Friday, May 18, 2007

Tak Hanya Aceh di Nanggroe

JAKARTA – Ada berapa suku di Provinsi Aceh Nanggroe Darussalam? Jangan dikira cuma ama Suku Aceh. Ternyata, menurut ahli Antropologi, ada delapan suku di provinsi ujung barat Indonesia itu.
Suku Aceh memang yang mayoritas. Selain itu di antaranya ada Suku Gayo di Aceh Tengah dan Aceh Timur, Suku Alas di Aceh Tenggara, Suku Simeulue di Pulau Simeulue, dan Suku Singkil di Aceh Singkil.
Suku Gayo pun memiliki beberapa sub dan dialek berbeda seperti Gayo Lut yang tinggal di sekitar Danau Lut Tawar yang indah bukan kepalang dan Gayo Luwes dengan ibukota Belangkejeren. Lalu ada Gayo Linge, Gayo Seberjadi yang mendiami Lokop sampai Aceh Timur dan Gayo Johar di Sumatera Timur.
Menurut sejarawan Dada Meuraxa, Marco Polo singgah di Perlak tahun 1292 sekembali dari perjalanan panjangnya ke Tiongkok. Ia menemukan penduduk Perlak telah memeluk Islam.
Menurut Marco Polo, yang tidak bersedia diislamkan menyingkir ke pedalaman. Mereka yang tersingkir ini mendapati adanya kerajaan kecil dan laut kecil di pedalaman itu.

Budaya Batak

Sedang para ahli antropologi memasukkan Suku Gayo dan Alas ke dalam kelompok suku budaya Batak. Pasalnya, ketiga suku ini berada dalam satu daerah kebudayaan yang sama karena persamaan unsur-unsur kebudayaan.
Memang pada kenyataannya bahasa dan adat istiadat Gayo dan Alas berbeda dengan Suku Aceh yang mayoritas. Lihat saja kesenian Didong dengan bahasa Gayo dalam film Puisi Tak Terkuburkan yang jelas nampak berbeda.
Tak pelak Suku Gayo dan Alas tidak termasuk dalam daerah kebudayaan Aceh. Kendati demikian secara geografis kedua suku ini mendiami Aceh Tengah, Aceh Timur hingga Aceh Tenggara yang sebenarnya berada di bagian tengah Provinsi NAD. Dataran tinggi Gayo merupakan rangkaian Pegunungan Bukit Barisan yang kaya flora fauna.
Gunung Leuser dengan ketinggian 3.000 meter bak pengawal di antara kedua kabupaten tadi. Pantas saja kalau kemudian ide pemekaran provinsi NAD mengambil nama Provinsi Leuser Antara.

Sentimen Antar Etnik

Perbedaan-perbedaan etnis tak jarang mencuat ke permukaan. Tapi apakah perbedaan kesukuan menjadi alasan yang sah untuk membagi provinsi menjadi provinsi tersendiri?
“Gagasan pembagian itu sudah lama, bahkan tiga provinsi. Yang paling santer memang Leuser Antara. Ini akan mempertajam sentimen antar etnis,” kata sosiolog Otto Syamsuddin Ishak dalam percakapan dengan SH.
Mantan dosen Universitas Syah Kuala, Banda Aceh ini menilai ide pemekaran provinsi itu justru mengabaikan aspek budaya. Ia juga menyebutkan aspek historis.
“Ini dapat menghilangkan realitas Aceh secara sejarah maupun budaya. Salah satu faktor yang mereka tidak pikirkan. Siapa nanti yang menamakan diri Serambi Mekkah, siapa yang memberi kontribusi paling banyak,” ujar Otto memberi gambaran.
Menilik hal itu, bukan tidak mungkin ide pemekaran bak politik devide et impera. Mengingatkan pada politik penjajah yang bakal memecah belah antar suku-suku di Aceh.
Tapi Otto segera mengingatkan, “Aceh bukan masalah suku, tapi nasion.”

Sinar Harapan edisi Senin, 21 Juni 2004

No comments: