Friday, May 11, 2007

Dipasena 2

Pertarungan Kepentingan di Bumi Dipasena

TULANGBAWANG – Inilah proyek besar Sjamsul Nursalim. Menjadikan Lampung tanah kelahirannya, lokasi pertambakan udang terbesar di dunia. Luas lahan konsesi yang dikuasai dari Lampung Utara (PT Dipasena Citra Darmaja/ DCD) hingga bagian tenggara Sumatera Selatan (PT Wachyuni Mandira/WM) keseluruhan mencapai 186.250 hektare.

Pada masa jayanya di tahun 1996, DCD menyumbang devisa US$ 167 juta dari ekspor udang windu. Bahkan ketika mulai krisis tahun 1997, ekspornya masih menghasilkan US$ 131 juta.
Namun malang tak dapat ditolak, krisis moneter menerjang cita-citanya. Kurs rupiah terpuruk, utang yang dalam dolar pun menumpuk. Tapi apakah adil menyalahkan krisis semata? Mengapa WM yang dikelola manajemen dan dengan cara yang sama bisa tetap jalan, sementara DCD terus bergolak? Apa yang salah?

Lahan kedua perusahaan ini hanya dibelah oleh aliran Sungai Mesuji. Namun secara administratif keduanya terpisahkan oleh provinsi yang berbeda. WM berada di Provinsi Sumatera Selatan, sementara DCD di Provinsi Lampung.

Tahun 1998 WM pun sempat mengalami kerusuhan. Ini diawali sekitar 2.000 petambak plasma menuduh manajemen tidak terbuka dan menuntut berbagai hal. Maklum era reformasi, tuntutan keterbukaan dan transparansi pun sampai ke pertambakan.

Ujung-ujungnya, petambak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini naik darah, mengepung kantor manajemen, menjarah sebelum membakar aset-aset perusahaan. Anehnya, di antara petambak sibuk mencari pimpinan yang acap berdialog dengan mereka di lapangan.
”Ini ada pengaruh orang luar, sebab mereka tidak kenal pimpinannya. Kalau petambak betulan, mereka kenal karena sebelum kejadian rutin ada pertemuan dengan Badan Musyawarah Plasma Sementara (BMPS),” tutur Senior Manager WM, Josef Francisico MB yang sebelumnya menangani DCD juga.

Namun reaksi aparat dan pemerintah daerah Sumatera Selatan cepat. Kurang dari tiga hari pasukan dari Marinir diterjunkan mendukung polisi dan aparat Kodim yang melokalisir lokasi. Hukum ditegakkan, para perusuh ditangkap dan diproses secara hukum sehingga masalahnya segera selesai.

Bahkan sekarang hidup DCD bertahan karena pengolahan udang yang dihasilkan WM yang rata-rata 20 ton per hari dari 7.451 tambak. Lahan yang dicadangkan untuk WM berkembang hingga 170.000 Ha, kini baru 42.000 lahan bersih tambak
”Awal tahun 2002 akan mulai pembangunan cold storage plan III kemudian dermaga ekspor. Sebab kalau dibawa ke DCD kendalanya pengangkutan yang tiga kali biayanya melalui air dan terlebih masalah kualitas,” terang General Manager WM, Anta Winarta ketika SH menemui di kantornya.

Masalah Perut
Di DCD, bara konflik mulai timbul tahun 1996-1997 yang dipicu oleh masalah perut. Meski nyaris semua kebutuhan sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) petambak plasma dipenuhi, tak ayal krisis dirasakan karena mahalnya barang-barang. Ini memicu petambak mempermasalahkan Biaya Hidup Bulanan Petambak (BHBP).

”Dapat BHBP dan sembako, kalau dilihat dari situ, kami cukup sejahtera dibanding orang luar waktu itu. Tapi kehidupan ke depan mau bagaimana? Karena kenyataan lebih dari 10 tahun kami tidak punya apa-apa. Tidak mungkin hanya Rp 150.000 per bulan, sementara biaya hidup terus bertambah. Ini pun tidak pernah berubah sejak tahun 1992,” keluh Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Nafian Faiz.

Sementara manajemen merasa harusnya BHBP itu mencukupi mengingat sembako sudah diberikan, termasuk beras hingga susu. Ikan Nila dari kanal bisa sebagai lauk, lahan di pinggir tambak bisa untuk bercocok tanam.

Sehingga ketika itu konflik diredam dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) pemimpin cikal bakal P3UW, meski BHPB berhasil naik dua kali lipat.
Bagai menyimpan bara dalam sekam, konflik kembali muncul tahun 1998. Kembali perut yang dijadikan alasan hingga disepakati naik dari Rp 300.000 menjadi Rp 500.000 per Kepala Keluarga (KK). Ditambah masalah harga udang yang semula ditetapkan sepihak, kini petambak ikut menetapkan diwakili P3UW yang berdiri resmi 30 September 1998.
Tahun 1999 konflik kian membara dipicu oleh PHK Ketua P3UW, Sari, bersama sekitar 300 pengurus lainnya. Rentetan masalah pun bermunculan, mulai dari masalah kemitraan yang dirasa tidak adil hingga utang petambak.

”Harusnya kemitraan tidak ada PHK. Kewajiban kami seperti buruh, tapi hak-hak seperti mitra. Tapi hak-hak ini pun tidak gratis,” ujar Nafian.
Padahal manajamen mengatakan telah menyediakan segala keperluan dan peralatan hidup petambak dari rumah hingga segala isinya. Ibaratnya cobek pun disediakan. Termasuk pelayanan kesehatan dan pendidikan, kendati itu nantinya diperhitungan ke dalam rekening petambak.
Masalah terus bergulir bagai bola salju yang terus membesarkan kecurigaan kedua belah pihak. Urusan kredit investasi dan kredit modal kerja yang sebagian dolar menggelembung ketika dirupiahkan sangat dipertanyakan.

Lantas pernah diupayakan membentuk Tim Independen yang terdiri dari beberapa akademisi dikoordinir Nanang Trenggono dari Universitas Lampung (Unila). Saat itu sudah berhasil mendudukkan manajemen dengan P3UW bersama penasihat hukum dari LBH Bandar Lampung.
”Ketika ketemu pemda jadi kacau. Sehingga tim menjadi vakum,” ungkap Penasihat Hukum P3UW dari LBH Bandar Lampung, Watoni Noerdin, ketika ditemui dikantornya.

Maka konflik pun memuncak menjadi kerusuhan pada tanggal 1 Maret 2000 ketika Sjamsul Nursalim hendak berdialog dengan para petambak. Kepanikan di tengah massa yang merangsek memicu anggota Brimob mengeluarkan tembakan mengenai seorang petambak. Segera menyulut kemarahan massa yang berakibat dua anggota Brimob tewas disertai kerusuhan mencekam.
”Pasca kejadian ini, LBH mendorong pemda untuk mengutamakan masalah Dipasena karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan sangat berpengaruh terhadap eskalasi stabilitas di Lampung, tapi tidak ada tanggapan,” ujar Watoni Noerdin.

Efek Karambol
Seperti efek karambol, maka perselisihan yang bermula Inti-Plasma berrentet ke mana-mana. Dipicu pendekatan penyelesaian masalah yang berbeda hingga kecurigaan menjadi kolaborator Inti, P3UW berselisih dengan petambak plasma yang lain, seperti Tim Pelaksana Perjuangan Petani Tambak (TP3T), Plasma Peduli dan Serikat Petambak dan Nelayan (SPN).
Hingga puncaknya terjadi pengusiran dan pembakaran rumah sekitar 200 petambak yang bukan anggota P3UW di bulan November 2000. Namun P3UW mengaku bukan mereka yang melakukannya.

”Tidak ada kebijakan organisasi untuk melakukan pengusiran. Prinsip perjuangan kami berbeda dengan mereka, sehingga kami tidak mau melibatkan mereka. P3UW tahan susah dan dalam hal prinsip kami tidak mau kompromi,” jawab Nafian Faiz.

Bukan hanya sesama petambak plasma yang menerbitkan kecurigaan bagi P3UW. Karyawan pun khususnya yang tinggal di areal tambak seperti di Blok IV turut menjadi sasaran pengusiran.
Dengan jumlah massa ribuan, isu yang berbau manajemen dianggap tidak populer di mata anggota. Sehingga tak mudah menyamakan persepsi di antara sekian banyak massa. Hal itu diakui Watoni Noerdin. Katanya, ”Di sana banyak pihak, bisa bias. Di sana variasi manusianya beragam dan mungkin banyak kepentingan yang membuat bias.”

Bom Waktu
Sebagai ajang perebutan politik, DCD merupakan lahan empuk yang memenuhi dua persyaratan. Dari segi ekonomi maupun dari segi massa yang lebih dari 7.000 petambak plasma itu.
Apalagi udang windu jenis black tiger yang dibudidayakan termasuk komoditi ekspor unggulan. Lahan yang dikuasai dengan infrastruktur terpadu mulai dari power plan (sumber daya listrik) 160 Mega Watt, pabrik pakan 15.000 ton, lebih dari 25.600 tambak pembesaran udang, cold storage 2.340 ton sampai pengapalan (Enterpot Produksi untuk tujuan Ekspor). Kurang apalagi?
Tidak heran bila mulai dari Keluarga Cendana sampai kelompok konglomerat saingan Sjamsul Nursalim disebut-sebut berkepentingan merebut lahan itu. Itu pun masih ditambah pihak yang berkepentingan atas nama keamanan untuk melanggengkan ‘periuk nasinya’ di sana.
Sebab kalau masalah Dipasena selesai atau tenang dan damai, tentu keberadaan aparat keamanan tak dibutuhkan lagi. Maka ada yang berkepentingan agar Bumi Dipasena terus bergolak guna mempertahankan keberadaan mereka di sana.

Karenanya Watoni Noerdin mengatakan, ”Kami khawatir, P3UW menjadi komoditas politik. Sebab dari sektor ekonomi pendapatan dari udang, besar. Dari sektor massa pun, besar dengan lebih dari 7.000 anggota.”

Kepada SH, Sekretaris P3UW Nafian Faiz mengaku memang pernah ada ormas dan partai politik tertentu yang menawarkan bantuan. Namun janji bantuan tidak pernah ada yang beres, sehingga P3UW kecewa. ”Kami belum merasakan pihak-pihak itu membantu. Jadi kami tidak mengharapkan orang luar,” tegas Nafian.

Namun dari sini jelas terlihat, Dipasena sasaran empuk. Ini bagai bom waktu yang siap meledak, kalau tidak segera ditangani secara nasional. Waktunya tak lama lagi, sebab 2002 sudah diambang pintu. Lebih-lebih mendekati ajang politik Pemilihan Umum Tahun 2004. Sudah barang tentu, para kontestan bersiap-siap dari sekarang mengincar.

Terlepas dari perselisihan penyerahan aset dari Sjamsul Nursalim kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang jelas ini adalah aset negara yang harus diselamatkan karena puluhan ribu orang bergantung kepadanya. Sebab masalah penyerahan aset, termasuk Grup Dipasena di dalamnya sudah mirip ayam dan telur. Tentu kita tidak bisa terus berputar-putar, bukan saatnya mencari-cari kesalahan lagi. Sebelum lebih hancur, pemerintah, silakan beradu cepat dengan para pembawa kepentingan ini! (bersambung)


Sinar Harapan edisi Selasa, 6 November 2001

No comments: