melakukan pembatasan kegiatan masyarakat lokal. Pasalnya, tiga hari sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-10 ASEAN itu, sebuah bom meledak di wilayah Perfektorat Vientiane.

Kehidupan Malam
Jadi jangankan malam, pagi hingga sore hari saja, Vientiane sudah sunyi sepi. Tapi tanpa jam malam pun, sebenarnya penduduk Vientiane memang terbiasa berkegiatan dari pukul delapan pagi ke pukul delapan malam. Tak heran kalau menurut Lonely Planet, pukul sembilan malam sebagian besar dari mereka telah berangkat tidur.
Kendati demikian, tidak berarti Vientiane tidak mengenal kehidupan malam. Meski ada pembatasan, sebetulnya nightclub berselubung bola gelinding (bowling) di kota (downtown) tetap buka.
Demikian pula restoran-restoran masakan mancanegara di Jalan Fa Ngoum seberang Sungai Mekong terlihat ramai. Restoran yang menyajikan masakan Prancis, India, dan Cina itu tampaknya menjadi sasaran peserta KTT yang masih memicingkan mata.
Itu belum terhitung karaoke dan pub di hotel-hotel berbintang. Namun malam di Vientiane di tengah berlangsungnya KTT nyaris tanpa ingar-bingar layaknya sebuah kota internasional.

Ketatnya Penjagaan
Maklum sejak hari Minggu itu, nyaris tiap 100 meter berdiri polisi di tepi jalan, termasuk di pinggir-pinggir Sungai Mekong. Postur polisi dengan seragam hijau muda terlihat kecil kalau tidak boleh dibilang kerempeng. Tapi jangan salah, di balik tubuh langsing itu tersandang senapan serbu jenis AK buatan Rusia.
Yang lebih antik lagi polisi voorijder yang mengawal rangkaian mobil pimpinan negara. Motor putih 200-an cc yang paling depan ditumpangi dua orang polisi, jadi berboncengan! Untungnya motor tepat di sisi kiri kanan mobil pimpinan negara cuma ditunggangi satu polisi.
Tidak seperti di Indonesia, rangkaian mobil pimpinan negara melesat cepat. Di Vientiane, walau jalan lengang dan semua kendaraan lain dihentikan, rangkaian mobil VVIP ini jalan nyantai paling 50-60 km/jam.
Jalan-jalan protokol dari bandara ke Istana Kepresidenen ke tengah kota dan ke lokasi KTT di Lao International Trade Exhibition and Convention Centre (Lao-ITECC) tertutup bagi kendaraan umum, selain mobil KTT. Taksi dari bandara pun diadang polisi hampir di sepanjang jalan dan harus menunjukkan kartu identitas peserta KTT.

Ternoda
Di atas segala ketatnya penjagaan dan suasana tintrim tadi, seperti halnya masyarakat Indochina, penduduk Lao terkenal santun dan bertutur kata halus. Dengan tangan terkatup di depan dada, mereka mengucapkan salam Sabbai Dee. Hal sama mereka lakukan ketika menerima tips.
Yang paling menarik ketika pagi merekah, kita bisa menyaksikan beberapa biksu berjalan beriringan dengan jubah jingga yang melambai-lambai tertiup angin sepoi-sepoi. Di beberapa bagian trotoar, ada ibu-ibu yang menanti mereka untuk memberikan bekal makanan. Dengan takzim satu telapak tangan memegang dada, ibu itu akan menunduk dalam-dalam ketika makanannya diterima para biksu.
”Walaupun rejim memiliki kedekatan politik dengan Vietnam, Laos mempertahankan identitasnya sendiri. Buddhisme mendarah daging dalam struktur sosial budaya masyarakat dan rejim menjelaskan bahwa Buddhisme dan Komunisme tidak bertentangan,” tulis Lonely Planet.
Tapi slogan itu langsung runtuh ketika kami menyaksikan sebuah motor nyelonong di suatu perempatan ketika kendaraan kami melintas. Sebenarnya lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau dari arah datangnya motor tadi, tapi kendaraan KTT selalu mendapat prioritas untuk lewat.
Tak ayal pengendara itu langsung dipukul polisi hingga terjatuh dari motornya. Tertindih motor, badan lelaki muda itu diseret polisi, kendati ia telah meringkuk dengan tangan terkatup ke atas seakan meminta ampun.
Pemandangan seperti ini mengingatkan beberapa tahun silam ketika Indonesia masih di bawah rejim Orde Baru, ketika aparat bertindak otoriter dan memonopoli kebenaran. Ah, moga-moga kita mampu menjaga agar Indonesia tidak kembali kepada otoritarian seperti ini. Semoga!

Sinar Harapan edisi Selasa, 07 Desember 2004

No comments: