Saturday, May 12, 2007

Nasib WNI di AS

Terkena Getah Pasca–Bom Bali

JAKARTA – Ibarat tidak makan nangka, tapi ikut kena
getahnya, itulah nasib puluhan Warga Negara Indonesia
(WNI) di Amerika Serikat (AS) sekarang ini. Peristiwa bom
Bali tahun lalu, Indonesia masuk daftar 25 negara yang
dicurigai sebagai ”sarang” teroris. Bahkan di AS,
Indonesia disebut-sebut sebagai negara nomor lima yang
berbahaya dalam terorisme. Alhasil, WNI di AS mendapat
panggilan khusus untuk mendaftarkan diri. Di sinilah
para WNI yang tinggal melebihi batas waktu (overstayed)
tersandung masalah.
”Kalau mereka overstayed, maka mereka ditangkap Bureau
Investigation dan dilepaskan lagi tanpa jaminan. Tapi
mereka harus menghadap ke pengadilan keimigrasian. Untuk
maju ke pengadilan, orang-orang Indonesia harus menyewa
lawyer yang akan menemani mereka menghadap hakim untuk
master hearing dan sekaligus mempersiapkan diri untuk hadir
di pengadilan atau individual hearing,” jelas seorang
sumber SH di Philadelpia, AS melalui surat elektronik.
Dalam rangka mempersiapkan pengadilan inilah, lanjutnya,
orang-orang mengajukan suaka politik (asylum). Menurutnya
ini dipakai untuk memperpanjang tinggal di AS secara legal.
”Suaka politik adalah salah satu senjata orang Indonesia
untuk menghadapi NTA (Notice to Appear before Immigration
Court) sebagai konsekuensi dari Panggilan Khusus untuk
mendaftar tempo hari. Malangnya sekarang mereka tidak
memperoleh apa-apa sampai permintaan suakanya dikabulkan.
Kalau dikabulkan maka I-94 (izin tinggal) lama ditarik,
dan orang diberi yang baru dengan status granted asylum,”
terang sumber SH itu lagi.
Padahal dulu, tambahnya, 180 hari setelah berkas diterima
mereka mendapatkan social security number (nomer layanan
sosial yang dimiliki oleh setiap penduduk). Ini yang
menjadi pondasi untuk working authorization dan kartu
penduduk ataupun SIM.

Mendekam di Penjara
Gara-gara kebijakan imigrasi barulah inilah, beberapa WNI
sempat mendekam di penjara. Pasalnya permohonan suaka tidak
serta-merta diberikan dengan mudah.
”Ketika orang mengajukan permohonan asylum, ia akan
di-interview. Kalau alasannya begitu kuat, maka keputusan
bisa langsung dibuat. Kalau ditolak, maka pemohon harus
maju ke pengadilan imigrasi, ia harus diwakili lawyer lalu
dibuatlah master hearing. Ini adalah sirkuit pertama. Kalau
hakim menyatakan pemohon kalah, pemohon diberi kesempatan
naik banding ke pengadilan lebih tinggi, Bureau of Imigration
Administration (BIA),” tutur sumber SH itu.
Selanjutnya, kalau BIA menolak permohonan, maka pemohon
dapat naik banding sekali lagi ke Federal Court (Pengadilan
Federal). Inilah yang disebut sirkuit ketiga. Dalam proses
naik banding itulah, beberapa orang Indonesia sempat menginap
di hotel prodeo AS sebelum dipulangkan ke Indonesia. Ada
yang ditangkap pagi-pagi buta saat masih terlelap dan itupun
tak diperkenankan menukar pakaian.
Bahkan menurut sumber SH itu, mereka tidak diperbolehkan
membawa tas bepergian. Barang-barang hanya boleh
ditempatkan dalam tas kecil yang telah ditentukan aparat
imigrasi setempat.
Sedihnya ketika ini terjadi, Kedutaan Besar Republik Indonesia
(KBRI) seolah tak tahu menahu yang menimpa warga negaranya.
Seakan hanya masalah administratif saja kerjanya, kalau orang
Indonesia melaporkan diri atau memperpanjang paspor.

Penghasil Devisa
Izin kerja (working permit) yang menjadi incaran WNI
sebagaimana imigran lainnya. Seperti cerita seorang ibu yang
pernah mengajukan permohonan suaka politik di Negeri Paman
Sam itu.
"Working permit itu, tidak penting yang lain-lainnya. Sebab
buat orang seperti saya, tidak gampang untuk dapat green card
(izin tinggal tetap di AS). Tapi saya tetap maunya nanti
pulang ke Indonesia,” ujar ibu yang demi studi anaknya
berangkat ke AS ketika SH menghubunginya belum lama ini.
Ibu ini berangkat di kala krisis menerpa Indonesia tahun 1997,
ia tidak merasa menjelekkan Indonesia dengan mengajukan suaka.
Sebab baginya itu adalah keharusan di tengah keterjepitan.
”Maka jauhkanlah sinisme terhadap mereka, karena mereka
justru memberi kontribusi banyak kepada keluarga di Indonesia.
Ada yang per dua bulan mengirim US$ 2.500. Mereka harus
bekerja keras untuk itu. Ini kan devisa untuk pemerintah
Indonesia,” tandas sumber SH tadi.
Seperti ibu yang kini kembali ke Jawa Tengah itu, ketika di AS
ia mampu menyisihkan tidak kurang dari US$1.000-1.500 rata-rata
per dua bulan bagi keluarganya di Indonesia. Bahkan menurutnya
yang bekerja secara mapan bisa menyisihkan sampai US$2.000-2.500
(sekitar Rp 20 juta) per bulannya.
Ibu ini tidak mengingkari di samping motivasi ekonomi, adalah
rasa aman dan penghargaan yang ia cari nun jauh di negeri orang.
Maklum sebelum ia berangkat, bumi pertiwi tengah gonjang-ganjing
terlanda krisis, setelah sebelumnya pembakaran gereja dan
diskriminasi yang ia rasakan berkepanjangan sebagai etnis
minoritas.
Duh, kapan negeri ini memberi ketentraman kepada anak-anak
bangsanya sendiri? Sehingga tak perlu mencari di negeri orang.

Sinar Harapan edisi Sabtu, 27 September 2003

No comments: