Nama sorgum kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat saat ini, namun petani di Jawa telah mengenalnya sebagai jagung cantel (centel) yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman pangan lain. Bahkan, di sebagian daerah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sorgum menjadi salah satu bahan pangan dengan kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin B1 yang lebih tinggi daripada beras.
Selain bahan pangan dan pakan ternak, biji sorgum juga bisa menjadi bahan baku industri, bahkan Amerika Serikat, India, dan China telah memanfaatkannya sebagai bahan baku bioetanol.
Ternyata, sejak awal tahun 2000-an Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi–Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR–BATAN) sudah melakukan penelitian perbaikan varietas dengan memperbaiki sifat agronomi dan kualitas biji dan hijauan sorgum. Induksi mutan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dilakukan dengan meradiasi benih (seed) atau embrio (plantlet) dengan sinar Gamma bersumber dari Cobalt-60.
Galur mutan unggul diuji daya hasilnya pada daerah kering seperti di Kabupaten Gunung Kidul pada musim kemarau. Sejumlah galur mutan tanaman sorgum dengan sifat-sifat agronomi unggul—seperti tanah rebah, genjah, produksi tinggi, kualitas biji baik dan lebih tanah terhadap kekeringan—telah dihasilkan dan dikoreksi sebagai plasma nutfah di PATIR-BATAN.
Keunggulan Sorgum
Sebagai bahan baku bioetanol, Soeranto dari PATIR-BATAN menyatakan sorgum dapat berkompetisi dengan molases tebu karena banyak kelebihannya. Tanaman sorgum memiliki produksi biji dan biomasa yang jauh lebih tinggi dibanding tebu; adaptasi tanaman sorgum jauh lebih luas dibanding tebu sehingga sorgum dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, baik lahan subur maupun lahan marjinal; sorgum memiliki sifat lebih tahan terhadap kekeringan, salinitas tinggi dan genangan air (water lodging); sorgum memerlukan pupuk relatif lebih sedikit dan pemeliharaannya lebih mudah daripada tebu; laju pertumbuh-an tanaman sorgum jauh lebih cepat, umurnya hanya empat bulan dibanding tebu tujuh bulan; kebutuhan benih sorgum hanya 4,5-5 kilogram per hektare dibanding tebu 4.500-6.000 stek batang per hektare; lagipula sorgum dapat diratun sehingga sekali tanam dapat dipanen beberapa kali.
Sementara itu, clearing house energi terbarukan dan konservasi energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) dalam situsnya menyebutkan perolehan alkohol dari sorgum mencapai 6.000 liter per hektare per tahun (dua kali panen) dibanding singkong yang 4.500 liter per hektare per tahun dan tebu 5.025 hektare per tahun. Sorgum sedikit kalah dengan ubi jalar (2,5 kali panen per tahun) yang menghasilkan 7.812 liter per hektare per tahun.
Peluang
Dengan keluarnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, prospek industri bioetanol di Tanah Air makin cerah.
Pasal 3 Ayat (1) Untuk meningkatkan pemanfaatan Bahan Bakar Lain dalam rangka ketahanan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak dan Pengguna Langsung Bahan Bakar Minyak, wajib menggunakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain secara bertahap.
Pasal 4 badan usaha pemegang lzin usaha niaga bahan bakar minyak dan pengguna langsung bahan bakar minyak dalam menggunakan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 3 wajib memanfaatkan dan mengutamakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dari produksi dalam negeri.
Pasal 6 .... badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan insentif baik fiskal dan/atau non-fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan kuota premium (bersubsidi) 19,44 juta kiloliter (kl) di tahun 2009, untuk memenuhi satu persen bioetanol (E100) di Januari 2009 saja, berarti dibutuhkan produksi bioetanol hingga 190.000 kl. Ini belum termasuk untuk sektor transportasi non-PSO (public service obligation) serta sektor industri dan komersial yang di tahun 2009 diwajibkan lima persen menggunakan bioetanol (E100).
Di tahun 2010, kewajiban untuk transportasi PSO akan naik menjadi tiga persen, sementara untuk sektor transportasi non-PSO serta sektor industri dan komersial yang di tahun 2009 diwajibkan tujuh persen menggunakan bioetanol (E100). Ini akan terus meningkat hingga mencapai sasaran di 2025 diwajibkan 15 persen penggunaan bioetanol (E100).
Kebutuhan Lahan
Bioetanol yang berbahan baku molases relatif hanya bisa dikembangkan di Pulau Jawa, sebagaian Sumatera dan Sulawesi yang memiliki lahan perkebunan tebu dan pabrik gula. Bioetanol berbahan baku singkong masih terbatas di beberapa provinsi saja.
Dengan keunggulan sorgum yang dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, terbuka kemungkinan memproduksi bioetanol di provinsi yang tanahnya kering dan marjinal, seperti di Indonesia bagian timur. Sorgum dapat sekaligus meningkatkan ketahanan energi dan pangan di provinsi yang tanahnya kering dan marjinal tersebut. Inilah saatnya daerah tersebut melirik sorgum sebagai bahan baku alternatif bioetanol.
Friday, October 17, 2008
Sorgum, Bahan Baku Alternatif Bioetanol
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Untuk sampai di sana, wah kerja ekstra keras mesti dilakukan. Oleh siapa?
Post a Comment