Friday, May 30, 2008

Perempuan Agen Perubahan Gaya Hidup Ramah Lingkungan*

Menjelang Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak (COP) Ke-13 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), isu lingkungan hidup meningkat drastis. Berbagai slogan dan ajakan untuk hemat energi, mengurangi gas buang, dan berbagai tindakan ramah lingkungan digembar-gemborkan sepanjang Desember akhir tahun 2007. Begitu tahun berganti, jarang terdengar lagi ajakan kampanye hemat energi dan bertindak ramah lingkungan. Kalaupun ada, itu hanya dilakukan sekelompok orang yang memang gigih dan konsisten cinta lingkungan.
Malangnya perempuan jarang dikaitkan dengan isu lingkungan ini, meski tidak sedikit pahlawan (perempuan) tanpa dan dengan tanda jasa di bidang lingkungan. Padahal kalau kita tilik dalam kesehariannya, perempuan bergulat dengan urusan rumah tangga dan berbagai bidang kehidupan yang dapat menjadi sarana untuk hidup ramah lingkungan.

Jejak Konsumsi
Ada perangkat metodologi yang disebut Ecological Footprint yang mampu memperkirakan kebutuhan akan tanah dan lautan untuk mendukung konsumsi makanan, barang dan jasa, perumahan, energi dan pembuangan limbah kita. Ini semacam rekam jejak gaya hidup kita yang terwujud dalam pola konsumsi yang berakibat pada lingkungan.
Dalam web site Redefining Progress (www.myfootprint.org) rekam jejak terbagi dalam kategori konsumsi karbon (untuk energi rumah dan transportasi), makanan, perumahan, barang dan jasa. Di sini lah perempuan dapat sangat ampuh menjadi agen perubahan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Lihat saja untuk konsumsi energi di rumah. Perempuan kerap yang menjadi penentu pembelian perangkat rumah tangga (home appliances) yang kini serba elektronik. Para ibu dapat sangat berkuasa untuk memilih perangkat rumah tangga yang hemat listrik, (green electricity) misalnya lampu hemat energi, setrika dengan Watt kecil (low wattage), dan sebagainya. Lampu hemat energi lebih hemat energi empat kali dan lebih awet delpan kali lebih lama ketimbang lampu pijar. Sementara perangkat yang efisiensi energi menggunakan 2-10 kali lebih sedikit energi ketimbang perangkat yang
konvensional, menurut Redefining Progress.
Tidak saja yang hemat, tapi bisa juga memilih yang menggunakan sumber energi terbarukan (renewable resource). Misalnya pemanas air, ketimbang yang menggunakan energi listrik atau gas, para ibu dapat memilih tenaga matahari. Pemanas air panel surya harga beli (investasi awalnya) bakal lebih mahal, namun pengoperasiannya nyaris gratis atas kemurahan surya ciptaan Yang Kuasa,
apalagi di negara tropis macam Indonesia.
Selain itu para ibu berkuasa untuk merencanakan penggantian barang. Dengan tenaga kerja relatif murah, banyak perangkat yang lebih murah kalau diperbaiki ketimbang beli yang baru. Pasalnya kian cepat kita mengganti barang, kian banyak energi yang dibutuhkan dan melebihi kapasitas
regeneratif bumi kita.
Para ibu juga berkuasa menentukan pola makan. Kian banyak makanan olahan, makin besar energi yang dibutuhkan. Umpamanya menyajikan buah potong atau air jeruk dengan perasan manual, jelas lebih kaya serat dan lebih hemat energi ketimbang dibikin jus dengan alat listrik.
Pilihan ibu terhadap makanan anorganik dan makanan lokal juga menolong daya dukung bumi menghadapi pencemaran zat-zat kimia dan menghemat energi minyak sebagai induk industri petrokimia yang menghasilkan pupuk buatan.
Berbelanja di pasar terdekat yang cukup berjalan kaki, tak perlu berkendara juga bisa menjadi pilihan hemat energi dengan mengurangi food footprint. Jangan lupa ibu juga bisa turut mengurangi pemakaian tas plastik, mengingat proses dekomposisi butuh waktu ribuan tahun. Kita bisa kembali ke tas keranjang atau tas kain yang bisa dicuci dan dipakai berulang-kali.
Dengan menurunkan rantai makanan, mengurangi daging juga dapat membuat perbedaan yang sangat berarti. Bukankah memasak daging memang lebih lama, lebih banyak energi yang dibutuhkan? Redefining Progress melaporkan secara global diperkirakan 18 persen dari emisi gas rumah kaca berkaitan dengan konsumsi daging.
Para ibu juga bisa memilih pembersih, baik itu sabun, deterjen, pembersih lantai dan sejenisnya yang biodegradable atau tidak beracun (non-toxic). Selain aman untuk anak-anak, produk ini jelas sangat menolong mengurangi pencemaran tanah dan air di bumi yang cuma satu ini.
Para ibu dapat berkebun, karena setiap tanaman berhijau daun menyerap karbon. Kalau tak ada lahan, berkebun dengan pot pun jadilah.

Perilaku Hemat Energi
Di samping pilihan-pilihan fitur energi tadi, kaum hawa bisa menjadi agen perubahan gaya hidup yang hemat energi dan ramah lingkungan, mulai dari rumah.
Para ibu bisa mengajarkan dan membiasakan anak-anak untuk mematikan seluruh alat elektronik yang tidak terpakai. Termasuk tidak perlu memanaskan nasi dalam magic jar atau rice cooker sepanjang waktu, cukup menjelang makan saja. Juga secara rutin melakukan de-frost kulkas (lemari pendingin) dan freezer-nya, untuk mengoptimalkan pendinginan.
Para ibu juga bisa bijak dalam menggunakan air. Ketimbang mencuci gelas tiap kali minum yang jelas merepotkan, ibu bisa menyediakan gelas dengan tutup gelas dan nama untuk digunakan anak-anak sepanjang hari. Jelas kita menghemat beberapa liter air agar tidak terbuang berlebih.
Ibu bisa menghindari menyiram jalanan dengan air PAM atau membiaskan menyiram tanaman dengan air bekas cuci beras.
Para ibu juga dapat mengumpulkan cucian pakaian pada kapasitas maksimal dan mengeringkan di bawah terik matahari tropis. Redefining Progress mencatat pengeringan pakaian dengan dijemur menghemat 3-4 kilo Watt hours (kWh) per load - sekitar 25 kilogram karbondiosida (CO2).
Ibu juga berkuasa dalam mengurangi limbah, dengan memilah sampah. Untuk sampah dapur, kaum ibu bisa menggali sepetak lahan atau menggunakan ember tak terpakai untuk menimbun sampah dapur dengan tanah hingga menjadi kompos. Sampah kertas dan plastik disisihkan untuk para pemulung, baru
sisanya masuk ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) kota. Dengan mengurangi sampah, jelas ini menurunkan pemakaian lahan TPS dan TPA, lebih sedikit energi untuk membakar sampah, dan mengurangi polusi udara.
Betapa ampuhnya perempuan sebagai agen perubahan yang ramah lingkungan, bukan? Namun banyak dari kita yang cenderung mengingkari hal-hal kecil yang kita lakukan dalam menghemat energi dan mengurangi emisi karbon karena tidak membuat perubahan besar, sebagaimana diakui kelompok Redefining Progress. Ini seperti sedikit-sedikit menjadi bukit. Small thing add up!

Dimuat di Majalah BIRU Voice Edisi April 2008 (dalam rangka hari Kartini)

No comments: