Ketika sengatan panasnya mentari mulai surut dan ufuk barat memerah, Dong'anmen Avenue makin menggeliat. Jalan Pintu Kedamaian Timur itu letaknya persis di sebelah timur komplek Kekaisaran Tiongkok yang dikenal sebagai Kota Terlarang (Forbidden City).
Dengan posisi strategis tak jauh dari jantung Central Beijing, jalan besar ini memang hidup nyaris 24 jam. Maklum di daerah kawasan elit para bangsawan (Wangfujing) ini berderet pertokoan, rumah makan, dan hotel-hotel yang menjadi sasaran para wisatawan, terutama turis asing.
Ketika senja turun, sisi utara trotoar jalan besar itu terlihat sibuk. Sederet rombong kosong yang berbaris rapat pararel mulai dijajar menghadap badan jalan. Peti-peti pendingin (cooler) dan pelbagai peralatan makan diturunkan dari mobil-mobil box.
Sebelum hari gelap, Dong'anmen Night Market telah bersiap menyambut wisatawan, baik dalam maupun dari luar negeri Tiongkok. Jajaran rombong di bawah lampu pijar yang terang telah memajang aneka panganan segar yang terlihat begitu menggiurkan.
Bermacam-macam mie yang menjadi makanan umum penduduk Beijing juga ada di sini. Tidak ketinggalan bangsa mie atau bihun ayam seperti di Jakarta, tapi dengan kuah ala Sichuan asam pedas yang menari di lidah. Tentu makannya dengan sumpit (chopstick) dan kuahnya langsung di-seruput dari mangkok styrofoam.
Ada pula makanan sejenis kebab dan lumpia lengkap dengan isi sayuran dan dagingnya. Tapi bisa juga pesan ala vegetarian, isi sayuran saja.
Tak ketinggalan berjenis-jenis minuman, baik botolan sampai model es campur yang kita kenal. Bahkan kelapa bulat pun ada di sini, cuma yang diminum airnya dengan sedotan.
Yang menarik ada tusukan dengan bermacam-macam 'isi'. Dari daging-dagingan dan organ dalamnya (jeroan) sampai makanan laut (seafood), yang siap digoreng atau dibakar seperti sate.
Hidangan laut seperti udang dan cumi-cumi yang memang kita kenal, meski cumi-cuminya lengkap dengan kaki-kaki mirip Octopusy di film. Tapi ada juga Bintang Laut yang sebesar jari-jari tangan orang dewasa dengan warna jingga yang menantang.
Itu belum apa-apa. Ada anak Kuda Laut kecil-kecil yang dibikin tusukan sate berbaris rapi dalam beberapa nampan. Bayangkan bekas lambang Pertamina itu ternyata bisa dijadikan sate. Masih ada lagi. Anak Penyu (tukek) atau sejenis anak kura-kura, juga dijadikan tusukan sate. Rasanya tidak tega untuk menyantap bintang kecil yang tak berdaya itu. Entah rasanya seperti apa?
Seperti di Bangkok dan beberapa daerah di Thailand, di sini pun ada sate berbagai jenis serangga. Sate kalajengking, ya lambang Scorpion itu di tusukan lengkap dengan ekor dan capit penyengatnya yang berbahaya. Juga kepompong ulat (sutra) dirangkai jadi sate. Malah ada sejenis serangga yang mirip dengan kecoak pun disate berjajar dalam nampan, siap digoreng. Tak ketinggalan belalang yang terkenal sebagai makanan di beberapa wilayah Afrika. Kata orang, rasanya renyah dan gurih.
Tentu ini bukan acara Fear Factor atau uji nyali. Ini betulan tempat panganan yang bertajuk Dong'anmen Night Market yang cukup eksotik untuk sajikan, tapi rasanya tak cukup eksotik untuk konservasi fauna.
Sebagai daerah yang beriklim gurun, Beijing terkenal juga dengan daging kambing (Yang'ruk). Daging merah yang 'panas' ini konon merupakan makanan aprodisiak. Tak heran salah seorang teman menyebutnya sebagai sate sekak (sate horny).
Seperti di Indonesia, di sini pun kambing dimanfaatkan maksimal sampai organ dalamnya (jeroan) juga dibikin sate. Bahkan sate terpedo (sate alat vital kambing) pun ada.
Tapi tidak seperti di Indonesia, di sini potongan dagingnya yang lumayan besar, bisa seibu jari orang dewasa. Bumbunya pun hot & spicy yang bakal bikin lidah 'kebakaran' buat yang tidak terbiasa. Dan jangan mengharap ada bumbu kacang lengkap dengan kecap manis yang legit seperti di Jawa.
Di Dong'anmen Night Market ini penjual sate dan makanan bernuansa daging kambing umumnya berasal dari Provinsi Xinjiang Uygur Autonomous Region. Provinsi di barat daya Tiongkok ini berbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgystan dan Pakistan serta penduduknya sebagian besar beragama Islam. Tak heran kalau di tengah-tengah kota Beijing ini mereka mencantumkan huruf Arab dan tulisan halal di rombong makanan mereka.
Konon ada sekitar 10 persen etnis minoritas Uygur (Uyguren) yang menjadi penduduk Beijing. Jadi di luar Dong'anmen Night Market ini pun tak terlalu sulit mendapatkan makanan halal di Megapolitan Beijing.
Di sini pun orang tak perlu takut kelaparan, karena kemeriahan malam di Dong'anmen Night Market baru akan mereda menjelang tengah malam. Maklum toko-toko di Beijing (dan sebagian besar kota-kota di Tiongkok) tidak sedikit yang buka sampai pukul 24.00.
Namun sebagai daerah turis lengkap dengan nuansa pariwisatanya, sate-satean di sini tergolong mahal. Anda harus merogoh kocek rata-rata 5 RMB (Renminbi, mata uang Tiongkok, sekitar Rp 7.500) untuk satu tusuk sate.
Padahal kalau Anda mau jalan sedikit di sebelah barat Jalan Dong'anmen, seperti Donghuamen Avenue ada penjual beragam daging sate dengan harga cuma 1 RMB (sekitar seribu lima ratus perak)! Itupun rasanya tidak terlalu hot & spicy serta dagingnya lebih empuk.
Peking Roast Duck
Ke Beijing terasa belum lengkap kalau Anda belum mencoba Bebek Panggang Peking (Peking Roast Duck). Kendati nama resmi ibukota Tiongkok berubah menjadi Beijing, sebutan bebek panggang ini tetap menggunakan nama Peking. Nuansa old style layaknya rasa renyah kulit bebek yang terkenal sedari dulu.
Di seantero Beijing, hampir setiap restoran, rumah makan, bahkan warung pun ada yang menyediakan Bebek Panggang Peking ini. Tapi yang paling tersohor adalah Quanjude Roast Duck di Qianmen Avenue, di selatan Tiananmen. Konon bebek ini dipanggang dengan oven khusus lalu digantung semalaman untuk meniriskan lemaknya. Bebek itu kembali dipanggang, sehingga renyah sampai kriuk ketika disajikan.
Khas di Quanjude ini, bebek panggang itu dibawa dengan kereta dorong yang menebarkan bau harum panggangannya. Seorang pelayan akan mengiris bebek panggang itu tipis-tipis di hadapan Anda. Maka jadilah sepiring irisan tipis daging bebek dengan kulit panggangan kecoklatan berkilat sungguh aduhai dan menggugah selera.
Irisan Bebek Panggang Peking disajikan dengan sepiring kecil kulit seperti kulit lumpia, sepiring kecil irisan daun bawang dan sepiring kecil saus kecoklatan, untuk setiap orang. Dengan sebuah piring pipih persis di hadapan Anda, mulailah dengan mengambil selembar kulit yang berbentuk bundar kecil. Lalu ambil saos dan ratanya di permukaan kulit yang sudah di hadapan Anda. Sekarang ambil irisan daun bawang melintang pas di tengah sesuai dengan selera. Kini giliran beberapa irisan bebek panggang di atasnya. Kemudian lipat dan gulung seperti lumpia. Wow, bebek panggang ala Peking ini siap disantap dengan lahap.
Tapi bukan orang Indonesia kalau melupakan sambal. Jangan khawatir, Beijing terkenal dengan sambal kering kecoklatan yang telah digoreng dengan minyak ala Sichuan. Memang Provinsi Sichuan bersuhu rendah sangat cocok dengan masakan khas-nya yang hot & spicy.
Seimbang dengan kualitasnya, harga bebek panggang ini pun terbilang tidak murah. Dibanding bebek panggang gaya-gayaan Beijing, harga bebek di Quanjude bisa 2-3 kali lipatnya. Padahal di luaran saja harga satu paket Bebek Panggang Peking itu antara 50-100 RMB (Rp 75-150 ribu). Tapi mungkin juga tergantung tempat makannya, kalau di lorong atau gang (hutong) biasanya bisa lebih murah. Bahkan ada juga yang sudah dibungkus dengan kemasan plastik yang bisa Anda tenteng untuk dibawa pulang sebelum tanggal kadaluwarsa-nya.
Sayangnya, kayak di Indonesia juga, tempat makan di Tiongkok jarang yang mencantumkan harga di depan sehingga bisa diteliti dulu harganya. Harga biasanya tercantum di menu bisa kita ketahui setelah masuk.
Itupun kalau kita bisa baca! Maklum kendati kota internasional, tidak banyak tempat makan yang mencantumkan aksara latin pada menu makanannya, restoran di Beijing sekalipun.
Memang untuk amannya makan di restoran siap saji (fastfood restaurant) yang rata-rata menyediakan foto makanan dan kadang huruf latin yang bisa kita baca. Atau hotel internasional dengan pramusaji pintar berbahasa Inggris, tapi ya pasti mahal lah.
La Mian
Biasanya orang Indonesia dan kebanyakan orang Asia merasa kurang mantap kalau belum makan nasi. Kata orang Jakarta, tidak nendang!
Meskipun ada, tapi di Beijing, penduduknya jarang makan nasi. Kebiasaan etnis-etnis di bagian utara Tiongkok, seperti di Beijing ini adalah makan mie atau semacam bakpao. Bahkan ada suatu provinsi yang makanan pokoknya mantau (semacam bakpao yang bentuknya oval), bahkan ubi. Etnis-etnis di selatan Sungai Panjang (Yangtze) yang biasanya makan nasi, seperti etnis Fujian yang banyak merantau ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Tak heran kalau hampir di setiap jalanan di Beijing selalu ada kedai mie. La mian (mie tarik yang dikerjakan secara tradisional dengan tangan) yang biasanya dimasak kuah, relatif murah dan bukan makanan fancy seperti di mal-mal Jakarta.
Restoran cepat saji Ma Lan juga tersebar di berbagai belahan Megapolitan Beijing. Seperti di restoran cepat saji biasa, Anda bisa langsung datang ke counter untuk memesan La mian sesuai selera Anda, membayar lalu menunggu sejenak.
Tapi jangan kaget kalau pesanan Anda keluar. Pasalnya mangkok yang buat menyajikan relatif besar, seperti mangkok sayur di meja makan rumah kita. Mangkok mie ayam di Indonesia jadi terasa mini dibanding mangkok jumbo La mian.
Membawanya di atas nampan musti hati-hati karena berat dan panas, walau kepulan asap kuahnya menggugah selera. Kalau baru pertama kali, kayaknya mending Anda memilih tempat duduk yang dekat-dekat counter saja.
Di masing-masing meja sudah tersedia botol kecap asin dan sambal Sichuan yang tersohor pedasnya. Kalau Anda suka legit, silakan bawa kecap manis dari Indonesia. Sejauh penglihatan saya benar, saya belum menemui kecap kental manis di Tiongkok! Sampai-sampai ada mahasiswa Beijing yang titip minta dibawakan kecap manis dari Indonesia.
Yang unik, dari counter Anda cuma mendapat sepasang sumpit bambu yang sekali pakai. Dengan mangkok nyaris separoh kuah, Anda tidak akan mendapat sendok kalau tidak meminta. Jikalau meminta pun, pandangan petugas counter akan terlihat aneh. Ternyata, orang setempat makan mie dengan lahap sambil menyeruput kuah langsung dari mangkok jumbo itu!
Tapi di tempat makan seperti ini, untuk mie kuah polos, Anda hanya merogoh recehan di bawah 5 RMB (kurang dari Rp 7.500). Tapi kalau Anda memilih La mian dengan toping daging, harganya pun masih kurang dari 10 RMB. Murah meriah!
Makanan siap saji yang lain? Apalagi kalau bukan produk-produk multinational corporation (MNC) yang sudah mengglobal seperti Mc.Donald, Kentucky Fried Chicken, Burger King, Pizza Hut dan lain-lain. Dengan era keterbukaan sejak dua dasawarsa lalu, Tiongkok, apalagi Beijing sudah layaknya kota modern yang lain lengkap dengan MNC dari berbagai negara. Tapi apa asyiknya jauh-jauh ke Beijing makan funkfood seperti itu?
Kerang Raksasa
Masih banyak makanan eksotik lain dari seantero daratan Tiongkok yang sedemikian luas. Seperti makanan dari Fujian. Provinsi di tenggara Tiongkok ini kaya dengan makanan laut yang menarik.
Ada sejenis kerang yang kulit cangkang-nya mirip sekali dengan bambu komplit dengan garis ruas-ruasnya. Bentuknya memanjang persis bambu hijau, tapi daging di dalamnya berwarna putih, menyerupai siput dengan dua antena di atas kepalanya.
Ada juga kerang raksasa dengan cangkang sebesar piring. Kerang mirip jenis kerang mutiara ini bisa dimasak dengan beragam rasa, salah satunya asam manis ditambah paprika, bawang dan sayuran. Setelah matang, masakan ini disajikan di atas cangkang kerang yang sudah terbuka. Cukup eksotik jadinya.
Selain itu ada siput raksasa yang jauh lebih besar dari escargot-nya Perancis. Dagingnya putih, dipotong-potong sebelum dimasak dengan bumbu khas oriental. Seperti cumi-cumi, daging siput ini cukup liat dan kenyal.
Masih dari pantai timur Tiongkok yang menyajikan eksotisme berlebih dengan menu sup kura-kura. Binatang malang itu dilepaskan dari cangkang-nya yang keras lalu dagingnya direbus dengan rempah-rempah. Semangkok sup yang disajikan panas-panas itu bisa menguras isi kantong Anda, karena harganya hampir 500 RMB (sekitar Rp 750 ribu).
Tampaknya setimpal dengan kelangkaan bintang yang dipercaya agar berumur panjang itu. Makanan-makanan dengan kepercayaan kuno yang membuat berdiri bulu roma masih banyak beredar di Tiongkok. Misalnya tangkur harimau untuk keperkasaan, otak kera, dan lain-lain.
Sebuah eksotisme berlebih yang justru mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup bumi kita. Dengan dunia yang semakin mengglobal, sumber daya hayati Tiongkok jelas bukan lagi milik negara yang berpenduduk 1,3 miliar itu semata. Jelas kita menginginkan anak cucu kita masih sempat melihat panda, harimau, kura-kura, kerang bambu dan fauna yang lain hidup-hidup, bukan sekedar cerita. Semoga.
Published in B&B Magazine End of 2004
Thanks to Mc who accompanied in China
No comments:
Post a Comment