Friday, May 11, 2007

Tak Semua Penderitaan Rakyat Masuk Hitungan Penguasa

Lalu kudengar episodemu adik kecil

Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan
pias terpejam kaku

Airmata bercucuran
peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu
akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu
tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti
memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

JAKARTA – Pengalan puisi di atas adalah puisi Abdurahman Faiz yang berjudul ”Kisah dari Negeri Yang Menggigil”. Siswa Sekolah Dasar (SD) itu menulis untuk Khaerunisa, seorang bocah tiga tahun yang meninggal karena muntaber dan sang ayah harus menggendong jenazah anaknya, karena tak mampu menyewa ambulans.
Goresan pena siswa pemenang pertama Lomba Menulis Surat untuk Presiden Tahun 2004 itu sudah seminggu beredar ke berbagai mailing list di dunia maya. Kendati demikian, mungkin puisi Faiz yang menyayat hati ini tidak sampai ke mata telinga sang penguasa. Memang kematian Khaerunisa tidak di depan mata penguasa. Namun tragedi kematian Khaerunisa adalah fakta yang demikian terang benderang menohok mata hati Bangsa
Indonesia.
Khaerunisa sudah terbujur kaku berkalang tanah, sudah kembali ke hadirat-Nya. Tapi ada kemalangan anak bangsa yang di depan mata, toh penguasa juga mengabaikannya. Adalah Victor Djami, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI)
Jakarta. Dia salah satu korban bentrokan antara petugas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) Jakarta Timur dengan pedagang kaki lima yang dibantu mahasiswa UKI di kawasan Cawang.
Akibat pukulan yang bertubu-tubi di kepalanya, Victor mengalami pendarahan otak, kepala bagian depan remuk, dan tulang tengkorak atas harus diangkat. Hingga kini, mahasiswa yatim itu masih koma di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit (ICU RS) UKI sejak 17 Mei lalu.
Jumat (10/6) siang kemarin, hiruk-pikuk kedatangan rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istri ternyata tidak sampai ke ruang ICU RS UKI tempat Victor terbaring. Kendati sudah ada wartawan yang mengusulkan, Presiden Yudhoyono dan rombongan hanya menuju ruang perawatan enam korban bom Pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah.
”Saya sudah melihat enam orang korban Tentena. Kita akan melakukan pengobatan yang terbaik. Saya sudah minta pada pimpinan rumah sakit dan saya juga akan berkontribusi dalam pengobatan dan penyembuhan itu,” ujar Presiden Yudhoyono kepada wartawan sebelum meninggalkan RS UKI siang itu.
Ternyata korban dan kemalangan di mata penguasa berarti berbeda-beda. Tidak semua kemalangan dan penderitaan rakyat masuk dalam perhitungan penguasa. Ah malangnya!

Sinar Harapan Edisi Sabtu, 11 Juni 2005

No comments: