Friday, November 12, 2010

Abundant Versus Scarcity

Di antara kaum tuna wisma, tak jarang terlihat eksekutif berdasi ikut antri sup dan roti gratis yang Stanislawa Dabrowski bagikan di pusat ibukota Canberra tiap Jumat petang. Bagi nenek 84 tahun yang dikenal sebagai “The Soup Lady” ini, hal itu tidak masalah dan tidak ada yang perlu dibeda-bedakan.

“Saya mendapatkannya dengan cuma-cuma, maka saya memberikannya juga dengan cuma-cuma,” jawab Stanislawa yang akrab disapa Stasia.

Di mataku hal itu semacam moral hazard. Tak sepantasnya orang berdasi mendapatkan roti dan sup gratis yang sedianya ditujukan bagi kaum papa dan tuna wisma. Menjadi alumni sekolah bisnis dan manajemen, aku memandang sumber daya sebagai produk langka, bukan sesuatu yang patut 'salah peruntukkan' bagi orang yang tidak layak menerimanya.

Namun bagi Stasia, sumber daya itu akan datang dengan sendirinya. Di matanya, seolah sumber daya itu merupakan kasih dan kemurahan yang melimpah-limpah, yang tiada habisnya.

Dan memang ia tidak salah. Sepanjang menjadi relawan the Soup Kitchen, hampir setiap kali ada yang memberikan sesuatu bagi karya amal Stasia itu, mulai dari uang recehan sampai mobil van dari Pemerintah Wilayah Ibukota Australia (ACT).

Ini mengingatkan pada pola pikir dan law of attraction. Bila kita memandang sumber daya itu melimpah (abundant), pola pikir itu akan 'menarik' sumber daya yang melimpah tadi kepada kita.

Meski tidak sesederhana itu, namun cara pandang dan energi positif ini membuatku merindukan Stasia.

No comments: