Sunday, July 29, 2007

Too Much Love

Too much love will kill you, anytime...
Begitu lirik sebuah lagu. Tampaknya memang benar,
terlalu mencinta bisa berujung negatif mulai dari
posesif sampai tidak saling memperkembangkan.
Seperti orangtua yang terlalu melindungi anaknya
atas nama cinta. Kendati anak sudah besar masih
dibantu terus hingga tidak mandiri. Ini bisa
menjadi keegoisan, karena orangtua akan tetap
merasa dibutuhkan. Pahadal cepat atau lambat
orangtua akan meninggalkan mereka ke alam baka dan
cepat atau lambat anak juga seharusnya meninggalkan
orangtua untuk membangun rumahtangga sendiri.
Demikian juga dengan dua hubungan dua insan yang
jatuh cinta, kerap mengawali dengan saling tergantung,
merasa dibutuhkan dan sebagainya.
Dulu Romo Is menggambarkan biduk cinta seperti dua
batang rel, kalau terlalu dekat jaraknya, kereta
akan mudah terguling.
Kahlil Gibran menggambarkan dengan perumpanan pilar.
Tiang yang amat berdekatan tak menyanggah dengan baik.
Cinta yang 'sehat' berjarak, seperti Gibran mengatakan
gunung nampak agung dari kejauhan.

Jakarta, 27 Juli 2007

Wednesday, July 25, 2007

Altruisme

Dari sudut pandang psikologi sosial, secara skeptis
memandang tak ada manusia yang benar-benar altruis
(alter = orang lain).
Sepenuhnya berbuat baik demi orang lain, tanpa
pamrih. Sekecil apa pun, kendati dalam hati atau
suatu saat nanti, ia mengharapkan 'balasan'.
Mulai ucapan terima kasih nyata dan penghargaan
yang kasat mata, hingga 'ganjaran' janji surgawi.
Atau semacam 'investasi'. Kelak suatu waktu nanti
orang itu ingat atau orang lain melakukan hal yang
sama. Di sini termasuk karma baik, Hukum Tabur-Tuai,
siapa menabur kebaikan akan menuai kebajikan.
Atau secara psikologis, berbuat baik menimbulkan
perasaan nyaman, mengindarkan dari dosa dan
melaksanakan perintah agama serta nasihat orangtua.
Bukankah berbuat kebaikan dan memperjuangkan
kemanusiaan kerap didengungkan sebagai salah satu
sumber kebahagiaan dan kedamaian hati?
Karenanya, aku jarang merasa benar-benar berbuat
baik. Yang acap kali terjadi sebenarnya semacam
transaksional, orang demikian baik padaku sehingga
aku membalas kebaikan mereka atau sebaliknya.
Impas jadinya!

Jakarta, 22 Juli 2007

Bridge Brain

Seperti halnya kaum Adam, aku menikmati tontonan bola sebagai hiburan.
Ini semacam 'mengistirahatkan' otak dari kerja rasional-mekanis.
Juga kegemaranku memindah-mindah saluran televisi. Konon cowok tak
bisa
dijauhkan dari remote control, menurut Michael Gurian peneliti cara
kerja otak kaum Adam dan Hawa.
Rasanya aku bukan tipikal cewek banget. Aku juga tidak menikmati
ajang curhat habis-habisan atau menggosip sepanjang hari sesama kaum
Hawa. Bagiku ngobrol 'omong kosong' itu sarana sosialisasi belaka, yang
kutinggalkan
manakala menjadi 'idle talk'.
Mungkin ini yang Gurian sebut sebagai 'Bridge Brain' antara 'Female Brain'
dan 'Male Brain'.

Jakarta, 18 Juli 2007

Simbiosis

Biologi memberi pelajaran arif bagi kehidupan
sehari-hari dengan sesama makhluk hidup.
Ada tipe hubungan pertama yang bernama Simbiosis
Mutualisme, hubungan yang saling menguntungkan.
Para pihak berupaya memberi kontribusi bersama
yang konstruktif bagi kehidupan.
Kalupun tidak bisa memberi sumbangan apa pun,
setidaknya hidup tidak menyusahkan pihak lain.
Ini yang bisa dipetik dari kehidupan Anggrek
yang menumpang pada batang pohon-pohon dengan
Simbiosis Epifit-nya.
Hubungan terakhir kerap menyebalkan dan acap
terjadi entah disadari atau tidak. Tanpa ikut
bersusah payah, tanpa mempunyai andil, satu pihak
begitu saja ikut menikmati atau tepatnya
menggerogoti jerih payah pihak lain.
Ini semacam benalu dalam Simbiosis Parasitisme.

Jakarta, 19 Juli 2007

Monday, July 16, 2007

Density & Crowded

September 2003 kelas IIC (setingkat lebih tinggi dari
kelas III) Rumah Sakit Cikini yang kuinapi berisi tiga
tempat tidur dengan sebuah televisi dan pendingin
ruangan, kamar mandi. Itu pun sebuah pemandangan
menghadap taman berumput hijau menjadi penyedap mata.
Kini, awal Juli 2007 kelas IIC yang kuhuni terletak
di Gedung M di atas ICU/ICCU menjorok ke belakang.
Sebuah kamar, tepatnya bangsal berisi enam tempat tidur
tanpa televisi, dengan kamar mandi di luar. Itu pun kamar
didesain dengan delapan tempat tidur bersekat gorden.
Jangankan taman, sebuah balkon jendela pun tak ada.
Jelas ada faktor inflasi dan keekonomian lainnya.
Namun yang terasa adalah kepadatan (density) dan
keberdesakan (crowded), hanya dari gambaran sebuah
bangsal. Jelas ini belum mencerminkan keberdesakan hunian
Jakarta dengan melangitnya harga tanah bagi sekitar
7-8 juta jiwa penghuninya (malam hari).
Semua makin mahal, tak ada yang murah apalagi ruang hidup
di Jakarta.

RS PGI Cikini Jakarta, 3 Juni 2007

Mahalnya Ongkos Sakit

Sakit di Indonesia, terutama di Jakarta, teramat mahal.
Jangankan untuk orang miskin, bagi kalangan menengah
pun bakal terasa mahal.
Sebagai gambaran, satu ampul (obat suntik) Antibiotik
Bioxin untuk typhoid (typhus) mencapai Rp 180.000 lebih.
Ada sih jenis antibiotik lain yang jauh lebih murah
sebagai obat minum (oral), misalnya Thiamphenicol.
Alhasil kalau Bioxin bisa satu minggu, Thiamphenicol
butuh waktu dua minggu penyembuhan.
Betul-betul time is money, healthy is money too!

RS PGI Cikini Jakarta, 3 Juli 2007

A Kind of Habit

Kebiasaan-kebiasaan kecil yang dulunya dipaksakan orangtua
kita, ternyata bisa terasa 'menyenangkan' ketika dewasa.
Apalagi setelah sekian lama dan sempat tidak bisa dilakukan
lagi.
Sepertinya musti ada rasa kehilangan dulu untuk merasakan
nikmatnya. Kadang ironis juga, harus 'kehilangan' dulu untuk
menghargai kebiasaan kecil itu.
Kebiasaan kecil yang sederhana itu seperti gosok gigi sempat
tidak mampu kulakukan ketika virus Typhoid menyerang sistem
pencernaanku.
Jangankan gosok gigi, untuk kumur pun sudah terasa mual.
Air pun seakan memicu pengurasan isi lambung yang sudah
tak terisi sekian hari.
Tak satu pun obat oral masuk dengan sukses ke dalam lambung
lebih dari beberapa jam. Bahkan cairan infus Ringer Laktat
pun memicu tumpah kesekian kalinya dalam semalam.
Benar-benar pengurasan dan pengurusan tubuhku yang tinggal
selembar. Aih dahsyatnya typhoid!

RS PGI Cikini Jakarta, 30 Juni 2007

Symbolic Violence

Dalam "Interests, Ideas and Islamist Outreach in
Egypt",
Carrie Rosefsky Wickham menggambarkan
mobilisasi kelompok reformis Islam seperti
Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) di wilayah
Sha'bi, Mesir.
"We read what we respect - religion only... Novels
and
others
nonreligious books can be read as long
as they don't contain anything agaist
religion -
stories about sex are forbidden, for example,"
kata perempuan yang Wickham wawancarai.
Wickham menulis Islamis Mesir mempertahankan
keyakinan akan eksistensi kebenaran dengan 'Truth'
yang memisahkan diri dari yang lain.
"We isolate ourselves from bad people," kata mereka.
Meski tidak secara fisik, isolasi ini membentuk
eksklusivisme dan menampik (monopoli) kebenaran
dari luar.
Ini bisa menjadi kekerasan simbolik yang dalam
bahasa Mas Ichsan dapat sejengkal lagi sebagai
pembenaran menjadi kekerasan fisik.
Di 1992 Wickham mengutip koran Akhir Sa'a menyebutkan
beberapa masjid di Kairo Besar dan Mesir Atas
mengeluarkan fatwa yang melarang fotografi, musik,
film dan televisi.
Sepanjang 1980-1990 kaum radikal bahkan membom toko
video, klub malam dan tempat tetirah yang dipandang
mendorong dekadensi moral.

Jakarta, 23 Juni 2007
Dari bahan kursus "Aktivisme Islam sebagai Gerakan Sosial"

Sunday, July 15, 2007

Devaluasi Gelar

Carrie Rosefsky Wickham dalam "Interests, Ideas and Islamist
Outreach in
Egypt" memperlihatkan sebuah 'devaluasi' gelar
universitas dan kedudukan pekerja kerah putih di komunitas
jaringan Muslim Mesir.
"Knowledge for us is knowledge of religion. Religion includes
and
encompasses all other kinds of knowledge," kata perempuan
berkerudung di lingkungan Sha'bi.
Wickham menyebutnya transvaluation nilai-nilai yang
menjungkir-balikkan prioritas yang menuntun aksi individu.
Perempuan yang diwawancarai mengatakan prioritas pertama
perempuan adalah di rumah. Mereka menilai pekerjaan yang
layak bagi Kaum Hawa ialah pendidikan dan kesehatan.
Kendati pilihan, ini menjadi semacam legitimasi bagi
pembatasan perempuan dan domestifikasi.
Terlebih lagi ini terjadi kelompok menengah ke bawah.
Apakah ini tidak akan membawa 'keterbelakangan' menghadapi
perdagangan bebas?
Tanpa gelar dan kedudukan sekular, apakah mereka bisa
berkompetisi dengan pekerja asing yang bakal menyerbu ke
seluruh penjuru negeri?
Apakah ini tidak menyebabkan brain drain?

Jakarta, 23 Juni 2007