Friday, May 30, 2008

Mengkritisi Kebijakan Transportasi Gubernur DKI Jaya

Belum lama ini Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (DKI Jaya)
terpilih, Fauzi Bowo mengungkapkan janjinya membangun tol dalam kota
sebagai terobosan mengatasi kemacetan Jakarta.
Sekilas ungkapan ini tampaknya menjanjikan untuk jalan keluar dari
kemacetan yang makin menggila. Namun memahami pertumbuhan kendaraan yang
mengikuti deret ukur (?) sementara pertumbuhan jalan cuma mengikuti deret
hitung (?), jelas bakal tidak imbang. Seberapa pun banyak jalan dibangun,
ujungnya kemacetan akan kembali muncul dalam beberapa waktu kemudian.

Krisis Minyak
Belum lagi kalau memperhatikan harga minyak mentah yang awal November sudah
tembus US$ 95 per barel. Meski harga bahan bakar minyak (BBM) untuk
transportasi masih disubsidi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), sepatutnya pemimpin pemerintahan memiliki visi penghematan bahan
bakar fosil yang makin langka ini.
Kebijakan menambah ruas jalan secara tidak langsung mendorong pertumbuhan
mobil yang notabene membutuhkan BBM. Bukan berarti pemerintah tidak
bertanggung jawab meningkatkan infrastruktur, namun ada banyak pilihan
cerdas bisa menjadi terobosan selain menambah ruas jalan tol dalam kota.

Transportasi Massal
Negara-negara yang peka akan krisis energi dan perubahan iklim yang
diakibatkannya,berupaya keras mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke
kendaraan umum. Tak ayal transportasi publik yang aman dan nyaman menjadi
keharusan.
Kenapa pengguna mobil pribadi tak gampang beralih ke Trans Jakarta
misalnya? Masalahnya mereka tak sekedar butuh bergerak dari satu tempat ke
tempat lain dengan cepat, tapi juga dengan mudah, aman dan nyaman tanpa
tergenjet-genjet. Apalagi tidak adanya car port dan feeder yang memadai.
Untuk kota metropolitan, jelas tak bisa lagi mengandalkan bus kota dan
sejenisnya. Bagi kota sebesar Jakarta, jelas harus ada transportasi cepat
yang massal (mass rapid transportation/MRT).

KRL Terintegrasi
Sementara monorail baru muncul tiang-tiangnya di ibukota tercinta, pilihan
MRT bisa jatuh pada kereta api listrik (KRL).
Pihak DKI Jaya bisa melobi PT KA (Persero) untuk membuat tiket terusan
macam Trans Jakarta, misalnya dari Bogor ke Sudirman, turun di Stasiun
Manggarai langsung pindah jalur ke arah Sudirman. Jadi tidak perlu keluar
untuk beli tiket di stasiun junction.
Intinya pemerintah bisa mendorong lebih banyak pengguna KRL sebagai
alternatif MRT.
Lebih jauh pihak DKI bisa mendorong PT KA untuk menindaklanjuti pemisahan
(spin off) Daerah Operasi Jakarta menjadi anak perusahaan tersendiri.
Dengan demikian Pihak DKI dapat ikut andil mempercepat pembangunan rel
ganda dan jalur layang KA yang lebih menyeluruh di Jakarta, sembari menanti
monorail.
Termasuk segera mewujudkan KA Bandara, mengingat kemacetan Tol Dr.Wiyoto
yang makin parah. Sebagai bandara internasional, Bandara Soekarno-Hatta
sepatutnya terhubung dengan MRT.
Pendek kata Pemda DKI harus mendorong pengurangan pemakaian BBM secara
lebih efektif, dengan MRT. Isu energi dan lingkungan sepatutnya mengedepan
dalam setiap penerapan kebijakan transportasi kota.

Jakarta, 2 November 2007

Sekolah Riuh Reda

Setiap kali aku mendatangi sekolah ini, selalu kutemui suasana yang riuh
reda, baik dari dalam kelas maupun di halamannya. Sekolah Dasar Negeri
(SDN) Kenari ini terdiri dari tiga lantai. Tiap lantainya enam kelas,
masing-masing untuk pagi dan petang. Jadi ada enam sekolah atau pengelolaan
pada satu bangunan ini. Benar-benar padat.
Terlepas dari jumlahnya, murid bisa berada di luar kelas sebelum jam
sekolah usai. Itu yang kutemui saat ini dan mengundang keherananku.
Seingatku waktu SD dulu, sekolahku relatif lengang pada jam belajar. Pagar
sekolahku tinggi kukuh peninggalan Belanda, efektif membatasi siswa maupun
orangtua murid tidak keluar-masuk di jam belajar. Tertib, bersih, rapi dan
teratur yang kurasakan dan tak kutemukan saat ini.
Ternyata kelas Rizka sedang ujian praktek, sehingga murid tumpah ruah
keluar kelas. Padahal terlihat gurunya menguji di luar kelas.
Hari ini aku membayar uang les Rp 30.000 dan uang study tour Rp 55.000 pada
ibu guru walikelas VI. Lagi-lagi tidak ada tanda bukti. Lagi-lagi si ibu
menekankan tidak ada paksaan. Meski sukarela, apa tega tidak mengikutkan
anak kalau satu kelas berangkat? Sementara uangnya ada.
Lagi pula study tour ini masih masuk akal ke Planetarium, Taman Mini dan
museum. Beneran untuk belajar dan baik untuk meredakan ketegangan setelah
ulangan umum sekolah.

Jakarta, 14 April 2008

'Meruntuhkan' Sekat Perdata dan Pidana


Judul: Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan
Terhadap Perempuan.
Penulis: Sulistyowati Irianto dan Antonius Cahyadi
Penerbit: Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia dan Yayasan Obor, Maret 2008.
Tebal: 382 + xiii halaman.

Di 2007 Komisi Nasional (Komnas Perempuan) mencatat 34.665 kasus kekerasan
terhadap perempuan. Angka itu naik nyaris 65% dibanding 2006 yang tercatat
22.512 kasus kekerasan pada kaum hawa ini.
Ironisnya kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas
Perempuan sendiri hanya 4%. Sementara yang menerima laporan terbesar adalah
Pengadilan Agama, 41% dan disusul kepada organisasi kemasyarakatan sipil
33%, eumah sakit 14%, ruang pelayanan khusus (RPK) 7% dan pengadilan negeri
cuma 1%.
Dari 862 (4%) kasus yang dicabut, paling banyak, 50% dari RPK. Kalau
separoh kasus dicabut dari meja kepolisian, berapa kasus yang sampai
pengadilan, apalagi sampai putusan peradilan? Tak heran penulis menyatakan
kasus kekerasan perempuan masih berupa 'puncak gung es'.
Angka-angka menjadi fakta kuat untuk mendobrak kesadaran yang membuka Bab I
Menelusuri Akses Keadilan Perempuan Melalui "Ruang Negara".
Di bab ini pula diterangkan pendekatan studi Socio-Legal sebagai studi
hukum alternatif. Titik berangkatnya adalah penelitian yang berfokus pada
persoalan bagaimana akses perempuan kepada keadilan yang disediakan oleh
negara, ketika perempuan menjadi korban kekerasan (domestik dan publik.
Dari kurun waktu 1955-2003 (sebelum disahkannya Undang-undang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga/KDRT), terdapat 40 putusan Mahkamah Agung (MA) yang
diindikasi terdapat kasus kekerasan terhadap kaum hawa.
Empat kasus yang diputuskan di 1984, sebelum Indonesia meratifikasi
Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW), dua "tidak berpihak" dan dua kasus "bersahabat" pada perempuan.
Sedang empat kasus yang diputus setelah 1984, hasilnya sama, dua merugikan
dan dua menguntungkan perempuan.
"Dalam hal ini dapat ditunjukkan sebenarnya hampir tidak ada signifikansi
dari ratifikasi terhadap konvensi CEDAW dengan akses keadilan bagi
perempuan," kata penulis.
Pada Bab II, penulis fokus pada perempuan dan 40 putusan MA tersebut.
Penulis mengangkat 10 kasus lengkap dengan deskripsi kasus, penuturan para
saksi, pertimbangan pengadilan, dan kesimpulan.
"Sepuluh Putusan MA yang dideskripsikan di atas merupakan rekaman tentang
pengalaman perempuan yang mencari keadilan di dalam hidupnya. Keadilan yang
dicarinya di ruang sidang, bukan hanya keadilan yang berkaitan langsung
dengan kasus tentang diri keperempuannya. Dalam hal ini perempuan mencari
keadilan yang lebih luas lagi," jelas penulis.
Pada Bab III para peneliti mencoba menghidupkan kembali ruang sidang dengan
alur berkisah yang mengungkap desah aduh korban yang berakhir menjadi
teriakan kesakitan di pengadilan.
Saking seragamnya perlakuan di ruang sidang, seorang korban berkata,
"Sekarang kalo ke pengadilan kayak ke Puskesmas, semua sama obatnya. Jadi
semua sama, mau kasusnya beda, mau konfliknya beda, pemecahannya sama,"
Ini tak berlebihan. Peneliti menemukan bentuk kekerasan yang paling
mendasar dilakukan MA terhadap perempuan, yang sebenarnya tertanam dalam
struktur sistem peradilan.
"Kekerasan yang dialami perempuan, bahkan kekerasan fisik yang serius,
tersembunyi dalam kotak-kotak dikotomis kewenangan pengadilan. Hakim
perdata, hanya terbatas untuk mengadili perdatanya. Dengan demikian,
kekerasan terhadap perempuan tersembunyi menjadi tindak kriminal yang tidak
dihukum," tegas penulis.
Lebih lanjut penulis menggarisbawahi dalam kasus perceraian (perdata)
ditemukan kasus-kasus kekerasan fisik. Sebaliknya dalam kasus pidana yang
dihadapi perempuan, dapat ditemukan kebutuhan untuk menyelesaikan kasus
secara perdata. Terlebih lagi tuntutan ganti rugi imateriil yang
dikonversikan dalam bentuk materi (uang) hanya mungkin dilakukan dalam
domain peradilan perdata.
"Untuk menghadapi kasus kekerasan yang dialami perempuan, terutama dalam
lingkup domestik atau keluarga, tidak bisa digunakan lagi dikotomi antara
peradilan pidana dan peradilan perdata, bahkan agama yang kemudian
dikelompokkan dalam wilayah peradilan perdata," tegas penulis.
Karenanya buku ini lebih tepat diberi judul 'Meruntuhkan' sekat perdata dan
pidana. Ini merupakan suatu kata kerja, butuh tindakan aktif untuk
memperjuangkannya.

Pembicaraan Roh

Tugas kita di dunia:
1. Belajar bagi (kemajuan) roh
2. Membayar karma
3. Menghidupi/berkarya misi kita.

Karma tidak mutlak baik-buruk.
Amal tidak selalu baik. Amal tidak selalu uang. Amal yang penting
meningkatkan vibrasi orang lain agar lebih 'happy'. Tolok ukurnya intuitif
saja.

Yang penting itu 'mendidik'. Kadang menderita itu bisa 'mendidik jiwa'
(belajar).

Roh (timeless, vibrasi tinggi di atas kecepatan cahaya, berbentuk hologram)
itu partikel juga, tapi punya kehidupan (yang terperangkap dalam badan).

Perempuan Agen Perubahan Gaya Hidup Ramah Lingkungan*

Menjelang Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak (COP) Ke-13 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), isu lingkungan hidup meningkat drastis. Berbagai slogan dan ajakan untuk hemat energi, mengurangi gas buang, dan berbagai tindakan ramah lingkungan digembar-gemborkan sepanjang Desember akhir tahun 2007. Begitu tahun berganti, jarang terdengar lagi ajakan kampanye hemat energi dan bertindak ramah lingkungan. Kalaupun ada, itu hanya dilakukan sekelompok orang yang memang gigih dan konsisten cinta lingkungan.
Malangnya perempuan jarang dikaitkan dengan isu lingkungan ini, meski tidak sedikit pahlawan (perempuan) tanpa dan dengan tanda jasa di bidang lingkungan. Padahal kalau kita tilik dalam kesehariannya, perempuan bergulat dengan urusan rumah tangga dan berbagai bidang kehidupan yang dapat menjadi sarana untuk hidup ramah lingkungan.

Jejak Konsumsi
Ada perangkat metodologi yang disebut Ecological Footprint yang mampu memperkirakan kebutuhan akan tanah dan lautan untuk mendukung konsumsi makanan, barang dan jasa, perumahan, energi dan pembuangan limbah kita. Ini semacam rekam jejak gaya hidup kita yang terwujud dalam pola konsumsi yang berakibat pada lingkungan.
Dalam web site Redefining Progress (www.myfootprint.org) rekam jejak terbagi dalam kategori konsumsi karbon (untuk energi rumah dan transportasi), makanan, perumahan, barang dan jasa. Di sini lah perempuan dapat sangat ampuh menjadi agen perubahan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Lihat saja untuk konsumsi energi di rumah. Perempuan kerap yang menjadi penentu pembelian perangkat rumah tangga (home appliances) yang kini serba elektronik. Para ibu dapat sangat berkuasa untuk memilih perangkat rumah tangga yang hemat listrik, (green electricity) misalnya lampu hemat energi, setrika dengan Watt kecil (low wattage), dan sebagainya. Lampu hemat energi lebih hemat energi empat kali dan lebih awet delpan kali lebih lama ketimbang lampu pijar. Sementara perangkat yang efisiensi energi menggunakan 2-10 kali lebih sedikit energi ketimbang perangkat yang
konvensional, menurut Redefining Progress.
Tidak saja yang hemat, tapi bisa juga memilih yang menggunakan sumber energi terbarukan (renewable resource). Misalnya pemanas air, ketimbang yang menggunakan energi listrik atau gas, para ibu dapat memilih tenaga matahari. Pemanas air panel surya harga beli (investasi awalnya) bakal lebih mahal, namun pengoperasiannya nyaris gratis atas kemurahan surya ciptaan Yang Kuasa,
apalagi di negara tropis macam Indonesia.
Selain itu para ibu berkuasa untuk merencanakan penggantian barang. Dengan tenaga kerja relatif murah, banyak perangkat yang lebih murah kalau diperbaiki ketimbang beli yang baru. Pasalnya kian cepat kita mengganti barang, kian banyak energi yang dibutuhkan dan melebihi kapasitas
regeneratif bumi kita.
Para ibu juga berkuasa menentukan pola makan. Kian banyak makanan olahan, makin besar energi yang dibutuhkan. Umpamanya menyajikan buah potong atau air jeruk dengan perasan manual, jelas lebih kaya serat dan lebih hemat energi ketimbang dibikin jus dengan alat listrik.
Pilihan ibu terhadap makanan anorganik dan makanan lokal juga menolong daya dukung bumi menghadapi pencemaran zat-zat kimia dan menghemat energi minyak sebagai induk industri petrokimia yang menghasilkan pupuk buatan.
Berbelanja di pasar terdekat yang cukup berjalan kaki, tak perlu berkendara juga bisa menjadi pilihan hemat energi dengan mengurangi food footprint. Jangan lupa ibu juga bisa turut mengurangi pemakaian tas plastik, mengingat proses dekomposisi butuh waktu ribuan tahun. Kita bisa kembali ke tas keranjang atau tas kain yang bisa dicuci dan dipakai berulang-kali.
Dengan menurunkan rantai makanan, mengurangi daging juga dapat membuat perbedaan yang sangat berarti. Bukankah memasak daging memang lebih lama, lebih banyak energi yang dibutuhkan? Redefining Progress melaporkan secara global diperkirakan 18 persen dari emisi gas rumah kaca berkaitan dengan konsumsi daging.
Para ibu juga bisa memilih pembersih, baik itu sabun, deterjen, pembersih lantai dan sejenisnya yang biodegradable atau tidak beracun (non-toxic). Selain aman untuk anak-anak, produk ini jelas sangat menolong mengurangi pencemaran tanah dan air di bumi yang cuma satu ini.
Para ibu dapat berkebun, karena setiap tanaman berhijau daun menyerap karbon. Kalau tak ada lahan, berkebun dengan pot pun jadilah.

Perilaku Hemat Energi
Di samping pilihan-pilihan fitur energi tadi, kaum hawa bisa menjadi agen perubahan gaya hidup yang hemat energi dan ramah lingkungan, mulai dari rumah.
Para ibu bisa mengajarkan dan membiasakan anak-anak untuk mematikan seluruh alat elektronik yang tidak terpakai. Termasuk tidak perlu memanaskan nasi dalam magic jar atau rice cooker sepanjang waktu, cukup menjelang makan saja. Juga secara rutin melakukan de-frost kulkas (lemari pendingin) dan freezer-nya, untuk mengoptimalkan pendinginan.
Para ibu juga bisa bijak dalam menggunakan air. Ketimbang mencuci gelas tiap kali minum yang jelas merepotkan, ibu bisa menyediakan gelas dengan tutup gelas dan nama untuk digunakan anak-anak sepanjang hari. Jelas kita menghemat beberapa liter air agar tidak terbuang berlebih.
Ibu bisa menghindari menyiram jalanan dengan air PAM atau membiaskan menyiram tanaman dengan air bekas cuci beras.
Para ibu juga dapat mengumpulkan cucian pakaian pada kapasitas maksimal dan mengeringkan di bawah terik matahari tropis. Redefining Progress mencatat pengeringan pakaian dengan dijemur menghemat 3-4 kilo Watt hours (kWh) per load - sekitar 25 kilogram karbondiosida (CO2).
Ibu juga berkuasa dalam mengurangi limbah, dengan memilah sampah. Untuk sampah dapur, kaum ibu bisa menggali sepetak lahan atau menggunakan ember tak terpakai untuk menimbun sampah dapur dengan tanah hingga menjadi kompos. Sampah kertas dan plastik disisihkan untuk para pemulung, baru
sisanya masuk ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) kota. Dengan mengurangi sampah, jelas ini menurunkan pemakaian lahan TPS dan TPA, lebih sedikit energi untuk membakar sampah, dan mengurangi polusi udara.
Betapa ampuhnya perempuan sebagai agen perubahan yang ramah lingkungan, bukan? Namun banyak dari kita yang cenderung mengingkari hal-hal kecil yang kita lakukan dalam menghemat energi dan mengurangi emisi karbon karena tidak membuat perubahan besar, sebagaimana diakui kelompok Redefining Progress. Ini seperti sedikit-sedikit menjadi bukit. Small thing add up!

Dimuat di Majalah BIRU Voice Edisi April 2008 (dalam rangka hari Kartini)

Subyek dan Kelugasan

A (lelaki) menulis email kepada B (perempuan),... pernah terpikat pada C (lelaki), sebuah kalimat tanpa subyek.
Setelah B menanyakan subyeknya, ternyata yang dimaksud adalah B sendiri.
Kalimat tanpa subyek itu sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Tidak jelas
apakah pernyataan itu meminta konfirmasi.
Karena subyeknya B dan email itu ditujukan kepada B, kenapa A tidak
menanyakan atau mengkonfrontasi langsung ke B?
Dengan membuat pernyataan itu, (seolah) B adalah obyek. Maka itu jelas
adalah sebuah tuduhan sepihak, tanpa konfirmasi.
Ini merupakan bagian kebiasaan Asia dan masyarakat feodal yang enggan
mengkonfrontasi langsung lawan bicaranya, berputar-putar, tidak straight to
the point.
Ini bertolak belakang dengan watakku dan langgam Jawa Timuran yang lugas.
Tak jarang aku merasa terganggu dengan gaya berputar-putar yang tidak lugas
seperti ini. Sebuah benturan budaya yang tak terelakkan.

Jakarta, 12 Mei 2008

The Emptyness (Ketiadaan)

Segala sesuatu yang kita lihat, tidak seperti adanya.Tergantung sudut
pandang mata, kita tidak melihat keseluruhan. Sebenarnya yg kita lihat 2
dimensi (bagian belakang/ada bagian yang tak terlihat mata kita), yg kita
konstruksi (pikiran) sebagai 3 dimensi.
Pandangan kita terhadap sesuatu, tergantung karma kita.
Kita kerap melebih-lebihkan.
Misalnya suffering, kita merasa tidak nyaman karena tidak terbiasa
menderita. Jadi sebenarnya bukan sebab dari luar yg menyebabkan
ketidaknyamanan, tapi kita membandingkan dengan tidak menderita. Ini
distorsi realitas.
Feeling (perasaan) judgement yang membuat kita merasakan nyaman atau tidak
nyaman. Dengan emptyness ada pembebasan (liberation), sehingga perasaan
kita tidak membandingkan atau melebih-lebihkan realitas.
Misalnya dimarahi, tidak nyaman bukan datang dari luar (subyek yg marah),
tapi dari kita. Kalau kita bisa membebaskan judgement dari luar, perasaan
tidak nyaman itu akan hilang berubah menjadi pengertian, mawas diri atau
malah welas asih (compassion).

Jakarta, 20 Mei 2008
Waisak Day

Sunday, May 25, 2008

Negeri Para Calo

HINDARI
Pengurusan keimigrasian melalui calo!!!
CALO MERUGIKAN KITA SEMUA!!!
Begitu kalimat yang tertulis pada spanduk biru yang terbentang di atas
pintu kaca Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Pusat di Jalan Merpati.
Pada kaca di kiri dan kanan pintu itu juga tertempel stiker, "Pastikan
pelayanan kami bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme" SMS 021-32622888.
Rabu, 21 Mei 2008 pukul 11.33 penulis menjejakkan kaki di kantor imigrasi
itu. Penulis meletakkan map berisi formulir Perdim 11 dan segala dokumen
persyaratan permohonan paspor di loket pertama lalu duduk menunggu. Usai
istirahat satu jam tengah hari, penulis kembali menunggu hingga sekitar
pk.14.30 petugas loket memanggil. Sembari mengembalikan dokumen asli,
petugas memberikan potongan kertas bertuliskan nama penulis, tanggal masuk
(dicap) 21 May 2008, tanggal kembali wawancara/foto: 22/5/08 jam 11.00
dengan catatan: surat-surat asli dibawa pada saat wawancara.
Dikurangi jam istirahat, berarti setidaknya membutuhkan waktu dua jam untuk
mendapatkan potongan kertas panggilan itu.

Hari Kedua
Kamis, 22 Mei 2008 pk.10.50 penulis kembali tiba di loket pertama sambil
menunjukkan potongan kertas panggilan. Petugas meminta menunggu.
Di kertas itu tertera jam, toh harus menunggu juga. Lalu apa artinya kertas
panggilan tadi?
Hingga beberapa saat menjelang tengah hari, petugas memanggil sembari
menyerahkan kembali map berisi berkas-berkas yang kemarin penulis ajukan.
Usai jam istirahat, penulis masih harus menunggu meski sudah memegang
kuitansi pembayaran.
Sementara klien para calo yang baru datang, bisa langsung dapat panggilan.
Bahkan ada yang tanpa segan langsung menyelonong masuk ke ruang foto, tanpa
ada panggilan.
Yang paling terasa usai foto, penulis harus menunggu di luar ruangan.
Sementara klien calo yang foto belakangan, bisa mendapat panggilan lebih
dulu. Bahkan ada klien calo yang langsung dari ruang foto masuk ke ruang
wawancara dan 'duduk manis' di hadapan ibu petugas pewawancara, tanpa ada
panggilan!
Benar-benar proses imigrasi ini dikuasai para calo! Penulis dan sedikit
orang yang mencoba menjadi warga negara baik dengan mengurus paspor sendiri
- tanpa melalui calo - ternyata selalu terkalahkan para calo.
Kenapa tidak ada nomor panggilan macam antrian bank yang transparan? Kenapa
tidak ada pengawas yang memantau klien calo yang menyelonong?
Selain itu alur dan lama proses yang terpampang di layar monitor terlalu
kecil dan tak terbaca.
Penulis perlu seminggu lagi kembali untuk mendapatkan paspor. Padahal
seorang calo mengatakan, lewat dia bisa sehari jadi! Nah!
Begitu keluar, di teras kiri-kanan pintu keluar itu berkumpul sebagian
calo. Tepat di bawah spanduk tadi. Apa artinya ini semua?

Jakarta, 22 Mei 2008