Friday, October 17, 2008

Sorgum, Bahan Baku Alternatif Bioetanol

Nama sorgum kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat saat ini, namun petani di Jawa telah mengenalnya sebagai jagung cantel (centel) yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman pangan lain. Bahkan, di sebagian daerah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sorgum menjadi salah satu bahan pangan dengan kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin B1 yang lebih tinggi daripada beras.
Selain bahan pangan dan pakan ternak, biji sorgum juga bisa menjadi bahan baku industri, bahkan Amerika Serikat, India, dan China telah memanfaatkannya sebagai bahan baku bioetanol.
Ternyata, sejak awal tahun 2000-an Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi–Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR–BATAN) sudah melakukan penelitian perbaikan varietas dengan memperbaiki sifat agronomi dan kualitas biji dan hijauan sorgum. Induksi mutan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dilakukan dengan meradiasi benih (seed) atau embrio (plantlet) dengan sinar Gamma bersumber dari Cobalt-60.
Galur mutan unggul diuji daya hasilnya pada daerah kering seperti di Kabupaten Gunung Kidul pada musim kemarau. Sejumlah galur mutan tanaman sorgum dengan sifat-sifat agronomi unggul—seperti tanah rebah, genjah, produksi tinggi, kualitas biji baik dan lebih tanah terhadap kekeringan—telah dihasilkan dan dikoreksi sebagai plasma nutfah di PATIR-BATAN.

Keunggulan Sorgum
Sebagai bahan baku bioetanol, Soeranto dari PATIR-BATAN menyatakan sorgum dapat berkompetisi dengan molases tebu karena banyak kelebihannya. Tanaman sorgum memiliki produksi biji dan biomasa yang jauh lebih tinggi dibanding tebu; adaptasi tanaman sorgum jauh lebih luas dibanding tebu sehingga sorgum dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, baik lahan subur maupun lahan marjinal; sorgum memiliki sifat lebih tahan terhadap kekeringan, salinitas tinggi dan genangan air (water lodging); sorgum memerlukan pupuk relatif lebih sedikit dan pemeliharaannya lebih mudah daripada tebu; laju pertumbuh-an tanaman sorgum jauh lebih cepat, umurnya hanya empat bulan dibanding tebu tujuh bulan; kebutuhan benih sorgum hanya 4,5-5 kilogram per hektare dibanding tebu 4.500-6.000 stek batang per hektare; lagipula sorgum dapat diratun sehingga sekali tanam dapat dipanen beberapa kali.
Sementara itu, clearing house energi terbarukan dan konservasi energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) dalam situsnya menyebutkan perolehan alkohol dari sorgum mencapai 6.000 liter per hektare per tahun (dua kali panen) dibanding singkong yang 4.500 liter per hektare per tahun dan tebu 5.025 hektare per tahun. Sorgum sedikit kalah dengan ubi jalar (2,5 kali panen per tahun) yang menghasilkan 7.812 liter per hektare per tahun.

Peluang
Dengan keluarnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, prospek industri bioetanol di Tanah Air makin cerah.
Pasal 3 Ayat (1) Untuk meningkatkan pemanfaatan Bahan Bakar Lain dalam rangka ketahanan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak dan Pengguna Langsung Bahan Bakar Minyak, wajib menggunakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain secara bertahap.
Pasal 4 badan usaha pemegang lzin usaha niaga bahan bakar minyak dan pengguna langsung bahan bakar minyak dalam menggunakan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 3 wajib memanfaatkan dan mengutamakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dari produksi dalam negeri.
Pasal 6 .... badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan insentif baik fiskal dan/atau non-fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan kuota premium (bersubsidi) 19,44 juta kiloliter (kl) di tahun 2009, untuk memenuhi satu persen bioetanol (E100) di Januari 2009 saja, berarti dibutuhkan produksi bioetanol hingga 190.000 kl. Ini belum termasuk untuk sektor transportasi non-PSO (public service obligation) serta sektor industri dan komersial yang di tahun 2009 diwajibkan lima persen menggunakan bioetanol (E100).
Di tahun 2010, kewajiban untuk transportasi PSO akan naik menjadi tiga persen, sementara untuk sektor transportasi non-PSO serta sektor industri dan komersial yang di tahun 2009 diwajibkan tujuh persen menggunakan bioetanol (E100). Ini akan terus meningkat hingga mencapai sasaran di 2025 diwajibkan 15 persen penggunaan bioetanol (E100).

Kebutuhan Lahan
Bioetanol yang berbahan baku molases relatif hanya bisa dikembangkan di Pulau Jawa, sebagaian Sumatera dan Sulawesi yang memiliki lahan perkebunan tebu dan pabrik gula. Bioetanol berbahan baku singkong masih terbatas di beberapa provinsi saja.
Dengan keunggulan sorgum yang dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, terbuka kemungkinan memproduksi bioetanol di provinsi yang tanahnya kering dan marjinal, seperti di Indonesia bagian timur. Sorgum dapat sekaligus meningkatkan ketahanan energi dan pangan di provinsi yang tanahnya kering dan marjinal tersebut. Inilah saatnya daerah tersebut melirik sorgum sebagai bahan baku alternatif bioetanol.

Sekolah Gratis Baru Sebatas Mimpi

Sekolah Dasar Negeri (SDN) terutama yang menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pemerintah pusat dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari pemerintah lokal, wajib menerapkan sekolah gratis demi suksesnya wajib belajar. Kendati demikian, ini tidak berarti tidak ada pungutan sama sekali di sekolah.
Memang tidak ada Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan alias SPP. Namun bersama Komite Sekolah, kepala sekolah dapat menarik uang sumbangan baik tahunan maupun bulanan. Seperti yang pernah penulis alami sebagai orangtua asuh, tahun pertama sumbangan tahunan sebesar Rp 175.000, belum termasuk sumbangan bulanan. Untuk ayah si anak yang upah minimum provinsi (UMP)-nya kurang dari Rp 1 juta, itu sudah 20 persen gaji. Padahal ia memiliki tiga anak usia sekolah. Jadi tidak terbayangkan betapa beratnya beban sang ayah di awal tahun ajaran baru.
Selain sumbangan komite tahunan dan bulanan, saban bulan SDN kawasan Kramat, Jakarta Timur itu juga menarik uang kebersihan. Ada pula pembelian buku melalui guru. Seorang petugas bagian pemasaran buku bahkan mengaku membelikan jam tangan mahal dan mentransfer uang kepada guru agar proyek penjualan bukunya berhasil. Buku itu berupa latihan soal untuk Ujian Akhir Nasional (UAN).
Beberapa waktu lalu menjelang UAN, kepala sekolah (kepsek) menjelaskan bahwa pengadaan buku sekolah itu karena ada kekhawatiran siswa tidak lulus dan adanya sistem komputerisasi. Maka akhirnya penulis setuju membayar Rp 85.000 melalui sang guru, di hadapan kepsek. Tetapi ketika penulis meminta tanda terima, kepsek menolak. Ia menegaskan bahwa sekolah tidak menjual buku, namun hanya membantu siswa.
Yang lebih mengejutkan adalah les bulanan mulai Januari 2008 yang dimulai pukul 06.30. Alasannya, untuk mempersiapkan siswa menghadapi UAN, dan guru meminta Rp 30.000 per bulan sebagai uang lelah berangkat ke sekolah lebih pagi. Namun kepada penulis, guru menjelaskan bahwa pihaknya tidak meminta bayaran, tetapi menerima kalau ada orangtua murid yang memberi uang. Soal besarnya uang les terserah pada orangtua murid, tetapi tetap tanpa tanda terima.
Sementara itu menjelang ujian lokal sekolah, ada pungutan study tour ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Museum Satria Mandala dan Planetarium, sebesar Rp 55.000. Setelah UAN usai, sekolah mengadakan darma wisata dengan biaya Rp 140.000. Menurut kepala sekolah, darma wisata itu sebagai bentuk perpisahan. ”Karena sudah tradisi, jadi biasa,” katanya.
Terbayang pikiran orangtua asuh sibuk mencarikan sekolah lanjutan, pihak SD justru sibuk dengan perpisahan yang menghamburkan uang dan nyaris tidak ada manfaatnya. Itu merupakan sebagian kecil pengalaman nyata sebagai orangtua asuh, bahwa sekolah gratis di sekolah negeri ini baru sebatas mimpi.

Tuesday, October 14, 2008

Menyelamatkan Pelindung Bumi

ADAKAH kehidupan lain di luar bumi? Demi menjawab pertanyaan ini, berbagai misi dan wahana luar angkasa telah bertolak meninggalkan bumi. Terakhir berupa temuan es di kutub Planet Mars yang mengasumsikan adanya air, namun toh belum bisa memastikan adanya kehidupan di planet dewa perang itu.
Planet bumi yang relatif mungil dibanding ukuran tata surya dan berbagai galaksi lainnya, toh punya kedudukan demikian istimewa di jagat raya ini. Sejauh pengetahuan kita saat ini, bumi dengan segala keunikannya masih merupakan anugerah tak terhingga yang memungkinkan terselenggaranya kehidupan. Bumi masih menjadi satu-satunya tempat tinggal mahluk hidup di alam semesta yang luas ini.
Salah satu keunikan itu, bumi memiliki lapisan ozon (03, tri oksigen). Lapisan ozon inilah yang menjadi pelindung bumi dari sinar ultra-violet (UV) yang membahayakan. Sudah bukan rahasia lagi kalau lapisan pelindung bumi ini berlubang. Tepat ketika warga dunia memperingati Hari Ozon Internasional yang jatuh pada tanggal 16 September, Badan Meteorologi Dunia (WMO) memberi kejutan. Bukan sembarang kejutan, melainkan dengan pernyataan bahwa ukuran lubang ozon di Antartika telah lebih besar ketimbang ukuran maksimumnya di tahun 2007 seperti dikutip kantor berita Xinhua.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu mengungkapkan dalam beberapa pekan, lubang ozon telah berkembang dengan pesat dan kini melampaui ukuran maksimum yang dicapai tahun lalu. WMO menyebutkan lubang ozon mencakup 27 juta kilometer persegi. Maksimum yang dicapai 2007 adalah 25 kilometer persegi.
Tahun 2008 ini lubang ozon akan terus berkembang hingga mencapai ukuran maksimum baru. Lubang ozon Antartika telah dipantau sejak era 1980-an. Biasanya lubang itu terbentuk di Agustus, hingga mencapai ukuran maksimumnya pada akhir September atau awal Oktober sebelum kembali pulih utuh di pertengahan Desember.
Tentu ini mengejutkan. Pasalnya, para ilmuwan juga kian menekankan kemungkinan keterkaitan antara kerusakan bumi dan perubahan iklim dengan lubang ozon ini. Belum lagi berkembangnya kanker kulit dan sejumlah penyakit yang akan timbul akibat tekanan terhadap respons kekebalan yang disebabkan tingginya radiasi UV-B antara lain penyakit kulit, campak, chicken pox, herpes, malaria, leishamaniasis, TBC, kusta, dan infeksi jamur, seperti candidiasis.

Bahan Perusak
Memang lapisan ozon nun jauh berada di bawah stratosfer, antara 15-30 kilometer di atas permukaan bumi. Namun tidak berarti lapisan itu bebas dari dampak kegiatan manusia.
Adalah zat bernama kloroflorokarbon (CFC) buatan manusia yang meningkatkan kadar penipisan ozon. CFC ini digunakan masyarakat modern mulai dari lemari pendingin (kulkas), bahan dorong dalam penyembur, pembuatan busa dan bahan pelarut terutama di pabrik elektronika.
Setiap satu molekul CFC yang dibebaskan, molekul itu bisa bertahan 50-100 tahun dalam atmosfer sebelum dihapuskan. Dalam waktu kira-kira lima tahun, CFC bergerak naik dengan perlahan ke stratosfer (10 – 50 kilometer dari permukaan bumi). Di atas lapisan ozon utama, pada ketinggian 20– 25 kilometer, kurang sinar UV diserap ozon. Molekul CFC terurai setelah bercampur dengan UV, dan membebaskan atom klorin. Nah atom klorin inilah yang berupaya memusnahkan ozon dan menghasilkan lubang ozon tadi.
Masyarakat dunia telah menyepakati Protokol Montreal untuk mengurangi penggunaan Bahan Perusak Ozon (BPO) sampai lebih dari 95 persen, guna melindungi lapisan ozon untuk generasi sekarang dan masa depan. Caranya dengan tidak menggunakan barang atau produk yang masih menggunakan BPO. Misalnya kalau membeli kulkas, pendingin udara (AC), pastikan produk itu tidak mengandung CFC. Atau produk kosmetik dengan semprotan (spray), jangan beli yang aerosol mengandung CFC.
Pengurangan BPO juga bisa dicapai dengan mengurangi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang sangat besar. Sebagaimana kita ketahui GRK salah satunya diproduksi kendaraan bermotor, maka dengan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor kita ikut membantu menyelamatkan pelindung bumi kita yang satu ini.

Sunday, October 5, 2008

Kesenangan Sesaat

Suitan suara melesat diiringi dentum gelegar menyusul gemelitik pecah kerlap-kerlip warna terang mengembang. Keriuhan suara berpadu warna seakan berlomba mengalahkan jubah kelam yang datang selepas adzan Magrib.
Warna-warna cerah kembang api seolah mengambil alih bintang-gemintang di langit malam yang enggan keluar dari balik awan. Beradu dengan ledakan petasan membelah hingga lewat dini hari.
‘Membakar uang’ yang didapat dengan curahan keringat. Demi sebuah kesenangan sesaat, di tengah himpitan kesulitan sehari-hari yang menyesakkan. Mampukah men jadi penawar kegetiran hidup di tengah kejamnya ibu kota?
Jakarta, 30 September 2008
Malam Takbiran /span>

Mudik

Terlepas dari kesempatan, pulang kampung (mudik) bagiku bukan menjadi sebuah keharusan. Kucoba menelusuri ketidakterikatanku pada kampung halaman, yang kutemukan pada keenggannku menyerahkan independensi-ku. Pulang menjadikanku seperti anak-anak, yang tak henti dikhawatiri, tiada habis dinasihati, tidak lelah diceramahi. Jarak ‘menyelamatkanku’ dari semua itu. Maka aku ‘berlindung’ pada jarak dan menjaga jarak nyaris dengan seluruh keluarga besarku. Sebaliknya aku memelihara kehangatan dan kedekatan justru dengan orang yang bukan saudara sekandung yang memiliki kesamaan pemikiran dan orientasi hidup. Sebuah keanehan bagi kebanyakan orang, khususnya di Asia ini.
Jakarta, 1 Oktober 2008
Lebaran hari pertama

Charity, Not Structural

Bulan puasa, bulan berkah, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Tak heran, banyak orang mendadak menjadi murah hati atau yang biasanya dermawan menjadi lebih ‘royal.’ Malangnya di tengah kesulitan hidup yang kian menghimpit, zakat Rp 20.000 pun diperebutkan yang berakibat 21 nyawa melayang di Pasuruan, Jawa Timur.
Terlepas dari pro-kontra prosedur, niat baik memang tidak lah cukup. Derma seberapa pun besarnya tidaklah mampu memanusiawikan manusia dan tidak berkesinambungan. Tiap hari mereka membutuhkan makan, tiap hari mereka memiliki berbagai kebutuhan. Tangan yang memberi tidak akan pernah mencukupi tangan yang ditadahkan. Lagi pula menjadi keniscayaan bagi manusia bekerja, ikut menjadi co-creator bagi dunia ini.
Lebih dari itu, derma tak mampu menyelesaikan masalah secara struktural. Tidak akan ada satu pun cara manusiawi yang berkesinambungan daripada sebuah sistem yang mampu menciptakan lapangan kerja berkeadilan bagi penghidupan yang layak. Sistem itu akan berbeda dari masa ke masa, efek berganda (multiplier effect) bisa menjadi salah satu penandanya: manakala semakin banyak diuntungkan oleh sebuah sistem, kian makmur rakyat dibuatnya. Struktural, ibarat sebuah lokomotif yang menyeret rangkaian besar gerbong yang menyertakan sebanyak mungkin rakyat di dalamnya, kembali secara manusiawi dan berkeadilan.
Tidak ada yang tertinggal, itu hanya utopia sebuah komunisme yang bisa semua sama rasa sama rata, menyalahi kodrat manusiawi. Pasti ada yang tidak mau ikut gerbong secara suka rela atau dipaksa keadaan untuk tidak ikut, atau sebuah sistem yang tidak memungkinkan dia ikut serta. Jelas ini jauh lebih tidak mudah daripada sekedar berderma, tapi akan berdampak jangka panjang dan terus-menerus.
Jakarta, awal September 2008