Bunyi Mesin Pengeruk Tak Terdengar Laporannya sebanyak tiga tulisan diturunkan mulai Senin (5/11) ini. Red. TULANGBAWANG – Kulkas, televisi, Video Compact Disc (VCD) Player nyaris menjadi pemandangan sehari-hari yang akan diangkut kapal cepat (speed boat) ke pemukiman para petambak Bumi Dipasena. Tentu ini membuat hati bertanya-tanya setelah sepanjang puluhan kilometer perjalanan tergoncang-goncang di jalan penuh lubang dan tak rata. Tanggul Penangkis nama tempat itu. Di sini bersandar beberapa kapal cepat (speed boat) yang menjadi taksi air. Inilah satu-satunya alat angkut ke pemukiman petambak, karena rumah-rumah mereka berada di pinggir tambak dengan jalur-jalur kanal (semacam sungai) buatan. Adalah Kanal Umum di mulut Tanggul Penangkis itu yang menghubungkan aliran Sungai Mesuji di perbatasan Sumatera Selatan dengan Sungai Tulangbawang. Dari Kanal Umum ini terbentang belasan ribu petak-petak tambak pada 16 blok. Setidaknya ada 16 kanal yang memisahkan blok-blok areal tambak itu. Masing-masing blok terkecil (Blok Nol atau Blok Kosong) 194 lot, 400 lot, 500 lot, 600 lot, hingga terbesar 700 lot. Tiap blok masih ada kanal-kanal kecil yang dinamakan jalur yang memisahkan satu jalur tambak dengan jalur lain dalam satu blok. Pada jalur inilah berjajar rumah para petambak. Di salah satu rumah panggung itu diperdengarkan VCD lagu-lagu rohani. ”Ini hasil tebar mandiri,” ujar Tri Winarno salah satu petambak plasma PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) ketika SH memasuki rumah panggungnya. Ia mengaku dari hasil tebar mandiri yang sekarang dilakukan olah para petambak plasma, ia dapat membeli VCD beserta televisi ukuran 24 inci. Belum lagi sepeda motor yang diojekkan, kulkas dan berbagai barang yang tergolong mewah itu. Demikian pula, ketika SH mendatangi kediaman Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) yang baru, Abdul Syukur. Televisi berwarna dan VCD Player seakan menjadi perangkat standar pada rumah-rumah panggung itu. Ini adalah potret sekian petambak yang berhasil membudidayakan udang secara mandiri sesuai dengan keputusan Gubernur Lampung per tanggal 8 November 2000. Di antara mereka ada sekitar 7.000 petambak plasma anggota P3UW, tentu tak semuanya berhasil. Namun paling tidak, ada gambaran umum peningkatan kesejahteraan yang mereka rasakan. ”Tentu mereka bisa membeli barang-barang itu karena mereka tidak lagi membayar cicilan utang dan bunganya,” lontar seorang petambak yang minta identitasnya tidak disebutkan. Lembaga Ekonomi ”Kami merasakan nikmatinya tebar mandiri. Dengan tebar mandiri ini kami mengelola ekonomi kerakyatan. Sekarang bagaimana memanfaatkan suasana seperti ini sebesar-besarnya untuk kepentingan anggota. Maka sebelum ada keputusan, kami akan memanfaatkan tebar mandiri,” ujar Nafian Faiz, yang terpilih kembali menjadi Sekretaris Badan Pengurus Pusat (BPP) P3UW 10 Oktober lalu. Ia menjelaskan, saat ini organisasi yang membawahi 8 infra (setiap dua blok memiliki satu infra yang sekaligus menjadi wilayah administratif desa) ini telah memiliki Lembaga Ekonomi (LE) P3UW. Kantor LE-P3UW yang terletak di Tanggul Penangkis itu kini menjual benur, pakan dan obat-obatan untuk memasok tebar mandiri. ”Lembaga ekonomi ini nantinya merupakan koperasi plasma, sekarang dalam persiapan tahap akhir ke arah sana. Lembaga Ekonomi ini diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian plasma,” tutur Nafian yang ditemui di Sekretariat P3UW di Blok VI Bumi Dipasena itu. Padahal ide kemitraan inti-plasma pun semula diharapkan untuk menumbuhkan perekonomian rakyat ini. Sebab dengan kemitraan, plasma nantinya akan menjadi pemilik tambak yang dikelolanya setelah kredit investasi dan kredit modal kerjanya lunas, bukan orang upahan yang bergantung pada alat produksi sang majikan. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 334 tahun 1986 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 509 tahun 1995. ”Tapi riil di lapangan, yang namanya kemitraan tidak pernah membuat kami sejahtera. Itu yang membuat kawan-kawan berpikir bagaimana caranya untuk meningkatkan derajat hidup. Tapi tidak tertutup kemungkinan kemitraan itu ditata ulang,” tukas Nafian. Terlepas dari niat baik kemitraan itu, yang terang saat ini di lapangan sudah terjadi proses pendidikan kemandirian ekonomi rakyat. Nafian sepakat menjalankan perekonomian inilah yang diutamakan. ”Bisa kita bicarakan. Asal perusahaan jangan bicara soal birokrasi dulu. Tapi apa yang ke depan bisa kita harapkan. Karena ada trauma masa lalu, kami pernah disakiti, di-PHK (pemutusan hubungan kerja) dan sebagainya,” tandas petambak plasma yang terkenal vokal ini. Pihak manajemen pun sepakat dengan menjalankan perekonomian dulu dan menyingkarkan masalah pokoknya dulu. Mereka mengaku tidak hanya setuju dengan tebar mandiri, tapi juga bersedia menyediakan pakan dan benurnya. ”Pakan dan benur kami sediakan secara cash atau kredit lewat koperasi, asal udangnya dijual ke perusahaan. Perusahaan akan membelinya dengan harga pasar. Tapi ini tidak jalan,” jelas Pimpinan Kantor Lokasi CDC, Ferry L. Hollen yang menerima SH di kantor pusat DCD di Jakarta. Menurut penelusuran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, ternyata memang ada pembatasan mutu yang dipersyaratkan manajemen. Ini bisa dimaklumi karena udang black tiger itu merupakan komoditi ekspor yang perlu memenuhi persyaratan ukuran (size) tertentu. ”Pembatasan-pembatasan ini bisa memecah belah P3UW, sehingga tidak diterima. Sehingga penjualan kepada Inti hanya berlangsung sebentar. (Petambak) Plasma langsung menjualnya ke pasar bebas karena dianggap menguntungkan, semua ukuran diterima,” terang Kepala Operasional LBH Bandar Lampung, Watoni Noerdin yang juga menjadi Tim Penasihat Hukum P3UW. Pendangkalan Kalau mau jujur sebenarnya tebar mandiri baru menyelamatkan ‘masalah perut’ sebagian dari petambak plasma, namun tak sepenuhnya menyelesaikan masalah DCD. Tebar mandiri bisa dibilang sekedar menunda masalah. Tebar mandiri baru sekedar memanfaatkan petak-petak tambak, namun tidak menggerakkan roda perusahaan. Sebab dalam struktur DCD ada enam anak perusahaan, yaitu dua pembibitan benur yang dilakukan PT Biru Laut Khatulistiwa dan PT Triwindu Grahamanunggal, dua tambak pembesaran oleh DCD dan PT Wachyuni Mandira, pabrik pakan PT Bestari Indoprima dan pengapalan PT Mesuji Pratama Lines. Kesemuanya menurut Perjanjian Pengembalian dana BLBI dengan jaminan aset (Master of Settlement and Acquisition Agreement/MSAA) ”Biaya operasinya sangat besar. Untuk listrik di jalur (tambak) saja 76 persen. Maka secara cashflow (arus kas) terlalu berat,” kata Ferry lagi. Masalahnya bukan sekedar itu saja, tapi lebih pada efek bergandanya. Setiap satu komponen perusahaan macet, berarti ada sekian ratus bahkan ribu tenaga kerja yang menganggur, tidak ada pendapatan dari perusahaan, tidak ada pajak untuk pemerintah, tidak ada pembelanjaan untuk pasar sekitarnya, dan seterusnya. Ujung-ujungnya merugikan perekonomian secara keseluruhan. Lebih dari itu, macetnya perusahaan ini juga mengakibatkan tidak terawatnya kanal-kanal. Ilalang setinggi manusia, limpahan lumpur muara Sungai Mesuji maupun Sungai Tulang Bawang dan sebagainya. ”Dengan tidak terawatnya saluran pemasukan dan pengeluaran akan sangat mempengaruhi terjadinya pendangkalan dan kami khawatir air yang masuk tidak layak untuk sebuah tambak. Posisinya sekarang, areal tambak ini lebih tinggi dari air laut, sehingga sirkulasi air tidak memadai. Ini akan sangat mempengaruhi kualitas udang yang dihasilkan,” papar Watoni, yang sebagai penasihat hukum turut mengikuti perkembangan kliennya di lapangan. Hal yang senada diutarakan P. Hutagalung, Koordinator Plasma Peduli yang terusir dari Blok VIII karena tidak sealur perjuangan dengan P3UW. Ia berpendapat, pemeliharaan kanal merupakan hal yang tidak bisa ditawar, karena budidaya udang membutuhkan tingkat keasaman (ph balance) tertentu. Ia mengaku tidak lagi melihat mesin pengeruk yang biasa digunakan untuk mengatasi pendangkalan kanal. Ia juga tidak melihat pemeliharaan pemasukan air tawar dari Sungai Mesuji dan keluar-masuk air laut yang dikontrol secara otomatis. Artinya, dengan tebar mandiri baru sebagian petambak plasma yang terselamatkan untuk sementara ini. Masih jauh panggang dari api untuk menyelesaikan masalah Dipasena yang sudah bertumpuk-tumpuk dari tahun 1998 itu. Tebar mandiri belum memberi solusi bagi sekitar 11.000 karyawan, petambak lain yang tidak sealur dengan P3UW, dan bergeraknya roda perusahaan. Terlepas dari perselisihan masalah penyelesaian kewajiban bos kelompok Gajah Tunggal, Syamsul Nursalim, Dipasena secara hukum berada dalam kekuasaan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN). Diharapkan BPPN-lah yang kembali mengurai benang kusut persoalan Dipasena ini. Kepada SH, Ketua BPPN I Putu Gede Ary Suta mengatakan, ”Pemerintah juga tidak ingin proses produksi terhenti. Buat apa kita melihat pabrik gagal produksi semua? Kita harus menghidupkan pabrik-pabrik, karena penggangguran sudah semakin meningkat, recovery rate juga rendah. Apa mau jadi besi tua? Kan tidak.” Maka Putu mengajukan konsep langkah-langkah yang mempercepat restrukturisasi. Karena banyak proyek-proyek di BPPN yang banyak menyerap tenaga kerja, yang investasinya sudah dilakukan, dan hanya tinggal di-restructure sudah bisa berjalan lagi. ”Nah sekarang ini kita harus mengambil langkah-langkah dengan dukungan dari pemerintah dan pimpinan kita untuk kurang lebih memberikan payung dalam pelaksanaannya. Kita membutuhkan suatu payung yang bisa memayungi, melindungi langkah-langkah yang akan diambil. Sehingga hambatan-hambatan atau hal-hal yang memperlambat restrukturisasi bisa diatasi,” tutur Putu. Mudah-mudahan upaya ini bukan sekedar menegakkan benang basah. Semoga! (bersambung)
|
No comments:
Post a Comment