Friday, November 12, 2010

Menulis Ulang Guru-guru yang Memberi Inspirasi Hidupku

Surya bersinar

Udara segar

Terima kasih ...


Bu Maria

Sepotong lagu Taman Kanak-kanak (TK) ini mengingatkanku pada sosok perempuan ramping, tinggi semampai dengan kacamata menghiasi wajah cantik yang murah senyum. Suaranya dan nada bicaranya lembut, memberi kesan sabar. Dialah guru pertama dalam hidupku, guru dalam arti sebenarnya di sebuah sekolah formal.

Hanya sepotong nama Bu Maria yang kuingat dengan baik. Namun jauh sebelum hari pertama sekolah dalam sejarah hidupku, nama itu sudah kudengar dari para orangtua murid, paman bibi serta kakakku yang pernah menjadi muridnya. Karenanya, dia menjadi semacam garansi rasa aman pada hari pertamaku sekolah. Ketika hampir seisi kelas anak sebayaku mulai menangis saat pintu kelas dengan tegas ditutup oleh Bu Maria, aku merasa baik-baik saja.

Sejak saat itu hingga 20 tahun sejarah diriku mengenyam pendidikan formal, sekolah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Meski terkenal sulit bangun pagi sejak kecil, namun sekolah tetap bukan sebuah keterpaksaan.

Sekolah merupakan suatu 'dunia' yang menarik bagiku sejak TK, salah satunya karena memiliki guru yang penyabar seperti Bu Maria. Yang masih teringat adalah guru TK saat itu masih harus melakukan potty training (mengajari bocah buang air ke toilet), sikat gigi dengan benar, membagikan ransum kacang hijau dan lain-lain.

Andai semua guru seperti Bu Maria, sekolah akan menjadi tempat yang nyaman.


Bu Budi

Dia adalah guru pertamaku di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Santo Joseph Lumajang, yang memperkenalkan padaku 'keindahan' dunia tulisan dengan mengajari membaca dan menulis. Saat itu ia memulai dengan mengeja “Iin Aan”, memenggal suku kata. Juga “ini Budi, ini ibu Budi” yang menjadi pelajaran membaca pertama saat itu.

Sosok kecil mungil dengan kulit sawo matang ini juga kulupa nama lengkapnya. Namun tak mungkin kulupakan jasanya yang membawaku pada dunia tulis-menulis saat ini.


Pak Saelan

Dia adalah guru dan wali kelasku di kelas V SDK Santo Joseph Lumajang. Ada satu pepatah Jawa darinya yang sampai saat ini melekat dalam benakku: ajur ajer (melebur dan menyatu, terjemahan bebas).

Bapak tiga anak yang mengayuh sepeda ke sekolah ini tidak menyembunyikan kesederhanaan hidup keluarganya dan pemahaman hidup gaya Jawa yang ia lakoni. Ia memperkenalkanku pada dunia filosofi Jawa melalui cerita pewayangan: Ramayana dan Mahabarata yang nantinya membawaku secara dini menyukai filsafat.


Guru Sastra SMA

Satu lagi guru yang memberi inspirasi dalam hidupku, sayang tak kuingat betul namanya. Ia merupakan guru muda yang rasanya hanya beberapa bulan sempat mengajar Sastra Indonesia di SMA Negeri 2 Lumajang. Konon ia merupakan adik penyair dan sastrawan terkenal.

Ia memperkenalkan dunia teater pada kami 'anak kampung' yang saat itu belum pernah menonton teater secara live. Di kelas ia mengajari mengapresiasi Teater Gandrik – yang tampaknya ia pernah bergabung.

Tidak sebagaimana guru yang sekedar mencurahkan ilmu dari buku teks, ia membawa dunia sastra dan teater dengan emosi dan kecintaannya yang membuat kami terpesona pada dunia peran.

Pada intinya guru-guru ini tidak sekedar mengajar dan menularkan ilmu pada anak didiknya. Lebih dari itu guru-guru ini membagikan seni menghadapi 'sekolah kehidupan' yang lebih luas.

Sayang sampai saat ini aku tidak mengetahui nama lengkap dan kabar berita mereka. Semoga dengan tulisan ini, setidaknya aku mengapresiasi yang sudah mereka 'wariskan' (legacy). Besar harapanku, mereka dalam keadaan sehat walafiat dan sejahtera.


Terima kasih seribu

Oh terima kasih seribu

Pada Tuhan Allahku

Oh pada Tuhan Allahku

Aku bahagia karena dicinta

Terima kasih


* Tulisan asli awalnya dimaksudkan untuk diterbitkan menjadi buku oleh sebuah LSM Pendidikan
.

Mobil Elektrik Mulai Ambil Posisi

Dari segi penampilannya, kendaraan ini tidak ada bedanya dengan mobil-mobil lainnya. Jenis sedan ini memiliki kapasitas empat bangku dengan empat pintu samping plus pintu hatchback di bagian belakang.

Sebagaimana layaknya sedan, mobil ini dilengkapi kendali digital, pengatur suhu (air conditioner), kunci terpusat (central lock), jendela otomat (power windows), radio AM/FM dengan MP3 dan CD serta Bluetooth.

Bahkan mobil ini juga mempunyai standar keselamatan khas negara maju berupa airbags ganda di bagian depan, head restraints di bangku depan, sabuk keselamatan (seatbelt pretensioners), empat rem cakram serta sistem rem anti-terkunci dan distribusi kekuatan pengereman secara elektronik(Anti-lock Braking System/ABS & Electronic Brakeforce Distribution/EBD).

Yang membedakan adalah bahan bakarnya. Sedan Electron Mark V ini sepenuhnya (100%) menggunakan listrik, bukan mobil hybrid masih bisa fleksibel dengan bahan bakar minyak (BBM). Jadi bahan bakarnya cukup dicolok ke listrik dengan standar colokan Australia berkaki tiga.

Mobil keluaran Blade Electric Vehicle (BEH) Australia ini memakai baterai non‐combustible Lithium Iron Phosphate (LiFePo4) yang bisa digunakan 8-10 tahun. Waktu pengisian baterai (charge) tergantung pada ampere-nya, pada 10 ampere (standar colokan rumah tangga) bisa sampai 7-8 jam untuk terisi penuh.

“Dengan pengisian baterai cepat (rapid charging) hingga 60% hanya sekitar 20 menit,” kata Doug Falconer dari BEH.

Karenanya ia mengklaim produksinya sebagai kendaraan bebas emisi: zero carbon dioxide, zero carbon monoxide, zero nitrogen oxides, zero hydrogen sulphide, zero hydrocarbons. Pasalnya di Wilayah Ibukota Australia (ACT) listriknya 100% bersumber dari energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu maupun Pembangkit Listrik Tenaga Surya.

EV Festival
Pekan ini, 2-8 Oktober Blade Electron Mark V unjuk gigi dalam acara Green Zone Drive di Melbourne. Bulan lalu, Blade Electron Mark V menjadi salah satu mobil yang ditawarkan dalam Canberra Electric Vehicle Festival yang disponsori Australian Electric Vehicle Association and ACT Electric Vehicle Council.

Dalam ajang itu, BEH bahkan menawarkan 50 pembeli pertama Blade Electron Mark V dengan diskon AU$ 1,500 sehingga harganya AU$ 48.000 (sekitar Rp 400 juta) dengan garansi lima tahun dan jaminan pembelian kembali yang lebih tinggi dalam tiga tahun. BEH juga menawarkan dengan sistem sewa (leasing).

Ajang tadi dilengkapi pula dengan test drive. Dalam test drive yang dilakukan organisasi Clean Driving di Canberra bulan lalu, menempuh jarak 86 kilometer sedan ini melaju dengan kecepatan rata-rata 65,2 kilometer per jam. Kalau mau dimaksimalkan, kecepatan puncaknya dapat mencapai 120 kilometer per jam.

Clean Driving mengklaim Blade Electron Mark V cuma membutuhkan lima sen (dengan standar listrik pembangkit energi terbarukan Australia) per kilometernya.

Kini Blade Electron yang dirintis tahun 2006 di negara bagian Victoria sudah berproduksi sejak 2008 dengan 55 persen kandungan lokal Australia. Blade Electron mulai terlihat di jalanan di berbagai negara bagian Australia, bahkan sudah diekspor ke Selandia Baru.
Pengembangan EV
ACT sudah melakukan pendaftaran pertama mobil elektrik (EV), yakni Blade Electron dan menerima empat iMiEV keluaran Mitsubishi, sebagaimana diberitakan Mingguan CityNews pekan ini. Empat dari 20 iMiEV itu dimaksudkan untuk menguji kesiapan infrastruktur mobil elektrik di Canberra. Tahun 2010 ini, Australia akan menerima 110 iMiEV

Sebelumnya, ACT telah menandatangani nota kesepahaman dengan Produsen mobil Nissan-Renault guna mengembangkan kebijakan untuk memperkenalkan mobil elektrik di ACT.

Canberra bertelad menjadi ibukota EV yang ditandai adanya kontrak ACT dengan Better Place selaku perusahaan penyedia infrastruktur EV dan ActewAGL yang mengoperasikan jaringan listrik. Dengan kontrak itu, Better Place akan menyediakan tempat pengisian baterai cepat dan tempat penukaran baterai (battery-swapping) di Canberra mulai semester kedua tahun 2011.

Dengan demikian, mobil elektrik makin kuat. Tidak saja tersedia secara komersial, tapi juga mendapat dukungan politik untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan pemanasan global.


BOX: Spesifikasi Blade Electron Mark V

Jenis: empat tempat duduk, empat pintu samping dan pintu belakang hatchback
Jenis penggunaan: seputar kota dengan jangkauan 100 kilometer (bervariasi tergantung muatan, gaya menyetir, penggunaan asesoris, dll)
Power maksimum :35 kW @ 3000‐5000 rpm
Torsi maksimum : 90 Nm @ 0‐4000 rpm
Kinerja: 0-60 kilometer per jam dalam tujuh detik.
Kecepatan maksimal : 120 kilometer per jam
Baterai : Non‐combustible Lithium Iron Phosphate (LiFePo4)
Driven Wheels: 2WD
Panjang 3835 mm Wheelbase: 2455 mm
Lebar: 1665 mm
Tinggi: 1500 mm
Berat: 1185kg


* Tulisan ini dimuat di Harian Ekonomi "Bisnis Indonesia" Edisi Minggu, 30 Oktober 2010.

Canberra Bersiap Jadi Ibukota Mobil Elektrik

Canberra bersiap menjadi ibukota mobil elektrik (EV) yang ditandai dengan pendaftaran pertama sebuah EV, yakni Blade Electron buatan Australia dan tibanya iMiEV keluaran Mitsubishi, sebagaimana diberitakan Mingguan CityNews pekan ini.

Empat dari 20 iMiEV itu dimaksudkan untuk menguji kesiapan infrastruktur mobil elektrik di Canberra. Tahun 2010 ini, Australia akan menerima 110 iMiEV yang memakan waktu sekitar tujuh jam untuk terisi penuh baterainya dan dapat menempuh 140-160 kilometer tiap kali pengisian baterai (charge).

Dengan waktu pengisian baterai yang sama, Blade Electron mengklaim hanya membutuhkan AU$ 2 per 100 kilometer. Namun Blade Electron baru akan berproduksi penuh tahun depan, dengan kapasistas sebuah EV per hari yang 75 persennya buatan Australia.

Sebelumnya, Pemerintah Wilayah Ibukota Australia (Australian Capital Territory/ACT) telah menandatangani nota kesepahaman dengan Nissan-Renault guna mengembangkan kebijakan untuk memperkenalkan EV di ACT.

Infrastruktur
Kesiapan Canberra sebagai ibukota EV juga ditandai adanya kontrak ACT dengan Better Place selaku perusahaan penyedia infrastruktur EV dan ActewAGL yang mengoperasikan jaringan listrik. Dengan kontrak itu, Better Place akan menyediakan tempat pengisian baterai cepat dan tempat penukaran baterai (battery-swapping) di Canberra mulai semester kedua tahun 2011.

Jaringan penuh dan ketersediaan kendaraan diharapkan pada 2012 yang menjadikan Canberra, kota pertama di Australia yang memiliki infrastruktur EV.

Dari website resminya, Better Place bakal menyediakan pengisian baterai pribadi di rumah, akses ke jaringan pengisian baterai di tempat kerja dan tempat publik, akses ke pengisian ulang instan berupa stasiun penukaran baterai serta layanan untuk membantu pengendara mengetahui kapan dan dimana untuk melakukan pengisian baterai.

Better Place juga menjanjikan 100 persen penggunaan listrik yang ramah lingkungan (green electricity) di Australia. Dengan demikian EV akan menjadi kendaraan yang bebas polusi, mendukung energi terbarukan dan sekaligus menjadi solusi terintegrasi yang peduli keberlanjutan lingkungan sekitarnya.

* Tulisan ini disumbangkan ke www.energiterbarukan.net dan buletin Energi Hij@au

“Menyelamatkan” Tiap Potong Roti Bagi Yang Membutuhkan

Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan lebih dari satu miliar orang di dunia mengalami kelaparan. Berarti tiap 1 dari 6 orang di bumi tidak cukup mendapatkan pangan. Benarkah dunia mengalami kekurangan pangan?

Sebetulnya yang terjadi adalah ketidakmerataan dan ketidakadilan yang dilanggengkan oleh sistem dan struktur. Pasalnya penulis kerap menyaksikan dengan hati pedih, roti segar (dalam jumlah banyak) yang dibuang begitu saja ke tempat sampah.

Ini karena sistem ekonomi di negara-negara maju menempatkan roti segar sebagai produk unggul. Untuk menjaga 'kesegaran' itu, roti harus keluar dari pemanggang di hari yang sama. Dengan demikian, produk yang tidak habis terjual hari itu akan terdampar di tempat sampah atas nama 'kesegaran'.

Cara-cara untuk 'menyelamatkan' roti dengan diskon di penghujung hari, itu bertentangan dengan sistem ekonomi yang menempatkan 'kesegaran' sebagai produk unggul.

Mendermakan roti segar begitu saja, ternyata 'dibayangi' tuntutan apabila yang memakannya mengalami gangguan kesehatan. Maka orang-orang macam Stanislawa Dabrowski adalah 'pahlawan penyelamat' setiap potong roti segar bagi yang membutuhkan.

Nenek 84 tahun yang akrab disapa Stasia ini berkeliling suburb Canberra untuk mengumpulkan roti segar yang disumbangkan pemilik gerai. Ia mengolahnya untuk disajikan dengan sup yang ia masak bagi para tuna wisma dan orang-orang yang membutuhkan.

Tentang Stasia bisa Anda baca di halaman Profil Harian Umum Sinar Harapan edisi Rabu, 13 Oktober 2010.

Abundant Versus Scarcity

Di antara kaum tuna wisma, tak jarang terlihat eksekutif berdasi ikut antri sup dan roti gratis yang Stanislawa Dabrowski bagikan di pusat ibukota Canberra tiap Jumat petang. Bagi nenek 84 tahun yang dikenal sebagai “The Soup Lady” ini, hal itu tidak masalah dan tidak ada yang perlu dibeda-bedakan.

“Saya mendapatkannya dengan cuma-cuma, maka saya memberikannya juga dengan cuma-cuma,” jawab Stanislawa yang akrab disapa Stasia.

Di mataku hal itu semacam moral hazard. Tak sepantasnya orang berdasi mendapatkan roti dan sup gratis yang sedianya ditujukan bagi kaum papa dan tuna wisma. Menjadi alumni sekolah bisnis dan manajemen, aku memandang sumber daya sebagai produk langka, bukan sesuatu yang patut 'salah peruntukkan' bagi orang yang tidak layak menerimanya.

Namun bagi Stasia, sumber daya itu akan datang dengan sendirinya. Di matanya, seolah sumber daya itu merupakan kasih dan kemurahan yang melimpah-limpah, yang tiada habisnya.

Dan memang ia tidak salah. Sepanjang menjadi relawan the Soup Kitchen, hampir setiap kali ada yang memberikan sesuatu bagi karya amal Stasia itu, mulai dari uang recehan sampai mobil van dari Pemerintah Wilayah Ibukota Australia (ACT).

Ini mengingatkan pada pola pikir dan law of attraction. Bila kita memandang sumber daya itu melimpah (abundant), pola pikir itu akan 'menarik' sumber daya yang melimpah tadi kepada kita.

Meski tidak sesederhana itu, namun cara pandang dan energi positif ini membuatku merindukan Stasia.

PROFIL: Stanislawa Dabrowski

“Soup Lady” Yang Tidak Memikirkan Diri Sendiri

Tidak biasanya perempuan lanjut usia ini memperlihatkan raut muka bermuram durja. Kali ini wajahnya yang diwarnai keriput kehilangan keceriaan, bola matanya tak lagi berbinar. Meski ia tetap menyambut penulis dengan pelukan hangat, kali ini ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.

“Dokter memvonis tulang kaki saya telah mati, jadi harus diamputasi. Saya tidak bisa datang lagi menjemput roti. Lalu bagaimana nanti the Soup Kitchen? Tidak ada lagi yang menyediakan roti dan sup,” kata Stanislawa Dabrowski kepada penulis ketika menjemput roti di sebuah pusat perbelajaan di selatan Canberra, awal September lalu.

Pernyataan yang mengejutkan tadi segera membuat paham relawan yang membantunya mengemas roti hari itu. Namun yang lebih mengejutkan lagi, Stasia mengulangi berkali-kali kekuatirannya tidak ada yang menyediakan roti dan sup bagi kaum tuna wisma dan mereka yang membutuhkan di pusat kota Canberra.

Sampai-sampai ia bercucuran air mata. Bukannya menangisi vonis dokter dan kondisi kaki yang jalannya sudah pincang, tapi justru ia mengkuatirkan kaum tuna wisma yang selama 30 tahun terakhir ia layani secara sukarela.

Sebenarnya penurunan kondisi kesehatan Stasia – panggilan akrab Stanislawa Dabrowski – sudah berlangsung berbulan-bulan. Ia mengaku mengalami sakit seluruh badan sejak ditabrak orang ketika menjemput roti di pusat perbelanjaan yang lain.

“Ketika orang sudah menua, sel-sel tubuh tidak lagi mengalami regenerasi dengan cepat sehingga tak mudah pulih. Jadi saya berdamai dengan rasa sakit,” komentar Stasia tentang sakitnya.

Itu pun ia masih bersyukur karena pada usianya yang sudah 84 tahun, ia tidak mengalami patah tulang meski terpelanting karena mobil yang menabraknya melaju dengan kencang. Sebagai mantan perawat, Stasia paham ada organ tubuhnya yang mengalami kerusakan setelah ia jatuh terpelanting.

Namun setelah menjalani perawatan dan dinyatakan sehat, nenek mungil itu kembali menyetir sendiri mobil van untuk mengangkut roti dan sup. Tubuhnya yang tidak lebih tinggi dari 1,5 meter seakan tenggelam di balik kemudi kendaraan besar bertuliskan dengan bangga didukung oleh pemerintah Wilayah Ibukota Australia (Australia Capital Territory/ACT).


Memikirkan Sesama
Inilah perempuan berhati malaikat yang oleh warga Canberra dikenal sebagai the Soup Lady. Pada tahun-tahun awal, dengan kocek pribadi, ia memulai menyediakan roti dan sup hangat bagi kaum tuna wisma di ujung tahun 1979. Kegiatannya tiap Jumat petang itu kemudian dikenal sebagai the Soup Kitchen.

Itu terjadi justru setelah putranya mengalami ketergantung narkotika. Stasia memilih tidak sekedar memikirkan diri sendiri, namun sebaliknya berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain.

Itu pun bukan untuk pertama kalinya. Perempuan kelahiran Polandia itu mengalami kekejaman Perang Dunia pertama dan kedua yang menghancurkan keluarganya sampai menyeretnya ke kamp kerja paksa. Karenanya pascaperang, ia memilih menjadi perawat.

Setelah menikah dan memiliki seorang putra, Stasia bersama suaminya bermigrasi ke Australia. Kembali Stasia mengikuti panggilan hatinya mengabdi untuk orang lain, bergabung dengan layanan darurat Palang Merah Australia.

Tidak putusnya ia membaktikan diri bagi yang orang lain, meski kini usianya sudah senja dan didera rasa sakit. Tak heran ia menjadi kebanggaan dan inspirasi bagi warga Canberra, bahkan warga Australia pada umumnya.




BOX: Berbagai Penghargaan

Calon Warga ACT Abad Ini

Dimulai tahun 1996, Stasia meraih penghargaan Warga Canberra (Canberra Citizen of the Year). Menyusul tiga tahun kemudian, ia terpilih sebagai Lansia Asutralia (Senior Australian of the Year) dari negara bagian Wilayah Ibukota Australia (ACT).

Lalu di tahun 2005, negara bagian ACT memberi penghormatan ACT Honour Walk. ACT juga menyumbangkan sebuah mobil van putih yang kedua pintu depannya bertuliskan “The Kitchen Soup dengan bangga didukung ACT.” Hingga saat ini nenek mungil itu masih menyetir sendiri mobil van besar tadi untuk menjemput dan mengantar roti, sup dan lain-lain,

Australian Broadcasting Corporation (ABC) menobatkannya sebagai salah satu Pahlawan Tanpa Nyanyian (Unsung Heroes)/ Pasalnya ia dianggap menjadi inspirasi bagi warga Australia.

Menjelang Olimpiade Beijng 2008, Stasia mendapat kehormatan sebagai salah satu pembawa obor olimpiade ketika tiba di Canberra.

“ Usia saya sudah 82 tahun, tapi saya merasa semuda 28 tahun,” kata Stasia dikutip kantor berita Xinhua saat itu,

Kini ACT kembali mencalonkan Stasia untuk mendapat penghargaan sebagai Warga
ACT Abad Ini (ACT Citizen of the Century). Tak heran warga Canberra yang menyebut diri Canberrans begitu bangga pada nenek yang dijuluki the Soup Lady.

Seluruh penghargaan dan penghormatan tersebut tidak membuat Stasia berhenti atau berpuas diri. Ia menandaskan dirinya akan pensiun kalau sudah berada berkalang tanah.


* Penulis adalah mantan jurnalis Sinar Harapan yang kini menetap di selatan Canberra

Kedekatan itu Bukan Sekedar Jarak

Dalam jurnalistik ada kriteria kedekatan untuk memilih dan memilah berita. Saat ini berasa sekali kedekatan ini bukan semata urusan ruang dengan jarak tempuh tertentu.

Mungkin tidak banyak orang Indonesia yang tahu persis letak Pulau Pagai (Pagai Utara dan Pagai Selatan). Namun bagi para peselancar, gelombang di bagian selatan Kepulauan Mentawai ini masuk kategori kelas dunia (world class wave). Tak heran peselancar Australia lebih mengenalnya daripada penulis yang notabene warga Indonesia.

Terkenal di kalangan peselancar mancanegara, Pulau Pagai ternyata memiliki resor cantik dengan cottages nuansa etnik berpadu dengan keindahan pantainya. Ini justru penulis saksikan di siaran berita televisi Australia.

Pasalnya 10 warga Australia termasuk di antara sekitar 190 korban yang hilang, ketika gelombang tsunami menyapu bagian selatan Kepulauan Mentawai tersebut. Tsunami - yang diyakin mencapai setinggi 3 meter - dipicu gempa tektonik yang menurut United State Geological Survey (USGS) berkekuatan 7,7 dengan kedalaman episentrum 20,6 kilometer terjadi pada Senin, 25 Oktober 2010 pukul 21.42 waktu setempat.

Di antara 10 warga Australia itu, terdapat nama Alex McTaggart yang merupakan Walikota Pittwater sekaligus anggota parlemen (MP) dari negara bagian New South Wales. Tak pelak televisi Australia menayangkan sebagai breaking news di berita pagi, ketika di Indonesia bagian barat masih terlelap pada dini hari.

Gempa bumi diiringi tsunami ini mengingatkan pada bencana nasional tsunami Aceh dan Nias di tahun 2004 dan 2005. Karenanya kedekatan saat ini kurasakan lebih emosional. Ada duka dan prihatin, namun juga pertanyaan besar kemana Sistem Peringatan Dini Tsunami yang pernah digembar-gemborkan?

Memang gempa tektonik sulit dipastikan kapan terjadinya. Namun para ahli geologi dan berbagai pakar telah memperingatkan sejak tahun 2004, bahwa setelah Aceh dan Nias, Patahan Siberut bakal di urutan berikutnya.

Ada yang dikenal sebagai Sunda Megathrust mulai dari Laut Andaman di selatan Burma melengkung sepanjang pantai barat Pulau Sumatera dan pantai selatan Pulau Jawa hingga Sumbawa. Ini merupakan pertemuan lempeng Eurasia dengan Indo-Australia yang aktif kembali melepaskan 'energi bumi' sejak gempa dan tsunami 2004.

Kenapa kita tidak belajar dari masa lalu? Mengapa suara para pakar itu dianggap angin lalu? Tanya? Kenapa?

Keseharian Yang Tak Lagi Remeh

Musim Dingin Di Australia Dalam Kenangan

Sinar mentari menyengat terasa menjadi keseharian sambil lalu di Indonesia. Nyaris tanpa arti, karena telah menjadi kehidupan sehari-hari kecuali hari mendung dan hujan. Namun begitu hawa dingin Canberra menyergap diiringi rinai hujan dengan langit kelabu, mentari yang menjadi keseharian negara tropis tak lagi keseharian sambil lalu.
Pertengahan tahun di bumi belahan selatan suasana baru bagi penulis untuk menetap. Sang surya kini terasa menjadi sesuatu yang sangat berarti. Sinar surya baru muncul sekitar pukul tujuh pagi. Sekalipun terik tengah hari, udara dingin belasan derajat Celsius rasanya tak mampu menghangatkan badan kelahiran negara tropis. Apalagi kalau sang surya berangkat ke peraduan sekitar pukul lima sore, serasa terlalu singkat kehadirannya di musim dingin ini.
Matahari yang menjadi keseharian kita di Indonesia, tidaklah terlalu berasa kalaupun sekali-kali mendung atau hujan. Namun bagi badan kelahiran negara tropis ini, matahari jadi sangat berarti di musim dingin. Mentari tidak saja menghangatkan, tapi juga memberi dampak psikologis dan klinis yang baru berasa nyata saat ini. Sinar surya menjadi pula sumber pemicu kestabilan hormon melatonin yang memberi efek psikologis kita menjadi lebih ceria. Begitu matahari jarang muncul diiringi kabut muram dan hawa dingin, hormon melatonin jadi ngambek yang menyebabkan kita cenderung murung sampai efek depresi yang lebih parah.

Pemanas Ruangan
Meski musim dingin bukan pengalaman baru, namun menetap di negara empat musim menjadi lain cerita. Apalagi Australia terkenal sebagai salah satu negara paling kering dan relatif panas dalam hitungan bulan lebih panjang daripada musim dinginnya. Karenanya penghangat ruangan terpusat (sentral) bukanlah sesuatu keharusan sebagaimana di Eropa atau Amerika Utara, misalnya. Tubuh yang terbiasa dengan hangat atau panasnya Jakarta, kontan membutuhkan penghangat ruangan, terutama di malam hari. Bayangkan saja, minyak goreng membeku di dapur tanpa perlu masuk lemari es (kulkas).
Masalahnya, pemanas ruangan memicu udara dalam ruangan menjadi kering. Dampaknya kulit - yang terbiasa kelembapan dengan iklim tropis – mengerut, alhasil jadi terasa gatal. Bahkan udara kering kombinasi dengan hawa dingin bagi beberapa pendatang sampai menyebabkan hidung berdarah (mimisan). Karenanya cairan pelembab kulit dan pelembab ruangan (humidifier) menjadi kebutuhan lain di musim dingin.
Masalah lain, penghangat ruangan yang tidak sentral membuat kegiatan buang hajat menjadikan panggilan alam itu terasa sesuatu yang menyiksa. Hawa dingin toilet terasa ekstrem dibanding udara kamar tidur yang hangat, karena suhu ruangan relatif bertahan dalam kondisi kamar tertutup meski pemanas ruangan cenderung dimatikan sewaktu tidur. Jadi bisa dibayangkan kalau tengah malam atau dini hari tiba-tiba desakan buang air seni itu menghampiri. Keluar dari doona (selimut tebal musim dingin) saja sudah tantangan, apalagi keluar dari kamar tidur. Betapa nyamannya negara tropis, kapanpun mau ke kamar kecil, tidak pernah masalah, selagi badan kita sehat.

Termometer
Satu lagi, di Indonesia jarang-jarang kita perlu mengetahui suhu udara atau ramalan cuaca sebelum keluar rumah, paling-paling kehujanan atau kepanasan yang tak terlalu parah. Namun perjalanan 'imajiner' matahari ke belahan bumi utara, meninggalkan belahan selatannya bermusim dingin menjadikan badan tropis penulis musti memperhatikan suhu udara di tempat yang baru ini. Kalau tidak, salah-salah bisa 'salah kostum'.
Termometer menjadi salah satu kebutuhan baru yang sebelumnya menjadi barang sambil lalu, kalau tidak terlalu bermakna di negara tropis. Penunjuk suhu ruangan itu juga membantu menguji kebugaran dan ketahanan badan kita untuk mempertahankan suhu tubuh. Kalau pendingin udara (AC/air conditioner) di Indonesia biasanya paling dingin 16 derajat, itu penulis jadikan semacam ambang atas untuk bertahan tanpa pemanas ruangan. Kalau termometer sudah mendekati single digit, pemanas ruangan menjadi kebutuhan meski masih siang.

Air
Selain sinar surya, keseharian lain yang terasa sambil lalu ketika di Indonesia adalah air. Zat cair yang memancar dari keran jarang kita syukuri kehadirannya. Apalagi air yang mengalir di negara tropis relatif sama dengan suhu ruangan, bahkan di beberapa tempat mendapat anugerah mata air sejuk dan segar.
Di musim dingin, air yang mengalir dari pipa kami terasa bagaikan air es. Lazimnya ada dua tombol keran atau satu kepala keran dengan penunjuk panas dingin.
Malangnya, setelah lama tidak dipakai, pemanas air tidak langsung bekerja memancarkan air hangat begitu keran dibuka. Untuk beberapa saat, air sedingin es yang mengalir. Kalau sedang buru-buru misalnya di malam hari, ya terpaksa cuci tangan dengan air dingin tadi sehingga tangan terasa beku.

Suara Adzan
Terbitnya matahari yang terasa kesiangan di musim dingin ini, menjadikan penulis merasa kehilangan satu hal lain yang selama ini menjadi keseharian sambil lalu. Suara adzan subuh penanda terbitnya mentari di Indonesia. Selama ini panggilan itu seakan menjadi 'alarm alami' tubuh untuk bersiap bangun di pagi hari di Indonesia. Kalaupun di Eropa, masih ada gereja-gereja tua yang mendetangkan loncengnya pukul enam pagi.
Di sini deru mobil di jalan raya – yang kebetulan tak jauh dari rumah kami - menjadi salah satu penanda hari telah beranjak siang. Namun itu bukan waktu yang spesifik sebagaimana suara adzan atau dentang lonceng gereja. Unsur ritual religius yang selama ini terabaikan begitu saja, baru terasa ketika tidak ada kehadirannya.

Pedagang Keliling
Satu lagi rasa kehilangan dari nikmatnya tinggal di negara berkembang adalah kehadiran pedagang keliling. Kalau malam tiba dan pesanan dengan telpon lama, pedagang keliling adalah alternatif terbaik yang menghampiri setiap lorong Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Beragam pedagang keliling menghampiri dan tak perlu keluar rumah merupakan kenikmatan tersendiri, yang kini tak lagi penulis temui di negara maju ini. Apalagi musim dingin begini, rasanya telinga merindukan denting sendok beradu dengan mangkok pedagang sekoteng berkeliling kampung.
Mengapa kita baru merasa kehilangan ketika kehadirannya tak lagi menjadi bagian dari keseharian kita? Haruskan kita baru mensyukuri setelah anugerah itu tak lagi hadir bagi kita? Semoga kita lebih bersyukur menikmati rona kehidupan negara tropis dan negara berkembang kita.