Wednesday, January 30, 2008

Ziarah Sawer Rahmat

Ketika tulisan Tangerang-Cirebon-Kuningan di kaca bus terbaca, dari
kejauhan sudah kuhentikan kendaraan bercat hijau pupus itu. Ternyata sebuah
bus boemel alias ekonomi, Lur Agung. Kepalang tanggung aku 'nyengklak' aja.
DVD player tengah memutar pop dangdut dengan nada monoton yang kubenci itu.
Tak ayal kupilih di tengah, toh berisiknya nyampai juga. Coba kutepis
dengan kekehan gara-gara kepala krupuk Akiong di Laskar Pelangi. Tidak
manjur. Suara ritmis yang monoton itu tetap masuk gendang telinga bak mata
bor. Ya inilah 'bis rakyat' lengkap dengan asap rokok yang juga kubenci dan
sulit kukompromi, sebuah 'paksaan' resolusi tahun baru.
Magrib bus masih 'ugal-ugalan' di jalan raya pos yang dibangun Tuan
Deandles. Gelap lewat Isya baru masuk Terminal Cirebon. Kurang dari sejam
kemudian, kondektur memberitahuku untuk turun, setelah Cirendang, Terminal
Kuningan.
Dengan minta ongkos 20 perak (tanpa kutawar), ojek membawaku ke jalanan
sepi nan menanjak di kanan (barat jalan) menembus gulita di bawah rinai
gerimis. Aih, aku lupa makan :(
Usai melewati jalanan dengan oncor bambu sekitar Cigugur, jalanan kian
terjal berbalut jubah kabut malam.
Ojek menurunkanku di mulut gang dengan papan petunjuk berbunyi "Gua Maria
Fatimah Sawer Rahmat, Cisantana". Demi membaca tulisan itu, dengan semangat
'45 langsung kutapaki gang sepi, lupa perut lapar.
Lewat lolongan anjing memecah malam, setelah rumah kurang dari jari satu
tangan, jalan setapak beraspal itu gulita. HP pun jadi senter darurat. Aih
di kiri-kanan kuburan. Tapi begitu melihat badan bernyala serangga yang
kucinta, kunang-kunang, ada perasaan tenang menyelimuti kalbu.
Hingga akhir kompleks pekuburan yang ditembok tak kutemukan lagi petunjuk
gua.Aih hilang arah, sementara kabut rinai gerimis kian tebal.
Masih kuikuti jalan setapak, eh malah berakhir di jalanan besar beraspal.
Beberapa remaja boncengan motor menawari tumpangan. Aku terlalu jaim untuk
'cenglu' sehingga kutampik halus dengan berjalan menyusuri gelap malam
berkabut.
Sebuah warung di pinggir jalan dengan mini dispenser melepas dahagaku dan
dingin embun malam dengan segelas teh tubruk. Sebagaimana orang kampung,
dengan hati terbuka, Teteh warung itu menawarkan keponakannya memboncengku
ke gereja tempat berlangsungnya misa.
Aih ternyata arah gereja berlawanan dengan gang menuju gua. Jalan menurun
di kanan itu pun nyaris di ujung aspal kanan lagi, menjorok terjal ke
bawah. Sempat terbaca rumah di kanan jalan masuk, "Susteran Ursulin".
Turun di halaman TK-SD Yos Sudarso, bocah SMP itu memandangi 10 perak
dariku dengan pandangan sungkan khas orang desa lama yang kukenal. Lalu
kutapaki jalanan semen menurun.
Di pintu gereja Stasi Maria Putri Murni, janur melengkung melambai-lambai
ramah seolah menyambutku. Demi memandang resiknya, kulepas sandal jepit
bututku bak masuk langgar.
Kuhampiri salib legam di sisi, sebuah peninggalan Gereja teraniaya yang tak
pernah mati.
Di muka altar dengan sesembahan hasil bumi lengkap dengan padi di dalam
antan kayu, kuberlutut dengan hati pedih. Betapa sebagian petani Jawa telah
kehilangan panen hasil buminya diterjang banjir akhir tahun ini. Lupa minta
'suami Dasa Dharma Pramuka' aku malah mendoakan korban banjir ini.
Penjaga gereja menawari masih ada kamar di bawah, di belakang gereja, di
samping Kompleks Asrama Putri Murni. Khas asrama, 4 tempat tidur susun
berjajar sepasang-sepasang.
Demi melihat kasur, dentang sisa nada monoton - yang memicu migrain-ku -
menuntut direbahkan. Usai seka badan, gerimis turun lagi. Kupilih
memejamkan mata barang sejam, alarm kupasang pk.23.30 Belum lagi alarm
bunyi, curahan air langit bak mau dihabiskan pada penutupan tahun 2007.
Jadilah aku tak beranjak, seperti orang-orang sederhana melewatkan malam
pergantian tahun layaknya malam biasa.

1 Januari 2008
Genta gereja sudah berdentang-dentang pk.5.30. Seingatku penjaga mengatakan
misa pukul 7.
Rinai gerimis turun lagi, meringkuklah aku menjadi musuh dalam selimut.
Sejam kemudian buru-buru keramas dan mengguyur air sedingin es tuk
membangunkanku.
Ternyata misa pukul 6, memang tak boleh terlalu khusuk aku. Usai memberikan
uang sumbangan kamar 50 perak - yang kata petugasnya berlebih - Mang Hamid
menawari ikut Keluarga Elis yang menyambut dengan terbuka di Ford
Everest-nya.
Kembali ke jalan aspal yang kususuri semalam, kali ini dengan arah
berlawanan. Ternyata jalan setapak menuju gua di belakang kuburan
bertembok, curam dan sempit, yang tak mungkin selamat kususuri dengan
senter HP.
Di tempat pertama yang disebut Taman Getsemani, gazebo tembok terbuka
beratap genteng tergeletak meja dengan buku cetakan jalan salib.
Bapak yang baru pasang 'ring' di jantungnya itu memintaku memimpin jalan
salib, sementara putranya Adi dan bungsu Amel serta ibunya mengikuti dalam
diam.
Dari sini takik tangga terjal mendaki, kerap licin berlumpur dan berlumut.
Ini macam trek pendakian untuk pemula, yang lumayan memompa darah ke
jantung dan mengembangkan paru-paru, melebihi jalan sehat maupun SKJ.
13 perhentian berpuncak di lahan relatif lapang pada ketinggian 900 meter
yang dinamakan Bukit Golgota, dengan Salib besar menyambut kita di mulut
tangga akhir. Perhentian ke-14 tersembunyi di atas mulut lorong air. Dari
sini jalan relatif datar, baru menanjak lagi dengan tangga menuju air
sumber di kiri gua. Desain gua mirip Sendangsono dengan batu sirap, versi
yang lebih mini.
Ketika aku berdoa di bawah kabut dan gerimis, Keluarga Elis yang baru
kukenal itu tengah menanak nasi dengan dual magic jar, menggoreng ikan asin
di atas kompor gas portable, lengkap dengan secobek sambal mentah segar
menggiurkan. Suasananya persis seperti naik gunung, penuh persaudaraan
kendati tak saling kenal. Mereka pun mengajak makan bersama. Turun bersama,
bahkan mengantarku sampai Terminal Cirendang meski mereka bertujuan
ke Ciamis di arah sebaliknya.
Benar-benar sawer rahmat: berkah persaudaraan, keterbukaan, kebaikan tulus
mengawali tahun baru. Semoga limpahan rahmat ini mampu kuteruskan ke lebih
banyak orang. Bukankah syukur terbaik adalah meneruskan kepada orang lain?

1 comment:

ristsaint said...

wah, mbak, leiburan paskah kemaren aku juga ke sawer rahmat, cuma aku belum sempat nulis dan upload fotonya. kapan2 kunjungi:
javanese-tourism.blogspot.com ya...

makasih