Friday, May 30, 2008

'Meruntuhkan' Sekat Perdata dan Pidana


Judul: Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan
Terhadap Perempuan.
Penulis: Sulistyowati Irianto dan Antonius Cahyadi
Penerbit: Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia dan Yayasan Obor, Maret 2008.
Tebal: 382 + xiii halaman.

Di 2007 Komisi Nasional (Komnas Perempuan) mencatat 34.665 kasus kekerasan
terhadap perempuan. Angka itu naik nyaris 65% dibanding 2006 yang tercatat
22.512 kasus kekerasan pada kaum hawa ini.
Ironisnya kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas
Perempuan sendiri hanya 4%. Sementara yang menerima laporan terbesar adalah
Pengadilan Agama, 41% dan disusul kepada organisasi kemasyarakatan sipil
33%, eumah sakit 14%, ruang pelayanan khusus (RPK) 7% dan pengadilan negeri
cuma 1%.
Dari 862 (4%) kasus yang dicabut, paling banyak, 50% dari RPK. Kalau
separoh kasus dicabut dari meja kepolisian, berapa kasus yang sampai
pengadilan, apalagi sampai putusan peradilan? Tak heran penulis menyatakan
kasus kekerasan perempuan masih berupa 'puncak gung es'.
Angka-angka menjadi fakta kuat untuk mendobrak kesadaran yang membuka Bab I
Menelusuri Akses Keadilan Perempuan Melalui "Ruang Negara".
Di bab ini pula diterangkan pendekatan studi Socio-Legal sebagai studi
hukum alternatif. Titik berangkatnya adalah penelitian yang berfokus pada
persoalan bagaimana akses perempuan kepada keadilan yang disediakan oleh
negara, ketika perempuan menjadi korban kekerasan (domestik dan publik.
Dari kurun waktu 1955-2003 (sebelum disahkannya Undang-undang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga/KDRT), terdapat 40 putusan Mahkamah Agung (MA) yang
diindikasi terdapat kasus kekerasan terhadap kaum hawa.
Empat kasus yang diputuskan di 1984, sebelum Indonesia meratifikasi
Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW), dua "tidak berpihak" dan dua kasus "bersahabat" pada perempuan.
Sedang empat kasus yang diputus setelah 1984, hasilnya sama, dua merugikan
dan dua menguntungkan perempuan.
"Dalam hal ini dapat ditunjukkan sebenarnya hampir tidak ada signifikansi
dari ratifikasi terhadap konvensi CEDAW dengan akses keadilan bagi
perempuan," kata penulis.
Pada Bab II, penulis fokus pada perempuan dan 40 putusan MA tersebut.
Penulis mengangkat 10 kasus lengkap dengan deskripsi kasus, penuturan para
saksi, pertimbangan pengadilan, dan kesimpulan.
"Sepuluh Putusan MA yang dideskripsikan di atas merupakan rekaman tentang
pengalaman perempuan yang mencari keadilan di dalam hidupnya. Keadilan yang
dicarinya di ruang sidang, bukan hanya keadilan yang berkaitan langsung
dengan kasus tentang diri keperempuannya. Dalam hal ini perempuan mencari
keadilan yang lebih luas lagi," jelas penulis.
Pada Bab III para peneliti mencoba menghidupkan kembali ruang sidang dengan
alur berkisah yang mengungkap desah aduh korban yang berakhir menjadi
teriakan kesakitan di pengadilan.
Saking seragamnya perlakuan di ruang sidang, seorang korban berkata,
"Sekarang kalo ke pengadilan kayak ke Puskesmas, semua sama obatnya. Jadi
semua sama, mau kasusnya beda, mau konfliknya beda, pemecahannya sama,"
Ini tak berlebihan. Peneliti menemukan bentuk kekerasan yang paling
mendasar dilakukan MA terhadap perempuan, yang sebenarnya tertanam dalam
struktur sistem peradilan.
"Kekerasan yang dialami perempuan, bahkan kekerasan fisik yang serius,
tersembunyi dalam kotak-kotak dikotomis kewenangan pengadilan. Hakim
perdata, hanya terbatas untuk mengadili perdatanya. Dengan demikian,
kekerasan terhadap perempuan tersembunyi menjadi tindak kriminal yang tidak
dihukum," tegas penulis.
Lebih lanjut penulis menggarisbawahi dalam kasus perceraian (perdata)
ditemukan kasus-kasus kekerasan fisik. Sebaliknya dalam kasus pidana yang
dihadapi perempuan, dapat ditemukan kebutuhan untuk menyelesaikan kasus
secara perdata. Terlebih lagi tuntutan ganti rugi imateriil yang
dikonversikan dalam bentuk materi (uang) hanya mungkin dilakukan dalam
domain peradilan perdata.
"Untuk menghadapi kasus kekerasan yang dialami perempuan, terutama dalam
lingkup domestik atau keluarga, tidak bisa digunakan lagi dikotomi antara
peradilan pidana dan peradilan perdata, bahkan agama yang kemudian
dikelompokkan dalam wilayah peradilan perdata," tegas penulis.
Karenanya buku ini lebih tepat diberi judul 'Meruntuhkan' sekat perdata dan
pidana. Ini merupakan suatu kata kerja, butuh tindakan aktif untuk
memperjuangkannya.

No comments: