Friday, May 30, 2008

Mengkritisi Kebijakan Transportasi Gubernur DKI Jaya

Belum lama ini Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (DKI Jaya)
terpilih, Fauzi Bowo mengungkapkan janjinya membangun tol dalam kota
sebagai terobosan mengatasi kemacetan Jakarta.
Sekilas ungkapan ini tampaknya menjanjikan untuk jalan keluar dari
kemacetan yang makin menggila. Namun memahami pertumbuhan kendaraan yang
mengikuti deret ukur (?) sementara pertumbuhan jalan cuma mengikuti deret
hitung (?), jelas bakal tidak imbang. Seberapa pun banyak jalan dibangun,
ujungnya kemacetan akan kembali muncul dalam beberapa waktu kemudian.

Krisis Minyak
Belum lagi kalau memperhatikan harga minyak mentah yang awal November sudah
tembus US$ 95 per barel. Meski harga bahan bakar minyak (BBM) untuk
transportasi masih disubsidi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), sepatutnya pemimpin pemerintahan memiliki visi penghematan bahan
bakar fosil yang makin langka ini.
Kebijakan menambah ruas jalan secara tidak langsung mendorong pertumbuhan
mobil yang notabene membutuhkan BBM. Bukan berarti pemerintah tidak
bertanggung jawab meningkatkan infrastruktur, namun ada banyak pilihan
cerdas bisa menjadi terobosan selain menambah ruas jalan tol dalam kota.

Transportasi Massal
Negara-negara yang peka akan krisis energi dan perubahan iklim yang
diakibatkannya,berupaya keras mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke
kendaraan umum. Tak ayal transportasi publik yang aman dan nyaman menjadi
keharusan.
Kenapa pengguna mobil pribadi tak gampang beralih ke Trans Jakarta
misalnya? Masalahnya mereka tak sekedar butuh bergerak dari satu tempat ke
tempat lain dengan cepat, tapi juga dengan mudah, aman dan nyaman tanpa
tergenjet-genjet. Apalagi tidak adanya car port dan feeder yang memadai.
Untuk kota metropolitan, jelas tak bisa lagi mengandalkan bus kota dan
sejenisnya. Bagi kota sebesar Jakarta, jelas harus ada transportasi cepat
yang massal (mass rapid transportation/MRT).

KRL Terintegrasi
Sementara monorail baru muncul tiang-tiangnya di ibukota tercinta, pilihan
MRT bisa jatuh pada kereta api listrik (KRL).
Pihak DKI Jaya bisa melobi PT KA (Persero) untuk membuat tiket terusan
macam Trans Jakarta, misalnya dari Bogor ke Sudirman, turun di Stasiun
Manggarai langsung pindah jalur ke arah Sudirman. Jadi tidak perlu keluar
untuk beli tiket di stasiun junction.
Intinya pemerintah bisa mendorong lebih banyak pengguna KRL sebagai
alternatif MRT.
Lebih jauh pihak DKI bisa mendorong PT KA untuk menindaklanjuti pemisahan
(spin off) Daerah Operasi Jakarta menjadi anak perusahaan tersendiri.
Dengan demikian Pihak DKI dapat ikut andil mempercepat pembangunan rel
ganda dan jalur layang KA yang lebih menyeluruh di Jakarta, sembari menanti
monorail.
Termasuk segera mewujudkan KA Bandara, mengingat kemacetan Tol Dr.Wiyoto
yang makin parah. Sebagai bandara internasional, Bandara Soekarno-Hatta
sepatutnya terhubung dengan MRT.
Pendek kata Pemda DKI harus mendorong pengurangan pemakaian BBM secara
lebih efektif, dengan MRT. Isu energi dan lingkungan sepatutnya mengedepan
dalam setiap penerapan kebijakan transportasi kota.

Jakarta, 2 November 2007

No comments: