Pertarungan Kepentingan di Bumi Dipasena TULANGBAWANG – Inilah proyek besar Sjamsul Nursalim. Menjadikan Lampung tanah kelahirannya, lokasi pertambakan udang terbesar di dunia. Luas lahan konsesi yang dikuasai dari Lampung Utara (PT Dipasena Citra Darmaja/ DCD) hingga bagian tenggara Sumatera Selatan (PT Wachyuni Mandira/WM) keseluruhan mencapai 186.250 hektare. Pada masa jayanya di tahun 1996, DCD menyumbang devisa US$ 167 juta dari ekspor udang windu. Bahkan ketika mulai krisis tahun 1997, ekspornya masih menghasilkan US$ 131 juta. Lahan kedua perusahaan ini hanya dibelah oleh aliran Sungai Mesuji. Namun secara administratif keduanya terpisahkan oleh provinsi yang berbeda. WM berada di Provinsi Sumatera Selatan, sementara DCD di Provinsi Lampung. Tahun 1998 WM pun sempat mengalami kerusuhan. Ini diawali sekitar 2.000 petambak plasma menuduh manajemen tidak terbuka dan menuntut berbagai hal. Maklum era reformasi, tuntutan keterbukaan dan transparansi pun sampai ke pertambakan. Ujung-ujungnya, petambak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini naik darah, mengepung kantor manajemen, menjarah sebelum membakar aset-aset perusahaan. Anehnya, di antara petambak sibuk mencari pimpinan yang acap berdialog dengan mereka di lapangan. Namun reaksi aparat dan pemerintah daerah Sumatera Selatan cepat. Kurang dari tiga hari pasukan dari Marinir diterjunkan mendukung polisi dan aparat Kodim yang melokalisir lokasi. Hukum ditegakkan, para perusuh ditangkap dan diproses secara hukum sehingga masalahnya segera selesai. Bahkan sekarang hidup DCD bertahan karena pengolahan udang yang dihasilkan WM yang rata-rata 20 ton per hari dari 7.451 tambak. Lahan yang dicadangkan untuk WM berkembang hingga 170.000 Ha, kini baru 42.000 lahan bersih tambak Masalah Perut ”Dapat BHBP dan sembako, kalau dilihat dari situ, kami cukup sejahtera dibanding orang luar waktu itu. Tapi kehidupan ke depan mau bagaimana? Karena kenyataan lebih dari 10 tahun kami tidak punya apa-apa. Tidak mungkin hanya Rp 150.000 per bulan, sementara biaya hidup terus bertambah. Ini pun tidak pernah berubah sejak tahun 1992,” keluh Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Nafian Faiz. Sementara manajemen merasa harusnya BHBP itu mencukupi mengingat sembako sudah diberikan, termasuk beras hingga susu. Ikan Nila dari kanal bisa sebagai lauk, lahan di pinggir tambak bisa untuk bercocok tanam. Sehingga ketika itu konflik diredam dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) pemimpin cikal bakal P3UW, meski BHPB berhasil naik dua kali lipat. ”Harusnya kemitraan tidak ada PHK. Kewajiban kami seperti buruh, tapi hak-hak seperti mitra. Tapi hak-hak ini pun tidak gratis,” ujar Nafian. Lantas pernah diupayakan membentuk Tim Independen yang terdiri dari beberapa akademisi dikoordinir Nanang Trenggono dari Universitas Lampung (Unila). Saat itu sudah berhasil mendudukkan manajemen dengan P3UW bersama penasihat hukum dari LBH Bandar Lampung. Maka konflik pun memuncak menjadi kerusuhan pada tanggal 1 Maret 2000 ketika Sjamsul Nursalim hendak berdialog dengan para petambak. Kepanikan di tengah massa yang merangsek memicu anggota Brimob mengeluarkan tembakan mengenai seorang petambak. Segera menyulut kemarahan massa yang berakibat dua anggota Brimob tewas disertai kerusuhan mencekam. Efek Karambol ”Tidak ada kebijakan organisasi untuk melakukan pengusiran. Prinsip perjuangan kami berbeda dengan mereka, sehingga kami tidak mau melibatkan mereka. P3UW tahan susah dan dalam hal prinsip kami tidak mau kompromi,” jawab Nafian Faiz. Bukan hanya sesama petambak plasma yang menerbitkan kecurigaan bagi P3UW. Karyawan pun khususnya yang tinggal di areal tambak seperti di Blok IV turut menjadi sasaran pengusiran. Bom Waktu Karenanya Watoni Noerdin mengatakan, ”Kami khawatir, P3UW menjadi komoditas politik. Sebab dari sektor ekonomi pendapatan dari udang, besar. Dari sektor massa pun, besar dengan lebih dari 7.000 anggota.” Kepada SH, Sekretaris P3UW Nafian Faiz mengaku memang pernah ada ormas dan partai politik tertentu yang menawarkan bantuan. Namun janji bantuan tidak pernah ada yang beres, sehingga P3UW kecewa. ”Kami belum merasakan pihak-pihak itu membantu. Jadi kami tidak mengharapkan orang luar,” tegas Nafian. Namun dari sini jelas terlihat, Dipasena sasaran empuk. Ini bagai bom waktu yang siap meledak, kalau tidak segera ditangani secara nasional. Waktunya tak lama lagi, sebab 2002 sudah diambang pintu. Lebih-lebih mendekati ajang politik Pemilihan Umum Tahun 2004. Sudah barang tentu, para kontestan bersiap-siap dari sekarang mengincar. Terlepas dari perselisihan penyerahan aset dari Sjamsul Nursalim kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang jelas ini adalah aset negara yang harus diselamatkan karena puluhan ribu orang bergantung kepadanya. Sebab masalah penyerahan aset, termasuk Grup Dipasena di dalamnya sudah mirip ayam dan telur. Tentu kita tidak bisa terus berputar-putar, bukan saatnya mencari-cari kesalahan lagi. Sebelum lebih hancur, pemerintah, silakan beradu cepat dengan para pembawa kepentingan ini! (bersambung) | |
Sinar Harapan edisi Selasa, 6 November 2001 |
Friday, May 11, 2007
Dipasena 2
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment