Friday, May 11, 2007

Anggaran Sensitif Gender, Kenapa Tidak?

JAKARTA – Angka harapan hidup bayi yang baru lahir meningkat dari 71,8 menjadi 74 persen. Sementara itu, rata-rata umur perkawinan naik dari 20 menjadi 22 tahun dan angka melek huruf melonjak dari 65,7 persen ke 87,86 persen. Pada saat yang sama, angka kelahiran turun drastis dari 26,4 ke 16 per 1.000 kelahiran, berikut angka kematian bayi langsung merosot dari 41 menjadi 15,3 persen.

Malah di Distrik Kottayam, angka melek huruf perempuannya menduduki peringkat pertama dengan angka 94,45 persen. Di Distrik Pathanamthitta di peringkat kedua, 93,7 persen perempuannya melek huruf.
Angka-angka ini bukan sulapan, bukan keajaiban. Ini adalah sebagian indikasi Pembangunan Gender di Negara Bagian Kerala,
India, dalam kurun waktu tahun 1981 dan 2001 yang dilaporkan dalam Economic Review 2003.
Angka-angka ini akan lebih menakjubkan ketika dibandingnya dengan angka secara nasional di seluruh
India dalam kurun yang sama. Jika di India dari 1981 ke 2001, angka kematian ibu turun dari 468 menjadi 407, di Kerala tahun 2001 angka itu tinggal 140.
Bandingkan juga rata-rata umur perkawinan di
India tahun 2001 meningkat tipis ke 19,5, padahal di Kerala tahun 1981saja, rata-rata umur perkawinan sudah 20 tahun lalu naik menjadi 22 tahun di 2001.
Lihat
pula angka harapan hidup bayi yang baru lahir di Kerala tahun 1981 sudah 71,8 persen, kemudian naik ke 74 persen. Secara nasional di India tahun 2001 angka itu baru mencapai 65,3 persen.
Kalau di seluruh India kematian bayi tahun 2001 masih bertengger di angka 71 persen, di Kerala tahun 1981 saja, angka kematian bayi sudah 41 persen. Lantas angka ini langsung merosot menjadi 15,3 persen di tahun 2001.
Pada tingkat nasional, perempuan buta huruf masih bertengger di angka 45,8 persen alias nyaris separuh penduduk perempuan India. Namun di Kerala, perempuan tidak melek huruf cuma 12,4 persen.
Prestasi Kerala memang luar biasa, tidak hanya untuk ukuran India. Nama Kerala sudah tidak asing lagi, terutama ketika nama Amartya Zen mencuat sebagai pemenang Nobel Ekonomi. Salah satu studi Amartya Zen menunjukkan angka perluasan melek huruf perempuan Kerala jauh lebih pesat dibanding di Republik Rakyat Cina (RRC).
“Ketika angka kesuburan perempuan RRC turun dari 2,08 menjadi 2 persen dalan kurun waktu 1979 dan 1992 (saat kebijakan satu anak diperkenalkan), pada waktu yang sama angka kesuburan merosot dari 3 ke 1,8 persen di Kerala, tanpa paksaan,” kata Amartya Zen sebagaimana dikutip dalam International Journal of Health Services, 2001.

Dampak Angka
Angka-angka itu jelas tidak berdiri sendiri. Meningkatnya angka melek huruf di kalangan perempuan, sekaligus mendudukkan Kerala menjadi negara bagian dengan tingkat peserta didik perempuan tertinggi di India. Lebih dari 49 persen dari total peserta didik itu adalah perempuan.
Kian tinggi jenjang pendidikan dan rendahnya angka putus sekolah, secara tidak langsung ini merupakan penundaan perkawinan secara alami. Tak pelak kalau umur rata-rata perkawinan meningkat pula. Alhasil, angka kesuburan pun turun seiring dengan meningkatnya umur rata-rata perkawinan itu.
Semakin terdidiknya dan makin matangnya usia calon ibu secara otomatis menekan angka kematian ibu dan kematian bayi. Tidak heran, harapan hidup bayi yang lahir pun lebih tinggi.
Makin tinggi jenjang pendidikan, kian mampu
pula perempuan mengambil keputusan dalam rumah tangga maupun publik.

Rahasia di Balik Angka
Apakah gerangan yang membuat Kerala begitu menakjubkan dalam kurun waktu dua dekade terakhir? Kuncinya adalah penetrasi kebijakan yang sensitif dan memberi manfaat langsung terhadap perempuan.
Hal itu berarti bisa dimulai dari prioritas dan perluasan pendidikan bagi perempuan. Lantas meningkat pada pendidikan dan pelatihan pemberdayaan sosial ekonomi perempuan yang terintegrasi.
Contohnya di Kerala pada tahun 2001-2002 terdapat 30 skema proyek yang memberi manfaat langsung pada perempuan. Kerala juga menerapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar 10 persen untuk proyek yang bermanfaat bagi kaum Hawa.
Tidak hanya kebijakan dan anggaran, tapi Kerala juga menyiapkan institusi yang memberi manfaat langsung pada perempuan. Lembaga yang besar misalnya Kerja Sama Pembangunan Perempuan Negara Bagian Kerala (Kerala State Women Development Corporation), Komisi Perempuan Negara Bagian Kerala serta Kudumbasree.

Anggaran Minimum
Dengan lebih dari separuh penduduk adalah perempuan,
Indonesia dapat mengikuti jejak Kerala dengan memilih provinsi pilot project.
Atau dengan otonomi daerah, kabupaten/kota dapat mulai menetapkan anggaran minimum sensitif gender, misalnya 10 persen.
Di samping menyediakan anggaran, Pemerintah Daerah (Pemda) perlu menyiapkan kebijakan yang sensitif gender berikut lembaganya. Bisa juga Pemda bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk
segera mengentaskan perempuan dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan mengentaskan perempuan sebenarnya berarti mengentaskan seluruh keluarga
Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan pula. Pasalnya, ibulah perawat dan pendidik utama anak-anak.
Bukankah
Indonesia masa depan membutuhkan ibu-ibu yang cerdas dan pandai untuk meredam gizi buruk, muntaber dan lain-lain? Pasalnya wabah ini yang sesungguhnya menunjukkan wajah kemiskinan dan keterbelakangan. Kalau tidak mulai menyediakan anggaran sensitif perempuan dari sekarang, kapan lagi?

Sinar Harapan edisi
Senin, 04 Juli 2005

No comments: