Akhir pekan ini kuliah semester kedua akan dimulai. Hampir dua bulan libur, termasuk aku 'meliburkan diri' dua minggu liputan UNFCCC di Bali awal Desember lalu.
Baru kali ini aku rindu kembali ke kampus dan betul-betul menikmati suasana kuliah yang seperti baru kemarin.
Bukan sekedar belajar-mengajarnya, tapi suasana kelas serta keakraban dan pertemanan yang relatif egaliter di antara 37 siswa ENEMBA Sampoerna-ITB SBM.
Meski kami memiliki senior dan pakar di bidang energi 50-an tahun ke atas, kelas kami bisa geer, bahkan membuatku tertawa lepas terbahak-bahak membahagiakan. Namun juga perdebatan sengit kelas dan 'ruang sindikat' (kelompok maksudnya, bukan mafia) yang produktif dan dewasa. Bukan perkuliahan gaya kuno satu arah, kendati itu tetap ada.
Lebih dari itu kelas kami solider dan sangat cepat tanggap. Terlihat ketika ada usul memberi tambahan THR bagi dua office-boy (OB), tampaknya strata paling bawah yang 'bersentuhan' langsung dengan kelas kami. Tanpa banyak cingcong segera terkumpul Rp 2,4 juta. Sebuah jumlah yang signifikan yang menunjukkan 'ringan hati' kelas kami.
Meski sebagian besar siswa ENEMBA bermobil - sebagaimana kelas master eksekutif negeri ini - jarang yang menampakkan kesan wah. Malah kerap ada nada prihatin terhadap pengendara motor dengan kaki kecil (bocah) yang 'terselip' di tengan orangtuanya. Sebuah kematangan hasil jerih payah meniti karir, bukan gaya OKB (orang kaya baru).
Ini yang membedakan dengan ketika S1 dulu. Di Sosiologi UNAIR dulu egaliter, tapi 'lompat kelas' dan 'menyeberang kuliah' ke program studi Politik dan Psikologi seakan 'menjauhkan' aku dari angkatan-ku. Tak kurasakan 'kedalaman' suasana akrab yang membuat hati merasa nyaman di antara mereka.
Oh ada lagi 'rahasia' bikin kangen kuliah. Makan bersama. Memang benar 'cinta' dari mata turun ke 'perut' (salah ya? :) Walau kadang ngomel menu itu-itu, tapi mangan-ora-mangan sing penting kumpul :D Belum lagi kalo 'penggila kuliner' beraksi, berburu makanan sampai 'berani mati' nyebrang tidak di jembatan.
Ada romansa (kuliah) tersendiri. Ini seakan menebus S1 dulu yang kuliah sambil ugal-ugalan ikut aksi-aksi juga. Jadi tidak sekedar S-nya nambah, tapi ada berbaikan kualitas dan kuantitas. Yang pasti aku merasakan di ENEMBA, gak ada loe gak rame :p
Bravo pioneer ENEMBA !
Jakarta, 1 Februari 2008
Thursday, January 31, 2008
Wednesday, January 30, 2008
Ziarah Sawer Rahmat
Ketika tulisan Tangerang-Cirebon-Kuningan di kaca bus terbaca, dari
kejauhan sudah kuhentikan kendaraan bercat hijau pupus itu. Ternyata sebuah
bus boemel alias ekonomi, Lur Agung. Kepalang tanggung aku 'nyengklak' aja.
DVD player tengah memutar pop dangdut dengan nada monoton yang kubenci itu.
Tak ayal kupilih di tengah, toh berisiknya nyampai juga. Coba kutepis
dengan kekehan gara-gara kepala krupuk Akiong di Laskar Pelangi. Tidak
manjur. Suara ritmis yang monoton itu tetap masuk gendang telinga bak mata
bor. Ya inilah 'bis rakyat' lengkap dengan asap rokok yang juga kubenci dan
sulit kukompromi, sebuah 'paksaan' resolusi tahun baru.
Magrib bus masih 'ugal-ugalan' di jalan raya pos yang dibangun Tuan
Deandles. Gelap lewat Isya baru masuk Terminal Cirebon. Kurang dari sejam
kemudian, kondektur memberitahuku untuk turun, setelah Cirendang, Terminal
Kuningan.
Dengan minta ongkos 20 perak (tanpa kutawar), ojek membawaku ke jalanan
sepi nan menanjak di kanan (barat jalan) menembus gulita di bawah rinai
gerimis. Aih, aku lupa makan :(
Usai melewati jalanan dengan oncor bambu sekitar Cigugur, jalanan kian
terjal berbalut jubah kabut malam.
Ojek menurunkanku di mulut gang dengan papan petunjuk berbunyi "Gua Maria
Fatimah Sawer Rahmat, Cisantana". Demi membaca tulisan itu, dengan semangat
'45 langsung kutapaki gang sepi, lupa perut lapar.
Lewat lolongan anjing memecah malam, setelah rumah kurang dari jari satu
tangan, jalan setapak beraspal itu gulita. HP pun jadi senter darurat. Aih
di kiri-kanan kuburan. Tapi begitu melihat badan bernyala serangga yang
kucinta, kunang-kunang, ada perasaan tenang menyelimuti kalbu.
Hingga akhir kompleks pekuburan yang ditembok tak kutemukan lagi petunjuk
gua.Aih hilang arah, sementara kabut rinai gerimis kian tebal.
Masih kuikuti jalan setapak, eh malah berakhir di jalanan besar beraspal.
Beberapa remaja boncengan motor menawari tumpangan. Aku terlalu jaim untuk
'cenglu' sehingga kutampik halus dengan berjalan menyusuri gelap malam
berkabut.
Sebuah warung di pinggir jalan dengan mini dispenser melepas dahagaku dan
dingin embun malam dengan segelas teh tubruk. Sebagaimana orang kampung,
dengan hati terbuka, Teteh warung itu menawarkan keponakannya memboncengku
ke gereja tempat berlangsungnya misa.
Aih ternyata arah gereja berlawanan dengan gang menuju gua. Jalan menurun
di kanan itu pun nyaris di ujung aspal kanan lagi, menjorok terjal ke
bawah. Sempat terbaca rumah di kanan jalan masuk, "Susteran Ursulin".
Turun di halaman TK-SD Yos Sudarso, bocah SMP itu memandangi 10 perak
dariku dengan pandangan sungkan khas orang desa lama yang kukenal. Lalu
kutapaki jalanan semen menurun.
Di pintu gereja Stasi Maria Putri Murni, janur melengkung melambai-lambai
ramah seolah menyambutku. Demi memandang resiknya, kulepas sandal jepit
bututku bak masuk langgar.
Kuhampiri salib legam di sisi, sebuah peninggalan Gereja teraniaya yang tak
pernah mati.
Di muka altar dengan sesembahan hasil bumi lengkap dengan padi di dalam
antan kayu, kuberlutut dengan hati pedih. Betapa sebagian petani Jawa telah
kehilangan panen hasil buminya diterjang banjir akhir tahun ini. Lupa minta
'suami Dasa Dharma Pramuka' aku malah mendoakan korban banjir ini.
Penjaga gereja menawari masih ada kamar di bawah, di belakang gereja, di
samping Kompleks Asrama Putri Murni. Khas asrama, 4 tempat tidur susun
berjajar sepasang-sepasang.
Demi melihat kasur, dentang sisa nada monoton - yang memicu migrain-ku -
menuntut direbahkan. Usai seka badan, gerimis turun lagi. Kupilih
memejamkan mata barang sejam, alarm kupasang pk.23.30 Belum lagi alarm
bunyi, curahan air langit bak mau dihabiskan pada penutupan tahun 2007.
Jadilah aku tak beranjak, seperti orang-orang sederhana melewatkan malam
pergantian tahun layaknya malam biasa.
1 Januari 2008
Genta gereja sudah berdentang-dentang pk.5.30. Seingatku penjaga mengatakan
misa pukul 7.
Rinai gerimis turun lagi, meringkuklah aku menjadi musuh dalam selimut.
Sejam kemudian buru-buru keramas dan mengguyur air sedingin es tuk
membangunkanku.
Ternyata misa pukul 6, memang tak boleh terlalu khusuk aku. Usai memberikan
uang sumbangan kamar 50 perak - yang kata petugasnya berlebih - Mang Hamid
menawari ikut Keluarga Elis yang menyambut dengan terbuka di Ford
Everest-nya.
Kembali ke jalan aspal yang kususuri semalam, kali ini dengan arah
berlawanan. Ternyata jalan setapak menuju gua di belakang kuburan
bertembok, curam dan sempit, yang tak mungkin selamat kususuri dengan
senter HP.
Di tempat pertama yang disebut Taman Getsemani, gazebo tembok terbuka
beratap genteng tergeletak meja dengan buku cetakan jalan salib.
Bapak yang baru pasang 'ring' di jantungnya itu memintaku memimpin jalan
salib, sementara putranya Adi dan bungsu Amel serta ibunya mengikuti dalam
diam.
Dari sini takik tangga terjal mendaki, kerap licin berlumpur dan berlumut.
Ini macam trek pendakian untuk pemula, yang lumayan memompa darah ke
jantung dan mengembangkan paru-paru, melebihi jalan sehat maupun SKJ.
13 perhentian berpuncak di lahan relatif lapang pada ketinggian 900 meter
yang dinamakan Bukit Golgota, dengan Salib besar menyambut kita di mulut
tangga akhir. Perhentian ke-14 tersembunyi di atas mulut lorong air. Dari
sini jalan relatif datar, baru menanjak lagi dengan tangga menuju air
sumber di kiri gua. Desain gua mirip Sendangsono dengan batu sirap, versi
yang lebih mini.
Ketika aku berdoa di bawah kabut dan gerimis, Keluarga Elis yang baru
kukenal itu tengah menanak nasi dengan dual magic jar, menggoreng ikan asin
di atas kompor gas portable, lengkap dengan secobek sambal mentah segar
menggiurkan. Suasananya persis seperti naik gunung, penuh persaudaraan
kendati tak saling kenal. Mereka pun mengajak makan bersama. Turun bersama,
bahkan mengantarku sampai Terminal Cirendang meski mereka bertujuan
ke Ciamis di arah sebaliknya.
Benar-benar sawer rahmat: berkah persaudaraan, keterbukaan, kebaikan tulus
mengawali tahun baru. Semoga limpahan rahmat ini mampu kuteruskan ke lebih
banyak orang. Bukankah syukur terbaik adalah meneruskan kepada orang lain?
kejauhan sudah kuhentikan kendaraan bercat hijau pupus itu. Ternyata sebuah
bus boemel alias ekonomi, Lur Agung. Kepalang tanggung aku 'nyengklak' aja.
DVD player tengah memutar pop dangdut dengan nada monoton yang kubenci itu.
Tak ayal kupilih di tengah, toh berisiknya nyampai juga. Coba kutepis
dengan kekehan gara-gara kepala krupuk Akiong di Laskar Pelangi. Tidak
manjur. Suara ritmis yang monoton itu tetap masuk gendang telinga bak mata
bor. Ya inilah 'bis rakyat' lengkap dengan asap rokok yang juga kubenci dan
sulit kukompromi, sebuah 'paksaan' resolusi tahun baru.
Magrib bus masih 'ugal-ugalan' di jalan raya pos yang dibangun Tuan
Deandles. Gelap lewat Isya baru masuk Terminal Cirebon. Kurang dari sejam
kemudian, kondektur memberitahuku untuk turun, setelah Cirendang, Terminal
Kuningan.
Dengan minta ongkos 20 perak (tanpa kutawar), ojek membawaku ke jalanan
sepi nan menanjak di kanan (barat jalan) menembus gulita di bawah rinai
gerimis. Aih, aku lupa makan :(
Usai melewati jalanan dengan oncor bambu sekitar Cigugur, jalanan kian
terjal berbalut jubah kabut malam.
Ojek menurunkanku di mulut gang dengan papan petunjuk berbunyi "Gua Maria
Fatimah Sawer Rahmat, Cisantana". Demi membaca tulisan itu, dengan semangat
'45 langsung kutapaki gang sepi, lupa perut lapar.
Lewat lolongan anjing memecah malam, setelah rumah kurang dari jari satu
tangan, jalan setapak beraspal itu gulita. HP pun jadi senter darurat. Aih
di kiri-kanan kuburan. Tapi begitu melihat badan bernyala serangga yang
kucinta, kunang-kunang, ada perasaan tenang menyelimuti kalbu.
Hingga akhir kompleks pekuburan yang ditembok tak kutemukan lagi petunjuk
gua.Aih hilang arah, sementara kabut rinai gerimis kian tebal.
Masih kuikuti jalan setapak, eh malah berakhir di jalanan besar beraspal.
Beberapa remaja boncengan motor menawari tumpangan. Aku terlalu jaim untuk
'cenglu' sehingga kutampik halus dengan berjalan menyusuri gelap malam
berkabut.
Sebuah warung di pinggir jalan dengan mini dispenser melepas dahagaku dan
dingin embun malam dengan segelas teh tubruk. Sebagaimana orang kampung,
dengan hati terbuka, Teteh warung itu menawarkan keponakannya memboncengku
ke gereja tempat berlangsungnya misa.
Aih ternyata arah gereja berlawanan dengan gang menuju gua. Jalan menurun
di kanan itu pun nyaris di ujung aspal kanan lagi, menjorok terjal ke
bawah. Sempat terbaca rumah di kanan jalan masuk, "Susteran Ursulin".
Turun di halaman TK-SD Yos Sudarso, bocah SMP itu memandangi 10 perak
dariku dengan pandangan sungkan khas orang desa lama yang kukenal. Lalu
kutapaki jalanan semen menurun.
Di pintu gereja Stasi Maria Putri Murni, janur melengkung melambai-lambai
ramah seolah menyambutku. Demi memandang resiknya, kulepas sandal jepit
bututku bak masuk langgar.
Kuhampiri salib legam di sisi, sebuah peninggalan Gereja teraniaya yang tak
pernah mati.
Di muka altar dengan sesembahan hasil bumi lengkap dengan padi di dalam
antan kayu, kuberlutut dengan hati pedih. Betapa sebagian petani Jawa telah
kehilangan panen hasil buminya diterjang banjir akhir tahun ini. Lupa minta
'suami Dasa Dharma Pramuka' aku malah mendoakan korban banjir ini.
Penjaga gereja menawari masih ada kamar di bawah, di belakang gereja, di
samping Kompleks Asrama Putri Murni. Khas asrama, 4 tempat tidur susun
berjajar sepasang-sepasang.
Demi melihat kasur, dentang sisa nada monoton - yang memicu migrain-ku -
menuntut direbahkan. Usai seka badan, gerimis turun lagi. Kupilih
memejamkan mata barang sejam, alarm kupasang pk.23.30 Belum lagi alarm
bunyi, curahan air langit bak mau dihabiskan pada penutupan tahun 2007.
Jadilah aku tak beranjak, seperti orang-orang sederhana melewatkan malam
pergantian tahun layaknya malam biasa.
1 Januari 2008
Genta gereja sudah berdentang-dentang pk.5.30. Seingatku penjaga mengatakan
misa pukul 7.
Rinai gerimis turun lagi, meringkuklah aku menjadi musuh dalam selimut.
Sejam kemudian buru-buru keramas dan mengguyur air sedingin es tuk
membangunkanku.
Ternyata misa pukul 6, memang tak boleh terlalu khusuk aku. Usai memberikan
uang sumbangan kamar 50 perak - yang kata petugasnya berlebih - Mang Hamid
menawari ikut Keluarga Elis yang menyambut dengan terbuka di Ford
Everest-nya.
Kembali ke jalan aspal yang kususuri semalam, kali ini dengan arah
berlawanan. Ternyata jalan setapak menuju gua di belakang kuburan
bertembok, curam dan sempit, yang tak mungkin selamat kususuri dengan
senter HP.
Di tempat pertama yang disebut Taman Getsemani, gazebo tembok terbuka
beratap genteng tergeletak meja dengan buku cetakan jalan salib.
Bapak yang baru pasang 'ring' di jantungnya itu memintaku memimpin jalan
salib, sementara putranya Adi dan bungsu Amel serta ibunya mengikuti dalam
diam.
Dari sini takik tangga terjal mendaki, kerap licin berlumpur dan berlumut.
Ini macam trek pendakian untuk pemula, yang lumayan memompa darah ke
jantung dan mengembangkan paru-paru, melebihi jalan sehat maupun SKJ.
13 perhentian berpuncak di lahan relatif lapang pada ketinggian 900 meter
yang dinamakan Bukit Golgota, dengan Salib besar menyambut kita di mulut
tangga akhir. Perhentian ke-14 tersembunyi di atas mulut lorong air. Dari
sini jalan relatif datar, baru menanjak lagi dengan tangga menuju air
sumber di kiri gua. Desain gua mirip Sendangsono dengan batu sirap, versi
yang lebih mini.
Ketika aku berdoa di bawah kabut dan gerimis, Keluarga Elis yang baru
kukenal itu tengah menanak nasi dengan dual magic jar, menggoreng ikan asin
di atas kompor gas portable, lengkap dengan secobek sambal mentah segar
menggiurkan. Suasananya persis seperti naik gunung, penuh persaudaraan
kendati tak saling kenal. Mereka pun mengajak makan bersama. Turun bersama,
bahkan mengantarku sampai Terminal Cirendang meski mereka bertujuan
ke Ciamis di arah sebaliknya.
Benar-benar sawer rahmat: berkah persaudaraan, keterbukaan, kebaikan tulus
mengawali tahun baru. Semoga limpahan rahmat ini mampu kuteruskan ke lebih
banyak orang. Bukankah syukur terbaik adalah meneruskan kepada orang lain?
Good Food
Makanan tak sekedar soal selera yang tak bisa diperdebatkan, tapi juga
masalah nostalgia dan berbagai 'taste' biologis yang menyertainya.
Trixie yang baru 1 tahun sudah bisa memilih menyukai vanila ketimbang
coklat, bertentangan dengan kesukaan maminya. Terlepas dari maminya merasa
itu komplementer alias saling melengkapi, tapi ada selera yang 'build in'
dari sononya di lidahnya.
Pembelajaran dan memori tentang makanan juga acapkali menjadi aneh.
Ketidaksukaanku pada makanan bersantan, kadang terpatahkan ketika kangen
pada lontong sayur yang suka Papa belikan dari toko. Jelas ini bersantan.
Ya begitulah, selera makan kadang tak rasional dan lebih diperlukan
toleransi dari apapun. Masalahnya tak jarang melibatkan suatu 'fanatisme'
yang tak logis.
Jakarta, 13 Januari 2008
masalah nostalgia dan berbagai 'taste' biologis yang menyertainya.
Trixie yang baru 1 tahun sudah bisa memilih menyukai vanila ketimbang
coklat, bertentangan dengan kesukaan maminya. Terlepas dari maminya merasa
itu komplementer alias saling melengkapi, tapi ada selera yang 'build in'
dari sononya di lidahnya.
Pembelajaran dan memori tentang makanan juga acapkali menjadi aneh.
Ketidaksukaanku pada makanan bersantan, kadang terpatahkan ketika kangen
pada lontong sayur yang suka Papa belikan dari toko. Jelas ini bersantan.
Ya begitulah, selera makan kadang tak rasional dan lebih diperlukan
toleransi dari apapun. Masalahnya tak jarang melibatkan suatu 'fanatisme'
yang tak logis.
Jakarta, 13 Januari 2008
Syukur
Di usia ini aku merasakan sebuah 'kepenuhan' hidup. Meski belum merasa
optimal, namun aku bekerja pada lingkungan baik dan suasana kekeluargaan,
not for living but for life. Tidak berlebihan, namun tidak berkekurangan,
nyaman dengan hidup sehat sederhana.
Apalagi tahun kemarin aku mulai kembali ke bangku sekolah, dengan kolega
kaum eksekutif yang matang dalam hal intelektual dan kebesaran hati dengan
suasana akrab yang baru pertama kali membuatku kangen kuliah.
Terlebih aku memiliki banyak sahabat dan lingkungan (terutama MADHA) yang
sangat mendukungku untuk lebih maju dan berkembang dalam aspek mental,
emosional dan spiritual. Mereka memberiku 'legacy' tak ternilai, yakni
kualitas positif, semangat, penyemangat, nilai dan dampak positif yang
menjadi landasan kehidupan seterusnya yang lebih baik (Kutipan dari Eileen
Rachman & S.Savitri, EXPERD).
Tiada kata lain, selain kubersyukur atas seluruh anugerah yang terindah
ini, para sahabatku.
Semoga kubisa menggenapi syukurku dengan meneruskannya pada orang lain,
menggetarkan kehidupan yang lain pada vibrasi yang lebih tinggi.
Satu hal yang belum kugenapi adalah soulmate. Kuyakini satu soulmate telah
kutemui dengan menguji kesabaranku dan kematangan roh-ku. Semoga masih ada
soulmate lain yang kami akan dipertemukan. Doakan kami ya.
Everything that happens in this world happens at the time God chooses.
Terima kasih, sahabat.
Jakarta, 4 Februari 2008
optimal, namun aku bekerja pada lingkungan baik dan suasana kekeluargaan,
not for living but for life. Tidak berlebihan, namun tidak berkekurangan,
nyaman dengan hidup sehat sederhana.
Apalagi tahun kemarin aku mulai kembali ke bangku sekolah, dengan kolega
kaum eksekutif yang matang dalam hal intelektual dan kebesaran hati dengan
suasana akrab yang baru pertama kali membuatku kangen kuliah.
Terlebih aku memiliki banyak sahabat dan lingkungan (terutama MADHA) yang
sangat mendukungku untuk lebih maju dan berkembang dalam aspek mental,
emosional dan spiritual. Mereka memberiku 'legacy' tak ternilai, yakni
kualitas positif, semangat, penyemangat, nilai dan dampak positif yang
menjadi landasan kehidupan seterusnya yang lebih baik (Kutipan dari Eileen
Rachman & S.Savitri, EXPERD).
Tiada kata lain, selain kubersyukur atas seluruh anugerah yang terindah
ini, para sahabatku.
Semoga kubisa menggenapi syukurku dengan meneruskannya pada orang lain,
menggetarkan kehidupan yang lain pada vibrasi yang lebih tinggi.
Satu hal yang belum kugenapi adalah soulmate. Kuyakini satu soulmate telah
kutemui dengan menguji kesabaranku dan kematangan roh-ku. Semoga masih ada
soulmate lain yang kami akan dipertemukan. Doakan kami ya.
Everything that happens in this world happens at the time God chooses.
Terima kasih, sahabat.
Jakarta, 4 Februari 2008
Soeharto dan Kebijakan Anti-Tionghoa
Jakarta – Era kepemimpinan Soekarno, Tionghoa Indonesia menikmati kebijakan multiras yang mengayomi seluruh golongan dan bulan madu dengan penguasa. Bahkan salah satu orang terdekat Soekarno adalah Oei Tjoe Tat yang terakhir menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Dwikora.
Begitu presiden pertama republik tak berdaya, dengan surat sakti Supersemar Soeharto menjadi digdaya. Berbalik 180 derajat pula kebijakannya yang semula merangkul, menjadi memusuhi Tionghoa.
“Selaras dengan terjadinya Gerakan 30 September (G30S), dimulailah kampanye sinophopia atau anti-Tionghoa yang luas, disponsori kekuatan asing, terutama Inggris dan Amerika Serikat (AS). Di dalam negeri, Lembaga Pembinaan dan Kesatuan Bangsa (LPKB) menggunakan momen ini untuk menghantam Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki),” kata Benny G.Setiono, penulis buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik.
Ia mencatat dalam Bab 49 bukunya, 25 Maret 1966 pemerintah menutup perwakilan kantor berita Hsinhua (sekarang ditulis Xinhua) dan mencabut seluruh kartu pers wartawannya.
“Mereka membelokkan opini rakyat Indonesia dengan menyatakan musuh bangsa dan rakyat Indonesia yang sesungguhnya adalah China yang berasal dari utara, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dengan serentak semua media massa Indonesia - yang lolos screening Angkatan Darat dan diizinkan terbit kembali – melakukan propaganda anti-Tionghoa dan anti-RRT,” tambah Benny.
Lebih jauh ia menjelaskan pada masa Orde Lama, inflasi menggila, sehingga dengan mudah Orde Baru menimpakan semua kesalahan pada orang Tionghoa yang dicap sebagai Kolone Kelima, tukang timbun, dan tidak peduli kepentingan rakyat.
Maka meletuslah kerusuhan anti-Tionghoa yang diiringi penjarahan, perusakan bahkan pembakaran rumah, toko, sekolah, mobil dan segala yang berbau Tionghoa. Termasuk unjuk rasa dan penyerangan Konsulat RRT di Medan, Jakarta, dan Makassar.
Berbagai Larangan
Benny yang waktu itu mahasiswa Universitas Res Publica menyaksikan mulai April 1966 tindakan kesatuan-kesatuan aksi mendapat dukungan militer yang mengeluarkan perintah penutupan 629 sekolah-sekolah Tionghoa, sehingga 272.782 murid dan 6.478 gurunya terlantar.
Dengan Surat Keputusan 6 Juli 1966, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melarang murid eks sekolah Tionghoa ditampung di sekolah swasta nasional, sedang di sekolah negeri hanya dibatasi kurang dari lima persen saja.
Tidak itu saja, Benny menyebutkan tanggal 8 Mei 1966 Pangdam Aceh, Brigjen Ishak Djuarsa memerintahkan seluruh Tionghoa WNA meninggalkan Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Alhasil lebih dari 15.000 Tionghoa terpaksa angkat kaki dari Serambi Mekkah.
Sementara Pangdam Sriwijaya, Brigjen Makmun Murod mengizinkan Tionghoa WNA tinggal hanya di Pulau Bangka Belitung, kalau tidak mau, dipersilakan pulang ke RRT. Tanggal 20 Desember 1966 Brigjen Ryachudu mengusir ketua dan seluruh pengurus Chung Hua Kung Hui dari Kalimantan Barat. Sehari kemudian Walikota Makassar melarang Tionghoa WNA berdagang kebutuhan bahan pokok,
Benny menambahkan Juli 1966 Pangdam Brawijaya, Mayjen Soemitro melarang seluruh koran Tionghoa dan melarang penggunaan huruf dan bahasa China di muka umum, termasuk buku. Soemitro juga melarang Tionghoa WNA/stateless berdagang di kota, kecuali Surabaya; dilarang pindah domisili, dikenai pajak Rp 2.500 per jiwa dan menutup seluruh kelenteng di Jawa Timur dan Madura.
Bahkan 3 dan 21 Januari 1967 toko-toko Tionghoa WNA di luar Surabaya harus ditutup dan uang hasil penjualan barang dideposito dan dilaporkan ke panitia daerah. Dalam prakteknya, sumber SH mengalami tokonya diambil-alih tentara begitu saja, tanpa proses hukum apapun dan dibiarkan terlunta-lunta.
Kebijakan Resmi
Orde Baru menerapkan kebijakan melarang segala yang berbau Tionghoa, mulai dari yang paling ringan seperti ganti nama. Ini merupakan keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966.
Pengacara kenamaan Yap Thiam Hien mencatat tidak kurang dari 13 dokumen yang perlu diganti bersamaan dengan aturan ganti nama itu. Mulai dari Kartu Tanpa Penduduk, akta-akta, hingga berbagai rekening yang jelas memakan biaya tidak sedikit.
Seminar Kedua Angkatan Darat di Seskoad Bandung, 25-31 Agustus 1966 dipimpin Mayjen Suwarto memutuskan mengganti RRT menjadi RRC dan orang Tionghoa menjadi orang China. Keputusan ini dikukuhkan dengan Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.SE-06/Preskab/6/1967 tanggal 20 Juni 1967.
Tanggal 6 Desember 1967 Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat China. Isinya semua upacara agama, kepercayaan dan adat-istiadat China hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga atau di dalam ruangan tertutup. Maka lenyaplah perayaan Tahun Baru Imlek, capgomeh, lomba perahu naga, bahkan tarian barongsai.
Ini disusul dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4555.2-360 Tahun 1968 mengenai Penataan Kelenteng. Berikutnya ada Surat Edaran Menteri Penerangan No.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa China.
Lalu Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri mengukuhkan penerapan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melalui SKB 01-UM.09.30.80 No.42. Kebijakan-kebijakan ini jelas-jelas mendiskriminasi Tionghoa Indonesia.
Melestarikan Rasialisme
Sepanjang era Soeharto nyaris tiada tahun tanpa tindakan rasial terhadap Tionghoa, baik yang dilakukan langsung aparat negara maupun ledakan gerakan massa yang sudah terlanjur disulut sentimen anti-Tionghoa. Benny mengingatkan huru-hara anti-Tionghoa di Bandung, 5 Agustus 1973.
Pemicunya tukang gerobak Asep bin Tosin tersenggol mobil VW yang dikendarai pemuda Tionghoa. Lalu Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) yang semula unjuk rasa menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka menjadi aksi rasialis terhadap toko-toko Tionghoa di Jakarta.
Dipicu perkelahian tiga siswa SGO di Solo, 22 November 1980, pecah kerusuhan anti-Tionghoa yang melebar ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, hingga melumpuhkan Semarang sampai tanggal 25 November.
Menjelang kejatuhan Soeharto, kerusuhan bukannya surut, malah menjadi-janji. Sebut saja di Purwakarta, 31 Oktober-2 November 1995; Pekalongan, 24 November 1995; Situbondo, 10 Oktober 1996; Tasikmalaya, 26 Desember 1996; Sanggau Ledo, 30 Desember 1995 - 2 Januari 1996; Tanah Abang, 28 Januari 1997; Rengasdengklok, 27-31 Januari 1997; Banjarmasin, 23 Mei 1997; Makassar, 15 September 1997 dan masih banyak lagi yang tidak terekam media.
Kerusuhan yang ujung-ujungnya menyasar toko-toko Tionghoa mencapai puncaknya pada 13-15 Mei 1998 yang dikenal sebagai May Riot di Jakarta dan sekitarnya.
Percukongan
Benny mengingatkan selain merangkul teknokrat lulusan negara kapitalis, Soeharto paham yang bisa menggerakkan sektor riil adalah Tionghoa. Maka ia menjadikan Tionghoa sebagai kroninya, apalagi yang sudah hopeng (akrab) dengannya sejak menjabat Pangdam Diponegoro, seperti Pek Kiong dan Liem Soe Liong (Sudono Salim).
“Soeharto menggunakan percukongan. Dari lurah sampai pangdam ada cukong di belakangnya. Di balik cukong ada pejabat,” jelas Benny lugas.
Jelas Soeharto merepresi hak-hak politik dan budaya kaum Tionghoa, namun memberi ruang gerak di sektor bisnis. Benny menyebutkan menggunakan Tionghoa semata sebagai ‘binatang ekonomi’ untuk kepentingan diri dan kroni-kroninya. (dari berbagai sumber/mega christina)
Begitu presiden pertama republik tak berdaya, dengan surat sakti Supersemar Soeharto menjadi digdaya. Berbalik 180 derajat pula kebijakannya yang semula merangkul, menjadi memusuhi Tionghoa.
“Selaras dengan terjadinya Gerakan 30 September (G30S), dimulailah kampanye sinophopia atau anti-Tionghoa yang luas, disponsori kekuatan asing, terutama Inggris dan Amerika Serikat (AS). Di dalam negeri, Lembaga Pembinaan dan Kesatuan Bangsa (LPKB) menggunakan momen ini untuk menghantam Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki),” kata Benny G.Setiono, penulis buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik.
Ia mencatat dalam Bab 49 bukunya, 25 Maret 1966 pemerintah menutup perwakilan kantor berita Hsinhua (sekarang ditulis Xinhua) dan mencabut seluruh kartu pers wartawannya.
“Mereka membelokkan opini rakyat Indonesia dengan menyatakan musuh bangsa dan rakyat Indonesia yang sesungguhnya adalah China yang berasal dari utara, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dengan serentak semua media massa Indonesia - yang lolos screening Angkatan Darat dan diizinkan terbit kembali – melakukan propaganda anti-Tionghoa dan anti-RRT,” tambah Benny.
Lebih jauh ia menjelaskan pada masa Orde Lama, inflasi menggila, sehingga dengan mudah Orde Baru menimpakan semua kesalahan pada orang Tionghoa yang dicap sebagai Kolone Kelima, tukang timbun, dan tidak peduli kepentingan rakyat.
Maka meletuslah kerusuhan anti-Tionghoa yang diiringi penjarahan, perusakan bahkan pembakaran rumah, toko, sekolah, mobil dan segala yang berbau Tionghoa. Termasuk unjuk rasa dan penyerangan Konsulat RRT di Medan, Jakarta, dan Makassar.
Berbagai Larangan
Benny yang waktu itu mahasiswa Universitas Res Publica menyaksikan mulai April 1966 tindakan kesatuan-kesatuan aksi mendapat dukungan militer yang mengeluarkan perintah penutupan 629 sekolah-sekolah Tionghoa, sehingga 272.782 murid dan 6.478 gurunya terlantar.
Dengan Surat Keputusan 6 Juli 1966, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melarang murid eks sekolah Tionghoa ditampung di sekolah swasta nasional, sedang di sekolah negeri hanya dibatasi kurang dari lima persen saja.
Tidak itu saja, Benny menyebutkan tanggal 8 Mei 1966 Pangdam Aceh, Brigjen Ishak Djuarsa memerintahkan seluruh Tionghoa WNA meninggalkan Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Alhasil lebih dari 15.000 Tionghoa terpaksa angkat kaki dari Serambi Mekkah.
Sementara Pangdam Sriwijaya, Brigjen Makmun Murod mengizinkan Tionghoa WNA tinggal hanya di Pulau Bangka Belitung, kalau tidak mau, dipersilakan pulang ke RRT. Tanggal 20 Desember 1966 Brigjen Ryachudu mengusir ketua dan seluruh pengurus Chung Hua Kung Hui dari Kalimantan Barat. Sehari kemudian Walikota Makassar melarang Tionghoa WNA berdagang kebutuhan bahan pokok,
Benny menambahkan Juli 1966 Pangdam Brawijaya, Mayjen Soemitro melarang seluruh koran Tionghoa dan melarang penggunaan huruf dan bahasa China di muka umum, termasuk buku. Soemitro juga melarang Tionghoa WNA/stateless berdagang di kota, kecuali Surabaya; dilarang pindah domisili, dikenai pajak Rp 2.500 per jiwa dan menutup seluruh kelenteng di Jawa Timur dan Madura.
Bahkan 3 dan 21 Januari 1967 toko-toko Tionghoa WNA di luar Surabaya harus ditutup dan uang hasil penjualan barang dideposito dan dilaporkan ke panitia daerah. Dalam prakteknya, sumber SH mengalami tokonya diambil-alih tentara begitu saja, tanpa proses hukum apapun dan dibiarkan terlunta-lunta.
Kebijakan Resmi
Orde Baru menerapkan kebijakan melarang segala yang berbau Tionghoa, mulai dari yang paling ringan seperti ganti nama. Ini merupakan keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966.
Pengacara kenamaan Yap Thiam Hien mencatat tidak kurang dari 13 dokumen yang perlu diganti bersamaan dengan aturan ganti nama itu. Mulai dari Kartu Tanpa Penduduk, akta-akta, hingga berbagai rekening yang jelas memakan biaya tidak sedikit.
Seminar Kedua Angkatan Darat di Seskoad Bandung, 25-31 Agustus 1966 dipimpin Mayjen Suwarto memutuskan mengganti RRT menjadi RRC dan orang Tionghoa menjadi orang China. Keputusan ini dikukuhkan dengan Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.SE-06/Preskab/6/1967 tanggal 20 Juni 1967.
Tanggal 6 Desember 1967 Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat China. Isinya semua upacara agama, kepercayaan dan adat-istiadat China hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga atau di dalam ruangan tertutup. Maka lenyaplah perayaan Tahun Baru Imlek, capgomeh, lomba perahu naga, bahkan tarian barongsai.
Ini disusul dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4555.2-360 Tahun 1968 mengenai Penataan Kelenteng. Berikutnya ada Surat Edaran Menteri Penerangan No.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa China.
Lalu Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri mengukuhkan penerapan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melalui SKB 01-UM.09.30.80 No.42. Kebijakan-kebijakan ini jelas-jelas mendiskriminasi Tionghoa Indonesia.
Melestarikan Rasialisme
Sepanjang era Soeharto nyaris tiada tahun tanpa tindakan rasial terhadap Tionghoa, baik yang dilakukan langsung aparat negara maupun ledakan gerakan massa yang sudah terlanjur disulut sentimen anti-Tionghoa. Benny mengingatkan huru-hara anti-Tionghoa di Bandung, 5 Agustus 1973.
Pemicunya tukang gerobak Asep bin Tosin tersenggol mobil VW yang dikendarai pemuda Tionghoa. Lalu Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) yang semula unjuk rasa menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka menjadi aksi rasialis terhadap toko-toko Tionghoa di Jakarta.
Dipicu perkelahian tiga siswa SGO di Solo, 22 November 1980, pecah kerusuhan anti-Tionghoa yang melebar ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, hingga melumpuhkan Semarang sampai tanggal 25 November.
Menjelang kejatuhan Soeharto, kerusuhan bukannya surut, malah menjadi-janji. Sebut saja di Purwakarta, 31 Oktober-2 November 1995; Pekalongan, 24 November 1995; Situbondo, 10 Oktober 1996; Tasikmalaya, 26 Desember 1996; Sanggau Ledo, 30 Desember 1995 - 2 Januari 1996; Tanah Abang, 28 Januari 1997; Rengasdengklok, 27-31 Januari 1997; Banjarmasin, 23 Mei 1997; Makassar, 15 September 1997 dan masih banyak lagi yang tidak terekam media.
Kerusuhan yang ujung-ujungnya menyasar toko-toko Tionghoa mencapai puncaknya pada 13-15 Mei 1998 yang dikenal sebagai May Riot di Jakarta dan sekitarnya.
Percukongan
Benny mengingatkan selain merangkul teknokrat lulusan negara kapitalis, Soeharto paham yang bisa menggerakkan sektor riil adalah Tionghoa. Maka ia menjadikan Tionghoa sebagai kroninya, apalagi yang sudah hopeng (akrab) dengannya sejak menjabat Pangdam Diponegoro, seperti Pek Kiong dan Liem Soe Liong (Sudono Salim).
“Soeharto menggunakan percukongan. Dari lurah sampai pangdam ada cukong di belakangnya. Di balik cukong ada pejabat,” jelas Benny lugas.
Jelas Soeharto merepresi hak-hak politik dan budaya kaum Tionghoa, namun memberi ruang gerak di sektor bisnis. Benny menyebutkan menggunakan Tionghoa semata sebagai ‘binatang ekonomi’ untuk kepentingan diri dan kroni-kroninya. (dari berbagai sumber/mega christina)
Semarang dari Peninggalan Kolinial ke Pecinan
Keluar dari rutinitas, menikmati hari yang berjalan melambat merupakan
kemewahan tersendiri. Apalagi tak banyak kaumku yang bisa melakukan sebebas
diriku, sebuah 'priviledge'. Terlebih ketika di tengah jalan kutemui
mbok-mbok dengan kain jarik dan kebaya terbungkuk-bungkuk memanggul bakul
dagangan di punggungnya yang kurus.
Sementara aku dengan ransel dari Hotel Candi Sari di Jalan Wahidin
(Sudirohusodo, untuk tidak mengurangi rasa hormat pada pahlawan pendiri
Boedi Oetomo ini :), kususuri jalan menuju kompleks tua sekolah Don Bosko.
Dari depannya, naik bis tiga perempat menyusuri Jalan S.Parman yang berliku
dan berkontur perbukitan dengan rumah mewah menjulang di kiri-kanan jalan.
Turun di Tugu Muda, gereja tua Stela Maris (?) dan gedung tua yang
mengitari tugu itu mengajak memasuki suasana peninggalan Kumpeni Walondo
(VOC maksudnya :).
Pohon-pohon asam rindang mengiringiku menapaki trotoar kanan jalan sejajar
Balaikota yang rapi dan lumayan lebar dengan paving-block merah tua yang
relatif teduh. Sekali lagi pohon asam peneduh peninggalan Walanda.
Kecuali DP Mall, bangunan di kiri-kanan Jalan Pemuda ini masih kuat
menggambarkan peninggalan kolonial Belanda, terutama kompleks TK
Kanak-Kanak Yesus, SD-SMP-SMA Marsudirini (?), Kompleks Kodam Diponegoro,
Balaikota dengan puluhan pilar kelabunya.
Sebuah Tourist Information Centre (TIC) di samping SMA 5 'menggodaku' untuk
menengok promosi Semarang Pesona Asia. Gedungnya gelap tanpa penyejuk udara
dengan dua mbak petugas biro perjalanan tengah kipas-Kipas. Petugas perlu
diteriaki dulu untuk muncul di balik booth-nya yang berisi brosur iklan
hotel swasta dan foto lugu anak Dieng. Peta Semarang yang kuhendaki muncul
setelah dicari-cari sekian lama. Itu pun selembar peta kecamatan dengan
nama jalan yang tak jelas plus 14 foto lokasi wisata yang ditawarkan. Peta
yang 'makro' dan tidak informatif. Tampaknya Dinas Pariwisata & Kebudayaan
Kota Semarang patut belajar dari Lonely Planet untuk menyajikan apa, dimana
dan bagaimana menuju obyek wisata.
Di persimpangan yang membelah Jalan Pemuda, ada bakal mal dengan Hypermart
yang bakal tidak 'matching' dengan peninggalan kolonial serta 'mengacaukan'
perekonomian tradisional Pasar Johar tak jauh darinya.
Terus ke utara tampak baliho "Gong Xi Fat Cai" di atas toko terkenal zaman
Orba Sri Ratu yang meredup tanpa reformasi. Toko Oen yang kutuju di
seberangnya tampak tutup rapat 'bedak' kayunya. Alamat perut keroconganku
(atau bahkan sudah ganti heavy-metal) bakal kian merongrong (atau mem-bona)
minta diisi. Beneran, Toko Oen tutup, menyiapkan pesta anaknya. Hiks :(
Tanpa bayang-bayang, mentari tegak lurus bak langsung membakar ubun-ubunku
lepas dari Jalan Pemuda. Sekitar Pasar Johar yang (masih tetap) ruwet dan
ramai seperti biasa tak ramah buat pejalan kaki. Dari Jalan Pedamaran, Gang
Warung menyajikan suasana Pecinan yang terasa akrab seperti Kawasan Kembang
Jepun di Surabaya dalam ingatan masa kecilku. Bau hio dengan pintu kayu
jati coklat tua kadang berjeruji besi khas zaman bahuela. Jalanan
paving-blocknya masih rapi.
Begitu berbelok melihat sungai dengan replika Kapal Cheng Ho mengapung
seperti terdampar di Gang Lombok, peluh dan letih serasa impas.
Es Campur Gang Lombok dengan ingridient cincau, degan (kelapa muda), kolang-kaling serta manisan mangga dan
manisan nenas yang asam-asam lezat luar biasa di tengah terik siang itu.
Naga perutku pun tenang dengan mie Siang Kie Gang Lombok 10. Minyak
nguik-nguik melapisi mie langsing ala spagheti dengan condiment cacahan
ayam (biasa), irisan telur dadar dan bakso goreng udang yang lumayan
generous. Sst ini tidak obyektif, lagi lapar dan belum sarapan karena
kesiangan.
Perut kenyang, hati senang, duduk manis aku mengetikkan ini di N9300 dengan
pemandangan kali berpagar gaya China lengkap keramik berukir pasangan
burung hong (Phoenix) dan naga.
Sekolah Gratis
Tujuanku selanjutnya adalah Taman Nak-Kanak (TN alias TK) Kuncup Melati dan
Sekolah Dasar (SD) Khong Kauw Hwee dengan status disamakan.
Gedung beton tiga lantai itu persis di samping Kelenteng Gang Lombok.
Dari balik pagar seperti pembatas jalan, wow tembok sekolahnya berwarna
merah dan kuning plus hiasan lampion kertas mungkin bikinan siswanya yang
membuat makin semarak. So Chinese! Warna kemuliaan dan kemakmuran, bagiku terlalu kontras. Mungkin tidak untuk mata bocah-bocah.
Ada dua kelas TK A dan TK B di lantai dasar plus mungkin ruang guru atau
kantor sekolah, lantai dua dan tiga masing-masing kelas SD.
Ada ring basket di halaman dengan beberapa bocah ceking berkulit sawo
matang bermain di sana. Sekolah sudah usai, aku tiba terlalu siang, lupa
kalau Sabtu.
Muhammad (tampaknya begitu kalau kupingku tidak sombong alias budek) salah
satu bocah yang kutanyai. Ia mengaku salah satu dari 28 murid kelas VI,
yang sekolah di sana sejak TK, gratis! Paling tidak 7-8 tahun ia menikmati
sekolah gratis.
Menurutnya, teman sekolahnya dominan Jawa dan beragama Islam, sementara
gurunya dominan Tionghoa beragama Kristen, Katolik atau Buddha. Sebuah
cross cutting system yang indah! Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya.
Lulus SD, Muhammad berencana meneruskan ke SMP Mataram (Kuomingtang) yang
bisa gratis untuk murid the big five-nya. Dengan demikian paling tidak ia
bisa merampungkan pendidikan dasarnya, untuk beranjak dari kemiskinan
orangtuanya yang kuli.
Semarang, 26 Januari 2008
kemewahan tersendiri. Apalagi tak banyak kaumku yang bisa melakukan sebebas
diriku, sebuah 'priviledge'. Terlebih ketika di tengah jalan kutemui
mbok-mbok dengan kain jarik dan kebaya terbungkuk-bungkuk memanggul bakul
dagangan di punggungnya yang kurus.
Sementara aku dengan ransel dari Hotel Candi Sari di Jalan Wahidin
(Sudirohusodo, untuk tidak mengurangi rasa hormat pada pahlawan pendiri
Boedi Oetomo ini :), kususuri jalan menuju kompleks tua sekolah Don Bosko.
Dari depannya, naik bis tiga perempat menyusuri Jalan S.Parman yang berliku
dan berkontur perbukitan dengan rumah mewah menjulang di kiri-kanan jalan.
Turun di Tugu Muda, gereja tua Stela Maris (?) dan gedung tua yang
mengitari tugu itu mengajak memasuki suasana peninggalan Kumpeni Walondo
(VOC maksudnya :).
Pohon-pohon asam rindang mengiringiku menapaki trotoar kanan jalan sejajar
Balaikota yang rapi dan lumayan lebar dengan paving-block merah tua yang
relatif teduh. Sekali lagi pohon asam peneduh peninggalan Walanda.
Kecuali DP Mall, bangunan di kiri-kanan Jalan Pemuda ini masih kuat
menggambarkan peninggalan kolonial Belanda, terutama kompleks TK
Kanak-Kanak Yesus, SD-SMP-SMA Marsudirini (?), Kompleks Kodam Diponegoro,
Balaikota dengan puluhan pilar kelabunya.
Sebuah Tourist Information Centre (TIC) di samping SMA 5 'menggodaku' untuk
menengok promosi Semarang Pesona Asia. Gedungnya gelap tanpa penyejuk udara
dengan dua mbak petugas biro perjalanan tengah kipas-Kipas. Petugas perlu
diteriaki dulu untuk muncul di balik booth-nya yang berisi brosur iklan
hotel swasta dan foto lugu anak Dieng. Peta Semarang yang kuhendaki muncul
setelah dicari-cari sekian lama. Itu pun selembar peta kecamatan dengan
nama jalan yang tak jelas plus 14 foto lokasi wisata yang ditawarkan. Peta
yang 'makro' dan tidak informatif. Tampaknya Dinas Pariwisata & Kebudayaan
Kota Semarang patut belajar dari Lonely Planet untuk menyajikan apa, dimana
dan bagaimana menuju obyek wisata.
Di persimpangan yang membelah Jalan Pemuda, ada bakal mal dengan Hypermart
yang bakal tidak 'matching' dengan peninggalan kolonial serta 'mengacaukan'
perekonomian tradisional Pasar Johar tak jauh darinya.
Terus ke utara tampak baliho "Gong Xi Fat Cai" di atas toko terkenal zaman
Orba Sri Ratu yang meredup tanpa reformasi. Toko Oen yang kutuju di
seberangnya tampak tutup rapat 'bedak' kayunya. Alamat perut keroconganku
(atau bahkan sudah ganti heavy-metal) bakal kian merongrong (atau mem-bona)
minta diisi. Beneran, Toko Oen tutup, menyiapkan pesta anaknya. Hiks :(
Tanpa bayang-bayang, mentari tegak lurus bak langsung membakar ubun-ubunku
lepas dari Jalan Pemuda. Sekitar Pasar Johar yang (masih tetap) ruwet dan
ramai seperti biasa tak ramah buat pejalan kaki. Dari Jalan Pedamaran, Gang
Warung menyajikan suasana Pecinan yang terasa akrab seperti Kawasan Kembang
Jepun di Surabaya dalam ingatan masa kecilku. Bau hio dengan pintu kayu
jati coklat tua kadang berjeruji besi khas zaman bahuela. Jalanan
paving-blocknya masih rapi.
Begitu berbelok melihat sungai dengan replika Kapal Cheng Ho mengapung
seperti terdampar di Gang Lombok, peluh dan letih serasa impas.
Es Campur Gang Lombok dengan ingridient cincau, degan (kelapa muda), kolang-kaling serta manisan mangga dan
manisan nenas yang asam-asam lezat luar biasa di tengah terik siang itu.
Naga perutku pun tenang dengan mie Siang Kie Gang Lombok 10. Minyak
nguik-nguik melapisi mie langsing ala spagheti dengan condiment cacahan
ayam (biasa), irisan telur dadar dan bakso goreng udang yang lumayan
generous. Sst ini tidak obyektif, lagi lapar dan belum sarapan karena
kesiangan.
Perut kenyang, hati senang, duduk manis aku mengetikkan ini di N9300 dengan
pemandangan kali berpagar gaya China lengkap keramik berukir pasangan
burung hong (Phoenix) dan naga.
Sekolah Gratis
Tujuanku selanjutnya adalah Taman Nak-Kanak (TN alias TK) Kuncup Melati dan
Sekolah Dasar (SD) Khong Kauw Hwee dengan status disamakan.
Gedung beton tiga lantai itu persis di samping Kelenteng Gang Lombok.
Dari balik pagar seperti pembatas jalan, wow tembok sekolahnya berwarna
merah dan kuning plus hiasan lampion kertas mungkin bikinan siswanya yang
membuat makin semarak. So Chinese! Warna kemuliaan dan kemakmuran, bagiku terlalu kontras. Mungkin tidak untuk mata bocah-bocah.
Ada dua kelas TK A dan TK B di lantai dasar plus mungkin ruang guru atau
kantor sekolah, lantai dua dan tiga masing-masing kelas SD.
Ada ring basket di halaman dengan beberapa bocah ceking berkulit sawo
matang bermain di sana. Sekolah sudah usai, aku tiba terlalu siang, lupa
kalau Sabtu.
Muhammad (tampaknya begitu kalau kupingku tidak sombong alias budek) salah
satu bocah yang kutanyai. Ia mengaku salah satu dari 28 murid kelas VI,
yang sekolah di sana sejak TK, gratis! Paling tidak 7-8 tahun ia menikmati
sekolah gratis.
Menurutnya, teman sekolahnya dominan Jawa dan beragama Islam, sementara
gurunya dominan Tionghoa beragama Kristen, Katolik atau Buddha. Sebuah
cross cutting system yang indah! Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya.
Lulus SD, Muhammad berencana meneruskan ke SMP Mataram (Kuomingtang) yang
bisa gratis untuk murid the big five-nya. Dengan demikian paling tidak ia
bisa merampungkan pendidikan dasarnya, untuk beranjak dari kemiskinan
orangtuanya yang kuli.
Semarang, 26 Januari 2008
Wednesday, January 2, 2008
Tragedi Semanggi
Peluru Yang Sama dari Tragedi Tri Sakti hingga Tragedi Semanggi
“Sekolah disubsidi rakyat, jadi harus berjuang demi rakyat banyak juga....”
Begitu kata-kata Yap Yun Hap yang lekat di ingatan rekan semahasiwanya. Tampaknya tidak berlebihan, mengingat sebagian pendidikannya ia jalani di sekolah negeri, terakhir di SMA 78 Jakarta dan Jurusan Teknik Elektro - Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI).
Tak heran di 1997 diam-diam pemuda kelahiran Bangka ini ikut membela nasib kaum petani. Ketika marak demonstrasi kampus, dengan gagah ia menantang, “Apa gunanya demo di kampus, kalau berani kita keluar.”
Tak pelak ia turut dalam demonstrasi di Universitas Tri Sakti, yang tak jauh dari kediamannya di Gang Mangga XVII.
Bahkan pertengahan Mei 1998 ia pun ikut menduduki tempat wakil rakyat, Gedung DPR/MPR hingga Soeharto lengser.
“Seminggu ia tidak pulang. Demi kebenaran, dia berani,” kata ayahnya, Yap Pit Sing dengan nada bersemangat, tak menutupi rasa bangga pada putra sulungnya.
Sudah barang tentu ini meresahkan hati ibundanya, Ho Kim Ngo, mengingat Tragedi Tri Sakti merenggut empat nyawa mahasiswanya.
“Mati tua, hari ini mati besok orang lupa. Kalau begini (Tragedi Tri Sakti, red), selamanya diingat orang," begitu jawaban Yun Hap ditirukan ayahandanya ketika penulis berkunjung ke kediamannya di kawasan Tanjung Duren.
Tampaknya pemuda kelahiran 17 Oktober 1977 ini tidak salah. Tanggal 23 November 1999 malam, ia menelepon memberitahu kalau tidak pulang, meski ayahnya mendesaknya pulang. Semalaman hati sang ayah gelisah, ada suatu perasaan yang belum hilang karena sembilan hari sebelumnya putra adiknya tewas ditabrak bus.
Namun sebagai karyawan, pukul delapan pagi keesokan harinya ia harus berangkat kerja. Ternyata toko, tempatnya bekerja dibobol perampok dengan menjebol tembok. Seharian pikiran sang ayah tersita pekerjaan. Tapi malam itu ia mengetahui putra sulung menurut pulang, meski kemudian berangkat lagi.
Malang tak dapat ditolak. Sekitar pukul 23 pihak UI menelpon mengabarkan Yun Hap ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sang ayah langsung merasa putra tercintanya sudah tiada.
“Pelurunya 5,6 mili. Penembaknya Kostrad," tegas Pit Sing yang waktu itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri tubuh anaknya terbujur tertembus peluru tajam.
Peluru yang Sama
Yap Yun Hap adalah satu di antara sekian banyak korban impunitas (impunity) republik ini dengan membiarkan penguasa tidak bertanggung jawab atas nyawa rakyatnya. Padahal kasus ini bukanlah kasus yang berdiri sendiri.
“Banyak kemiripan antara Tragedi Semanggi I dan Tragedi Semanggi II. Belum ada penjelasan resmi siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini.”
Inilah kesimpulan Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) Tragedi Semanggi II yang dipimpin Hermawan Sulistiyo.
“Mahasiswa ditembak dengan peluru tajam secara brutal oleh aparat militer. Ini kebijakan institusional dan bukan kesalahan prosedur,” kata Hermawan yang juga peneliti LIPI kepada wartawan waktu itu.
Karena itu, menurutnya, tanggung jawab harus dipikul oleh pimpinan TNI/Polri dan pemerintah atau presiden, bukan oleh komandan pasukan yang melaksanakan kebijakan tersebut.
Bukti bahwa penembakan tersebut merupakan kebijakan institusional, menurut Hermawan, karena jenis peluru dan senjata yang digunakan pada Tragedi Semanggi II sama dengan yang digunakan pada Peristiwa Trisakti, Mei tahun lalu, Semanggi I, November 1998, dan kasus penembakan mahasiswa di Lampung.
“Adanya empat kasus dengan menggunakan peluru tajam tidak bisa dikatakan lagi sebagai kesalahan prosedur,” tegas Hermawan.
Dari tes proyektil, terlihat bahwa sebelum mengenai Yap Yun Hap, peluru tajam tersebut mengenai benda lain dan memantul. Ini, menurut kesimpulan TPFI menunjukkan penembakan dilakukan secara membabi buta dan tidak mungkin dilakukan oleh penembak jitu (sniper) dari kendaraan lain.
Dari peluru itu juga disimpulkan bahwa senjata yang digunakan diduga jenis SS1, Steyr atau M16-A1.
Hal itu sejalan dengan kesimpulan tim forensik FKUI yang dipimpin Budi Sampurno, yang mengatakan peluru yang bersarang ditubuh Yap Yun Hap bukan berasal dari pistol. Berdasarkan pengujian, peluru berasal dari senjata laras panjang.
“Kemungkinan peluru tersebut ditembakkan dari senjata jenis SS1,” kata Budi. Peluru yang bersarang di tubuh Yap Yun Hap memiliki panjang 20,9 mm dengan diameter 5,6 milimeter (mm) dan berat 3,6365 gram. Kesimpulan tim forensik FKUI ini diserahkan Budi kepada Komandan Pomdam Jaya Kolonel Mungkono (Majalah Panji No.26/Tahun III, 13 OKTOBER 1999).
Ada Dalangnya
Lebih dari delapan tahun sudah Tragedi Tri Sakti, Semanggi I dan II berlalu, tanpa ada kemajuan yang berarti. Sama seperti tragedi yang lain, sebatas prajurit yang diadili, kalau tidak sekedar janji-janji berbagai institusi.
“Kita terbentur di DPR. Mereka semua partai. di bibir saja bela rakyat. Kenyataannya (rakyat) mau mampus, mampus saja,” sergah Yap Pit Sing dengan nada tinggi.
Ia menilai mahasiswa masih lugu, dipermainkan politik.
“Mahasiswa jadi tumbal,” tegas Pit Sing.
Menurutnya, tanpa mahasiswa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Megawati tidak bisa menjadi presiden. Tapi keduanya tidak pernah mengurusi mahasiswa, bahkan tidak mengubris macam Tragedi Semanggi, orang hilang dan sebagainya.
Padahal, tuntutan keluarga korban sederhana, ibarat film pasti ada sutradaranya. Ibarat wayang, ada dalangnya.
“Prajurit tidak bisa menembak seenaknya. Kita kerja saja, diperintah bos, ya bos yang tanggung jawab. Kan tidak masuk akal kalau prajurit. Kami mau keadilan,” tegas Yap Pit Sing.
Ho Kim Ngo dan Yap Pit Sing menjadi satu di antara puluhan atau bahkan ratusan keluarga-keluarga korban yang marah, terluka dan prihatin atas kematian buah hatinya. Hampir satu dasawarsa lelehan airmata para orangtua tak sedikit pun melunakkan kekerasan hati para politisi. Gerakan ibu-ibu berdiri dekat pagar istana setiap Kamis meniru ibu-ibu Plaza de Mayo tidak menorehkan belas kasih pada para pencari keadilan yang tak kenal lelah ini.
Meski demikian sejarah telah mencatat anak-anak bangsa yang menyerahkan nyawa bagi rakyatnya. Namun perjuangan saat ini adalah melawan lupa, agar kita tidak melupakan tetesan darah putra terbaik inilah yang menjadi landasan reformasi saat ini. Semoga.
Perjuangan saat ini adalah melawan lupa!
Tulisan ini telah dimuat di Majalah "Suara Baru" Perhimpunan INTI, Desember 2007
“Sekolah disubsidi rakyat, jadi harus berjuang demi rakyat banyak juga....”
Begitu kata-kata Yap Yun Hap yang lekat di ingatan rekan semahasiwanya. Tampaknya tidak berlebihan, mengingat sebagian pendidikannya ia jalani di sekolah negeri, terakhir di SMA 78 Jakarta dan Jurusan Teknik Elektro - Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI).
Tak heran di 1997 diam-diam pemuda kelahiran Bangka ini ikut membela nasib kaum petani. Ketika marak demonstrasi kampus, dengan gagah ia menantang, “Apa gunanya demo di kampus, kalau berani kita keluar.”
Tak pelak ia turut dalam demonstrasi di Universitas Tri Sakti, yang tak jauh dari kediamannya di Gang Mangga XVII.
Bahkan pertengahan Mei 1998 ia pun ikut menduduki tempat wakil rakyat, Gedung DPR/MPR hingga Soeharto lengser.
“Seminggu ia tidak pulang. Demi kebenaran, dia berani,” kata ayahnya, Yap Pit Sing dengan nada bersemangat, tak menutupi rasa bangga pada putra sulungnya.
Sudah barang tentu ini meresahkan hati ibundanya, Ho Kim Ngo, mengingat Tragedi Tri Sakti merenggut empat nyawa mahasiswanya.
“Mati tua, hari ini mati besok orang lupa. Kalau begini (Tragedi Tri Sakti, red), selamanya diingat orang," begitu jawaban Yun Hap ditirukan ayahandanya ketika penulis berkunjung ke kediamannya di kawasan Tanjung Duren.
Tampaknya pemuda kelahiran 17 Oktober 1977 ini tidak salah. Tanggal 23 November 1999 malam, ia menelepon memberitahu kalau tidak pulang, meski ayahnya mendesaknya pulang. Semalaman hati sang ayah gelisah, ada suatu perasaan yang belum hilang karena sembilan hari sebelumnya putra adiknya tewas ditabrak bus.
Namun sebagai karyawan, pukul delapan pagi keesokan harinya ia harus berangkat kerja. Ternyata toko, tempatnya bekerja dibobol perampok dengan menjebol tembok. Seharian pikiran sang ayah tersita pekerjaan. Tapi malam itu ia mengetahui putra sulung menurut pulang, meski kemudian berangkat lagi.
Malang tak dapat ditolak. Sekitar pukul 23 pihak UI menelpon mengabarkan Yun Hap ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sang ayah langsung merasa putra tercintanya sudah tiada.
“Pelurunya 5,6 mili. Penembaknya Kostrad," tegas Pit Sing yang waktu itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri tubuh anaknya terbujur tertembus peluru tajam.
Peluru yang Sama
Yap Yun Hap adalah satu di antara sekian banyak korban impunitas (impunity) republik ini dengan membiarkan penguasa tidak bertanggung jawab atas nyawa rakyatnya. Padahal kasus ini bukanlah kasus yang berdiri sendiri.
“Banyak kemiripan antara Tragedi Semanggi I dan Tragedi Semanggi II. Belum ada penjelasan resmi siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini.”
Inilah kesimpulan Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) Tragedi Semanggi II yang dipimpin Hermawan Sulistiyo.
“Mahasiswa ditembak dengan peluru tajam secara brutal oleh aparat militer. Ini kebijakan institusional dan bukan kesalahan prosedur,” kata Hermawan yang juga peneliti LIPI kepada wartawan waktu itu.
Karena itu, menurutnya, tanggung jawab harus dipikul oleh pimpinan TNI/Polri dan pemerintah atau presiden, bukan oleh komandan pasukan yang melaksanakan kebijakan tersebut.
Bukti bahwa penembakan tersebut merupakan kebijakan institusional, menurut Hermawan, karena jenis peluru dan senjata yang digunakan pada Tragedi Semanggi II sama dengan yang digunakan pada Peristiwa Trisakti, Mei tahun lalu, Semanggi I, November 1998, dan kasus penembakan mahasiswa di Lampung.
“Adanya empat kasus dengan menggunakan peluru tajam tidak bisa dikatakan lagi sebagai kesalahan prosedur,” tegas Hermawan.
Dari tes proyektil, terlihat bahwa sebelum mengenai Yap Yun Hap, peluru tajam tersebut mengenai benda lain dan memantul. Ini, menurut kesimpulan TPFI menunjukkan penembakan dilakukan secara membabi buta dan tidak mungkin dilakukan oleh penembak jitu (sniper) dari kendaraan lain.
Dari peluru itu juga disimpulkan bahwa senjata yang digunakan diduga jenis SS1, Steyr atau M16-A1.
Hal itu sejalan dengan kesimpulan tim forensik FKUI yang dipimpin Budi Sampurno, yang mengatakan peluru yang bersarang ditubuh Yap Yun Hap bukan berasal dari pistol. Berdasarkan pengujian, peluru berasal dari senjata laras panjang.
“Kemungkinan peluru tersebut ditembakkan dari senjata jenis SS1,” kata Budi. Peluru yang bersarang di tubuh Yap Yun Hap memiliki panjang 20,9 mm dengan diameter 5,6 milimeter (mm) dan berat 3,6365 gram. Kesimpulan tim forensik FKUI ini diserahkan Budi kepada Komandan Pomdam Jaya Kolonel Mungkono (Majalah Panji No.26/Tahun III, 13 OKTOBER 1999).
Ada Dalangnya
Lebih dari delapan tahun sudah Tragedi Tri Sakti, Semanggi I dan II berlalu, tanpa ada kemajuan yang berarti. Sama seperti tragedi yang lain, sebatas prajurit yang diadili, kalau tidak sekedar janji-janji berbagai institusi.
“Kita terbentur di DPR. Mereka semua partai. di bibir saja bela rakyat. Kenyataannya (rakyat) mau mampus, mampus saja,” sergah Yap Pit Sing dengan nada tinggi.
Ia menilai mahasiswa masih lugu, dipermainkan politik.
“Mahasiswa jadi tumbal,” tegas Pit Sing.
Menurutnya, tanpa mahasiswa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Megawati tidak bisa menjadi presiden. Tapi keduanya tidak pernah mengurusi mahasiswa, bahkan tidak mengubris macam Tragedi Semanggi, orang hilang dan sebagainya.
Padahal, tuntutan keluarga korban sederhana, ibarat film pasti ada sutradaranya. Ibarat wayang, ada dalangnya.
“Prajurit tidak bisa menembak seenaknya. Kita kerja saja, diperintah bos, ya bos yang tanggung jawab. Kan tidak masuk akal kalau prajurit. Kami mau keadilan,” tegas Yap Pit Sing.
Ho Kim Ngo dan Yap Pit Sing menjadi satu di antara puluhan atau bahkan ratusan keluarga-keluarga korban yang marah, terluka dan prihatin atas kematian buah hatinya. Hampir satu dasawarsa lelehan airmata para orangtua tak sedikit pun melunakkan kekerasan hati para politisi. Gerakan ibu-ibu berdiri dekat pagar istana setiap Kamis meniru ibu-ibu Plaza de Mayo tidak menorehkan belas kasih pada para pencari keadilan yang tak kenal lelah ini.
Meski demikian sejarah telah mencatat anak-anak bangsa yang menyerahkan nyawa bagi rakyatnya. Namun perjuangan saat ini adalah melawan lupa, agar kita tidak melupakan tetesan darah putra terbaik inilah yang menjadi landasan reformasi saat ini. Semoga.
Perjuangan saat ini adalah melawan lupa!
Tulisan ini telah dimuat di Majalah "Suara Baru" Perhimpunan INTI, Desember 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)