Saturday, May 12, 2007

Kisah Iwan Firman

Jadi Korban karena Keturunan Tionghoa

JAKARTA – Perjuangan manusia adalah melawan lupa. Kata-kata sederhana Milan Kundera itu menjadi tidak sederhana bagi Iwan Firman.
Justru ia tidak dapat lupa. Peristiwa enam tahun lalu kuat terpatri dalam ingatannya. Kendati telah enam tahun, seperti di luar kepala, ayah dua anak ini menceritakan kronologi kemalangan yang menimpa dirinya.
Laki-laki mendekati paruh baya ini ingat benar segala detail kejadiannya. Diawali sebagai bawahan yang menjalankan permintaan bosnya untuk menagih, berangkatlah ia dari rumah bos menuju Bekasi.
Seperti biasa pekerjaan menagih ia jalankan nyaris tanpa hambatan. Dengan uang di tangan, Iwan Firman melakukan perjalanan dengan motor kembali ke Jakarta.
Hari-hari digumuli dengan kesibukan pekerjaan, tidak menjadikannya awas terhadap ekskalasi politik yang saat itu meningkat. Ia tidak menyadari tanggal 14 Mei 1998 itu Jakarta telah menjadi tak terkendali.
Mata hatinya membisikkan untuk melihat lebih jeli keadaan yang mulai mengancam jiwanya ketika massa mengadangnya di Jalan Raya Kranji Bekasi. Beruntung ia lolos hingga dapat menyerahkan uang tagihan kepada bosnya dengan selamat.
Dalam perjalanan pulang, di kawasan Poncol, Jakarta Pusat, massa kembali mengadangnya. Justru ketika sudah hampir dekat tempat tinggalnya di Tanah Tinggi, musibah itu terjadi.
Kali ini, massa beringas tak berbelas kasihan beramai-ramai mendaratkan pukulan yang membuatnya terjatuh dari motor, digebuk, dan diinjak-injak. Darah keluar dari mulut dan hidungnya tidak menyurutkan massa yang meradang.
Motornya dibalikkan. Tubuhnya yang berkulit kuning khas Asia Timur dihujani dengan bensin dan sekonyong-konyong api menjilati badan yang tak berdaya itu. Sebelum tak sadarkan diri, Iwan Firman tahu ia dibakar hidup-hidup.

Ditolong Haji
Saat membuka mata, ia mendapati ruangan yang serba putih. Rumah Sakit Islam Jakarta tempatnya dilarikan untuk menolong nyawanya yang meregang. Yang lebih mengharukan lagi, ternyata seorang haji yang menyelamatkan jiwanya. Haji Harun, demikian ia mengenalnya.
”Setelah diselamatkan ke Rumah Sakit Islam Jakarta, setelah sadar di batin saya ada yang bilang, itu yang menyelamatkan saya. Haji, Haji Harun. Waduh saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih,” ucap Iwan Firman kepada SH, usai bersama Panitia Peringatan Tragedi Mei diterima Presiden Megawati di Istana Negara Jakarta beberapa waktu lalu.
Pada diri Iwan terjadi pertemuan kontradiksi yang kental. Di satu pihak, ia menyadari benar dirinya menjadi sasaran massa karena darah Tionghoa yang mengalir di tubuhnya.
”Saya pikir memang benar saya menjadi korban karena (saya) Tionghoa. Saya akui. Tapi untuk apa kita dendam,” kata Iwan Firman dengan nada lirih.
Namun, massa beringas merampas kebahagiaan hidupnya sebagai manusia pekerja dengan meninggalkan cacat menetap, terutama pada bagian tangannya. Sekarang jari-jari tangannya tak lagi lengkap dan tak berfungsi sempurna.
Tapi di lain pihak, justru seorang haji yang berlainan suku yang menolongnya. Jelas terdapat perbedaan keyakinan pula di antara keduanya.
Justru di kala Jakarta panas meregang, ada kesejukan toleransi yang terpancar nyata. Rasa kemanusiaan yang tak mengenal batas-batas suku, agama, ras dan keyakinan yang menyelamatkan jiwa.
Betapa sebenarnya masyarakat bawah dalam kesehariannya, seperti Haji Harun itu, yang lebih yang digerakkan oleh rasa kemanusiaan. Masyarakat yang secara alami tidak terusik oleh perbedaan-perbedaan suku, ras, maupun agama.
Ada banyak Iwan Firman dan Haji Harun yang lain dalam Tragedi Mei dan tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya di tanah air. Selalu ada kelembutan wajah toleransi dalam kebuasan beringas massa yang digerakkan tangan-tangan tak bertanggung jawab hingga kini.
Semoga kiranya kelembutan wajah toleransi, kelembutan hati, lebih mengatasi motivasi gerakan-gerakan politik bertangan besi. Semoga Tragedi Mei dan tragedi kemanusiaan yang lain tak terulang lagi.

Sinar Harapan edisi Sabtu, 15 Mei 2004

No comments: