Wednesday, January 30, 2008

Semarang dari Peninggalan Kolinial ke Pecinan

Keluar dari rutinitas, menikmati hari yang berjalan melambat merupakan
kemewahan tersendiri. Apalagi tak banyak kaumku yang bisa melakukan sebebas
diriku, sebuah 'priviledge'. Terlebih ketika di tengah jalan kutemui
mbok-mbok dengan kain jarik dan kebaya terbungkuk-bungkuk memanggul bakul
dagangan di punggungnya yang kurus.
Sementara aku dengan ransel dari Hotel Candi Sari di Jalan Wahidin
(Sudirohusodo, untuk tidak mengurangi rasa hormat pada pahlawan pendiri
Boedi Oetomo ini :), kususuri jalan menuju kompleks tua sekolah Don Bosko.
Dari depannya, naik bis tiga perempat menyusuri Jalan S.Parman yang berliku
dan berkontur perbukitan dengan rumah mewah menjulang di kiri-kanan jalan.

Turun di Tugu Muda, gereja tua Stela Maris (?) dan gedung tua yang
mengitari tugu itu mengajak memasuki suasana peninggalan Kumpeni Walondo
(VOC maksudnya :).
Pohon-pohon asam rindang mengiringiku menapaki trotoar kanan jalan sejajar
Balaikota yang rapi dan lumayan lebar dengan paving-block merah tua yang
relatif teduh. Sekali lagi pohon asam peneduh peninggalan Walanda.
Kecuali DP Mall, bangunan di kiri-kanan Jalan Pemuda ini masih kuat
menggambarkan peninggalan kolonial Belanda, terutama kompleks TK
Kanak-Kanak Yesus, SD-SMP-SMA Marsudirini (?), Kompleks Kodam Diponegoro,
Balaikota dengan puluhan pilar kelabunya.
Sebuah Tourist Information Centre (TIC) di samping SMA 5 'menggodaku' untuk
menengok promosi Semarang Pesona Asia. Gedungnya gelap tanpa penyejuk udara
dengan dua mbak petugas biro perjalanan tengah kipas-Kipas. Petugas perlu
diteriaki dulu untuk muncul di balik booth-nya yang berisi brosur iklan
hotel swasta dan foto lugu anak Dieng. Peta Semarang yang kuhendaki muncul
setelah dicari-cari sekian lama. Itu pun selembar peta kecamatan dengan
nama jalan yang tak jelas plus 14 foto lokasi wisata yang ditawarkan. Peta
yang 'makro' dan tidak informatif. Tampaknya Dinas Pariwisata & Kebudayaan
Kota Semarang patut belajar dari Lonely Planet untuk menyajikan apa, dimana
dan bagaimana menuju obyek wisata.
Di persimpangan yang membelah Jalan Pemuda, ada bakal mal dengan Hypermart
yang bakal tidak 'matching' dengan peninggalan kolonial serta 'mengacaukan'
perekonomian tradisional Pasar Johar tak jauh darinya.
Terus ke utara tampak baliho "Gong Xi Fat Cai" di atas toko terkenal zaman
Orba Sri Ratu yang meredup tanpa reformasi. Toko Oen yang kutuju di
seberangnya tampak tutup rapat 'bedak' kayunya. Alamat perut keroconganku
(atau bahkan sudah ganti heavy-metal) bakal kian merongrong (atau mem-bona)
minta diisi. Beneran, Toko Oen tutup, menyiapkan pesta anaknya. Hiks :(
Tanpa bayang-bayang, mentari tegak lurus bak langsung membakar ubun-ubunku
lepas dari Jalan Pemuda. Sekitar Pasar Johar yang (masih tetap) ruwet dan
ramai seperti biasa tak ramah buat pejalan kaki. Dari Jalan Pedamaran, Gang
Warung menyajikan suasana Pecinan yang terasa akrab seperti Kawasan Kembang
Jepun di Surabaya dalam ingatan masa kecilku. Bau hio dengan pintu kayu
jati coklat tua kadang berjeruji besi khas zaman bahuela. Jalanan
paving-blocknya masih rapi.
Begitu berbelok melihat sungai dengan replika Kapal Cheng Ho mengapung
seperti terdampar di Gang Lombok, peluh dan letih serasa impas.
Es Campur Gang Lombok dengan ingridient cincau, degan (kelapa muda), kolang-kaling serta manisan mangga dan
manisan nenas yang asam-asam lezat luar biasa di tengah terik siang itu.
Naga perutku pun tenang dengan mie Siang Kie Gang Lombok 10. Minyak
nguik-nguik melapisi mie langsing ala spagheti dengan condiment cacahan
ayam (biasa), irisan telur dadar dan bakso goreng udang yang lumayan
generous. Sst ini tidak obyektif, lagi lapar dan belum sarapan karena
kesiangan.
Perut kenyang, hati senang, duduk manis aku mengetikkan ini di N9300 dengan
pemandangan kali berpagar gaya China lengkap keramik berukir pasangan
burung hong (Phoenix) dan naga.

Sekolah Gratis
Tujuanku selanjutnya adalah Taman Nak-Kanak (TN alias TK) Kuncup Melati dan
Sekolah Dasar (SD) Khong Kauw Hwee dengan status disamakan.
Gedung beton tiga lantai itu persis di samping Kelenteng Gang Lombok.
Dari balik pagar seperti pembatas jalan, wow tembok sekolahnya berwarna
merah dan kuning plus hiasan lampion kertas mungkin bikinan siswanya yang
membuat makin semarak. So Chinese! Warna kemuliaan dan kemakmuran, bagiku terlalu kontras. Mungkin tidak untuk mata bocah-bocah.
Ada dua kelas TK A dan TK B di lantai dasar plus mungkin ruang guru atau
kantor sekolah, lantai dua dan tiga masing-masing kelas SD.
Ada ring basket di halaman dengan beberapa bocah ceking berkulit sawo
matang bermain di sana. Sekolah sudah usai, aku tiba terlalu siang, lupa
kalau Sabtu.
Muhammad (tampaknya begitu kalau kupingku tidak sombong alias budek) salah
satu bocah yang kutanyai. Ia mengaku salah satu dari 28 murid kelas VI,
yang sekolah di sana sejak TK, gratis! Paling tidak 7-8 tahun ia menikmati
sekolah gratis.
Menurutnya, teman sekolahnya dominan Jawa dan beragama Islam, sementara
gurunya dominan Tionghoa beragama Kristen, Katolik atau Buddha. Sebuah
cross cutting system yang indah! Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya.
Lulus SD, Muhammad berencana meneruskan ke SMP Mataram (Kuomingtang) yang
bisa gratis untuk murid the big five-nya. Dengan demikian paling tidak ia
bisa merampungkan pendidikan dasarnya, untuk beranjak dari kemiskinan
orangtuanya yang kuli.

Semarang, 26 Januari 2008

No comments: