Peluru Yang Sama dari Tragedi Tri Sakti hingga Tragedi Semanggi
“Sekolah disubsidi rakyat, jadi harus berjuang demi rakyat banyak juga....”
Begitu kata-kata Yap Yun Hap yang lekat di ingatan rekan semahasiwanya. Tampaknya tidak berlebihan, mengingat sebagian pendidikannya ia jalani di sekolah negeri, terakhir di SMA 78 Jakarta dan Jurusan Teknik Elektro - Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI).
Tak heran di 1997 diam-diam pemuda kelahiran Bangka ini ikut membela nasib kaum petani. Ketika marak demonstrasi kampus, dengan gagah ia menantang, “Apa gunanya demo di kampus, kalau berani kita keluar.”
Tak pelak ia turut dalam demonstrasi di Universitas Tri Sakti, yang tak jauh dari kediamannya di Gang Mangga XVII.
Bahkan pertengahan Mei 1998 ia pun ikut menduduki tempat wakil rakyat, Gedung DPR/MPR hingga Soeharto lengser.
“Seminggu ia tidak pulang. Demi kebenaran, dia berani,” kata ayahnya, Yap Pit Sing dengan nada bersemangat, tak menutupi rasa bangga pada putra sulungnya.
Sudah barang tentu ini meresahkan hati ibundanya, Ho Kim Ngo, mengingat Tragedi Tri Sakti merenggut empat nyawa mahasiswanya.
“Mati tua, hari ini mati besok orang lupa. Kalau begini (Tragedi Tri Sakti, red), selamanya diingat orang," begitu jawaban Yun Hap ditirukan ayahandanya ketika penulis berkunjung ke kediamannya di kawasan Tanjung Duren.
Tampaknya pemuda kelahiran 17 Oktober 1977 ini tidak salah. Tanggal 23 November 1999 malam, ia menelepon memberitahu kalau tidak pulang, meski ayahnya mendesaknya pulang. Semalaman hati sang ayah gelisah, ada suatu perasaan yang belum hilang karena sembilan hari sebelumnya putra adiknya tewas ditabrak bus.
Namun sebagai karyawan, pukul delapan pagi keesokan harinya ia harus berangkat kerja. Ternyata toko, tempatnya bekerja dibobol perampok dengan menjebol tembok. Seharian pikiran sang ayah tersita pekerjaan. Tapi malam itu ia mengetahui putra sulung menurut pulang, meski kemudian berangkat lagi.
Malang tak dapat ditolak. Sekitar pukul 23 pihak UI menelpon mengabarkan Yun Hap ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sang ayah langsung merasa putra tercintanya sudah tiada.
“Pelurunya 5,6 mili. Penembaknya Kostrad," tegas Pit Sing yang waktu itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri tubuh anaknya terbujur tertembus peluru tajam.
Peluru yang Sama
Yap Yun Hap adalah satu di antara sekian banyak korban impunitas (impunity) republik ini dengan membiarkan penguasa tidak bertanggung jawab atas nyawa rakyatnya. Padahal kasus ini bukanlah kasus yang berdiri sendiri.
“Banyak kemiripan antara Tragedi Semanggi I dan Tragedi Semanggi II. Belum ada penjelasan resmi siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini.”
Inilah kesimpulan Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) Tragedi Semanggi II yang dipimpin Hermawan Sulistiyo.
“Mahasiswa ditembak dengan peluru tajam secara brutal oleh aparat militer. Ini kebijakan institusional dan bukan kesalahan prosedur,” kata Hermawan yang juga peneliti LIPI kepada wartawan waktu itu.
Karena itu, menurutnya, tanggung jawab harus dipikul oleh pimpinan TNI/Polri dan pemerintah atau presiden, bukan oleh komandan pasukan yang melaksanakan kebijakan tersebut.
Bukti bahwa penembakan tersebut merupakan kebijakan institusional, menurut Hermawan, karena jenis peluru dan senjata yang digunakan pada Tragedi Semanggi II sama dengan yang digunakan pada Peristiwa Trisakti, Mei tahun lalu, Semanggi I, November 1998, dan kasus penembakan mahasiswa di Lampung.
“Adanya empat kasus dengan menggunakan peluru tajam tidak bisa dikatakan lagi sebagai kesalahan prosedur,” tegas Hermawan.
Dari tes proyektil, terlihat bahwa sebelum mengenai Yap Yun Hap, peluru tajam tersebut mengenai benda lain dan memantul. Ini, menurut kesimpulan TPFI menunjukkan penembakan dilakukan secara membabi buta dan tidak mungkin dilakukan oleh penembak jitu (sniper) dari kendaraan lain.
Dari peluru itu juga disimpulkan bahwa senjata yang digunakan diduga jenis SS1, Steyr atau M16-A1.
Hal itu sejalan dengan kesimpulan tim forensik FKUI yang dipimpin Budi Sampurno, yang mengatakan peluru yang bersarang ditubuh Yap Yun Hap bukan berasal dari pistol. Berdasarkan pengujian, peluru berasal dari senjata laras panjang.
“Kemungkinan peluru tersebut ditembakkan dari senjata jenis SS1,” kata Budi. Peluru yang bersarang di tubuh Yap Yun Hap memiliki panjang 20,9 mm dengan diameter 5,6 milimeter (mm) dan berat 3,6365 gram. Kesimpulan tim forensik FKUI ini diserahkan Budi kepada Komandan Pomdam Jaya Kolonel Mungkono (Majalah Panji No.26/Tahun III, 13 OKTOBER 1999).
Ada Dalangnya
Lebih dari delapan tahun sudah Tragedi Tri Sakti, Semanggi I dan II berlalu, tanpa ada kemajuan yang berarti. Sama seperti tragedi yang lain, sebatas prajurit yang diadili, kalau tidak sekedar janji-janji berbagai institusi.
“Kita terbentur di DPR. Mereka semua partai. di bibir saja bela rakyat. Kenyataannya (rakyat) mau mampus, mampus saja,” sergah Yap Pit Sing dengan nada tinggi.
Ia menilai mahasiswa masih lugu, dipermainkan politik.
“Mahasiswa jadi tumbal,” tegas Pit Sing.
Menurutnya, tanpa mahasiswa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Megawati tidak bisa menjadi presiden. Tapi keduanya tidak pernah mengurusi mahasiswa, bahkan tidak mengubris macam Tragedi Semanggi, orang hilang dan sebagainya.
Padahal, tuntutan keluarga korban sederhana, ibarat film pasti ada sutradaranya. Ibarat wayang, ada dalangnya.
“Prajurit tidak bisa menembak seenaknya. Kita kerja saja, diperintah bos, ya bos yang tanggung jawab. Kan tidak masuk akal kalau prajurit. Kami mau keadilan,” tegas Yap Pit Sing.
Ho Kim Ngo dan Yap Pit Sing menjadi satu di antara puluhan atau bahkan ratusan keluarga-keluarga korban yang marah, terluka dan prihatin atas kematian buah hatinya. Hampir satu dasawarsa lelehan airmata para orangtua tak sedikit pun melunakkan kekerasan hati para politisi. Gerakan ibu-ibu berdiri dekat pagar istana setiap Kamis meniru ibu-ibu Plaza de Mayo tidak menorehkan belas kasih pada para pencari keadilan yang tak kenal lelah ini.
Meski demikian sejarah telah mencatat anak-anak bangsa yang menyerahkan nyawa bagi rakyatnya. Namun perjuangan saat ini adalah melawan lupa, agar kita tidak melupakan tetesan darah putra terbaik inilah yang menjadi landasan reformasi saat ini. Semoga.
Perjuangan saat ini adalah melawan lupa!
Tulisan ini telah dimuat di Majalah "Suara Baru" Perhimpunan INTI, Desember 2007
Wednesday, January 2, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment