Bulan puasa, bulan berkah, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Tak heran, banyak orang mendadak menjadi murah hati atau yang biasanya dermawan menjadi lebih ‘royal.’ Malangnya di tengah kesulitan hidup yang kian menghimpit, zakat Rp 20.000 pun diperebutkan yang berakibat 21 nyawa melayang di Pasuruan, Jawa Timur.
Terlepas dari pro-kontra prosedur, niat baik memang tidak lah cukup. Derma seberapa pun besarnya tidaklah mampu memanusiawikan manusia dan tidak berkesinambungan. Tiap hari mereka membutuhkan makan, tiap hari mereka memiliki berbagai kebutuhan. Tangan yang memberi tidak akan pernah mencukupi tangan yang ditadahkan. Lagi pula menjadi keniscayaan bagi manusia bekerja, ikut menjadi co-creator bagi dunia ini.
Lebih dari itu, derma tak mampu menyelesaikan masalah secara struktural. Tidak akan ada satu pun cara manusiawi yang berkesinambungan daripada sebuah sistem yang mampu menciptakan lapangan kerja berkeadilan bagi penghidupan yang layak. Sistem itu akan berbeda dari masa ke masa, efek berganda (multiplier effect) bisa menjadi salah satu penandanya: manakala semakin banyak diuntungkan oleh sebuah sistem, kian makmur rakyat dibuatnya. Struktural, ibarat sebuah lokomotif yang menyeret rangkaian besar gerbong yang menyertakan sebanyak mungkin rakyat di dalamnya, kembali secara manusiawi dan berkeadilan.
Tidak ada yang tertinggal, itu hanya utopia sebuah komunisme yang bisa semua sama rasa sama rata, menyalahi kodrat manusiawi. Pasti ada yang tidak mau ikut gerbong secara suka rela atau dipaksa keadaan untuk tidak ikut, atau sebuah sistem yang tidak memungkinkan dia ikut serta. Jelas ini jauh lebih tidak mudah daripada sekedar berderma, tapi akan berdampak jangka panjang dan terus-menerus.
Jakarta, awal September 2008
Sunday, October 5, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment