Friday, November 12, 2010

PROFIL: Stanislawa Dabrowski

“Soup Lady” Yang Tidak Memikirkan Diri Sendiri

Tidak biasanya perempuan lanjut usia ini memperlihatkan raut muka bermuram durja. Kali ini wajahnya yang diwarnai keriput kehilangan keceriaan, bola matanya tak lagi berbinar. Meski ia tetap menyambut penulis dengan pelukan hangat, kali ini ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.

“Dokter memvonis tulang kaki saya telah mati, jadi harus diamputasi. Saya tidak bisa datang lagi menjemput roti. Lalu bagaimana nanti the Soup Kitchen? Tidak ada lagi yang menyediakan roti dan sup,” kata Stanislawa Dabrowski kepada penulis ketika menjemput roti di sebuah pusat perbelajaan di selatan Canberra, awal September lalu.

Pernyataan yang mengejutkan tadi segera membuat paham relawan yang membantunya mengemas roti hari itu. Namun yang lebih mengejutkan lagi, Stasia mengulangi berkali-kali kekuatirannya tidak ada yang menyediakan roti dan sup bagi kaum tuna wisma dan mereka yang membutuhkan di pusat kota Canberra.

Sampai-sampai ia bercucuran air mata. Bukannya menangisi vonis dokter dan kondisi kaki yang jalannya sudah pincang, tapi justru ia mengkuatirkan kaum tuna wisma yang selama 30 tahun terakhir ia layani secara sukarela.

Sebenarnya penurunan kondisi kesehatan Stasia – panggilan akrab Stanislawa Dabrowski – sudah berlangsung berbulan-bulan. Ia mengaku mengalami sakit seluruh badan sejak ditabrak orang ketika menjemput roti di pusat perbelanjaan yang lain.

“Ketika orang sudah menua, sel-sel tubuh tidak lagi mengalami regenerasi dengan cepat sehingga tak mudah pulih. Jadi saya berdamai dengan rasa sakit,” komentar Stasia tentang sakitnya.

Itu pun ia masih bersyukur karena pada usianya yang sudah 84 tahun, ia tidak mengalami patah tulang meski terpelanting karena mobil yang menabraknya melaju dengan kencang. Sebagai mantan perawat, Stasia paham ada organ tubuhnya yang mengalami kerusakan setelah ia jatuh terpelanting.

Namun setelah menjalani perawatan dan dinyatakan sehat, nenek mungil itu kembali menyetir sendiri mobil van untuk mengangkut roti dan sup. Tubuhnya yang tidak lebih tinggi dari 1,5 meter seakan tenggelam di balik kemudi kendaraan besar bertuliskan dengan bangga didukung oleh pemerintah Wilayah Ibukota Australia (Australia Capital Territory/ACT).


Memikirkan Sesama
Inilah perempuan berhati malaikat yang oleh warga Canberra dikenal sebagai the Soup Lady. Pada tahun-tahun awal, dengan kocek pribadi, ia memulai menyediakan roti dan sup hangat bagi kaum tuna wisma di ujung tahun 1979. Kegiatannya tiap Jumat petang itu kemudian dikenal sebagai the Soup Kitchen.

Itu terjadi justru setelah putranya mengalami ketergantung narkotika. Stasia memilih tidak sekedar memikirkan diri sendiri, namun sebaliknya berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain.

Itu pun bukan untuk pertama kalinya. Perempuan kelahiran Polandia itu mengalami kekejaman Perang Dunia pertama dan kedua yang menghancurkan keluarganya sampai menyeretnya ke kamp kerja paksa. Karenanya pascaperang, ia memilih menjadi perawat.

Setelah menikah dan memiliki seorang putra, Stasia bersama suaminya bermigrasi ke Australia. Kembali Stasia mengikuti panggilan hatinya mengabdi untuk orang lain, bergabung dengan layanan darurat Palang Merah Australia.

Tidak putusnya ia membaktikan diri bagi yang orang lain, meski kini usianya sudah senja dan didera rasa sakit. Tak heran ia menjadi kebanggaan dan inspirasi bagi warga Canberra, bahkan warga Australia pada umumnya.




BOX: Berbagai Penghargaan

Calon Warga ACT Abad Ini

Dimulai tahun 1996, Stasia meraih penghargaan Warga Canberra (Canberra Citizen of the Year). Menyusul tiga tahun kemudian, ia terpilih sebagai Lansia Asutralia (Senior Australian of the Year) dari negara bagian Wilayah Ibukota Australia (ACT).

Lalu di tahun 2005, negara bagian ACT memberi penghormatan ACT Honour Walk. ACT juga menyumbangkan sebuah mobil van putih yang kedua pintu depannya bertuliskan “The Kitchen Soup dengan bangga didukung ACT.” Hingga saat ini nenek mungil itu masih menyetir sendiri mobil van besar tadi untuk menjemput dan mengantar roti, sup dan lain-lain,

Australian Broadcasting Corporation (ABC) menobatkannya sebagai salah satu Pahlawan Tanpa Nyanyian (Unsung Heroes)/ Pasalnya ia dianggap menjadi inspirasi bagi warga Australia.

Menjelang Olimpiade Beijng 2008, Stasia mendapat kehormatan sebagai salah satu pembawa obor olimpiade ketika tiba di Canberra.

“ Usia saya sudah 82 tahun, tapi saya merasa semuda 28 tahun,” kata Stasia dikutip kantor berita Xinhua saat itu,

Kini ACT kembali mencalonkan Stasia untuk mendapat penghargaan sebagai Warga
ACT Abad Ini (ACT Citizen of the Century). Tak heran warga Canberra yang menyebut diri Canberrans begitu bangga pada nenek yang dijuluki the Soup Lady.

Seluruh penghargaan dan penghormatan tersebut tidak membuat Stasia berhenti atau berpuas diri. Ia menandaskan dirinya akan pensiun kalau sudah berada berkalang tanah.


* Penulis adalah mantan jurnalis Sinar Harapan yang kini menetap di selatan Canberra

No comments: