Friday, April 18, 2008

Sebuah Kompromi Ketika Bumi Tak Bisa Menunggu

Jakarta – Masih segar dalam ingatan hasil Konforensi Para Pihak (COP) ke-13 Konvensi Kerangka kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, 15 Desember lalu. Kendati terbilang sukses menggulirkan perundingan dua tahun untuk membicarakan kelanjutan Protokol Kyoto yang berakhir 2012, Peta Jalan Bali tidak dapat memasukkan sasaran jangka menengah pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) 25-40 persen dari tingkat 1990 untuk tercapai di tahun 2020.
Dari awal Amerika Serikat (AS) bersikukuh tak ada sasaran angka, baikan besaran maupun kurun waktu dalam dokumen akhir UNFCCC itu. Banyak yang berharap pada pengganti Pemerintahan Bush, menjadi mitra perunding baru yang terpilih dalam pemilihan presiden AS November mendatang.
Namun dalam perundingan yang krusial ini bukan masalah perubahan iklim an sich. Perundingan itu akan menjadi pisau bermata dua sebagai senjata untuk daya tawar politik dan ekonomi bagi hampir 190 negara yang terlibat.
Ini terbukti dengan keluarnya kata-kata sanksi perdagangan bagi negara-negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok 77 (G77) plus China. Pasalnya di sana ada China dan India yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi Asia yang tengah meroket, namun haus energi dan bakal menghasilkan emisi pula.
Perundingan perubahan iklim ini ditargetkan mencapai kesimpulan dalam COP ke-15 di Copenhagen, Denmark di 2009. Sementara di Rio de Janeiro akan mulai bergulir Konvensi Keanekaragaman Hayati mulai 2008 yang bakal pararel dengan perubahan iklim tadi.

Tak Bisa Menunggu
Saat ini saja, para ilmuan sudah menyatakan tren emisi GRK terus menanjak. Ilmuan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah mengingatkan agar suhu permukaan global tidak naik lebih dari dua derajat Celsius, maka tren kenaikan emisi GRK harus sudah mencapai puncak 10-15 tahun lagi.
Padahal angka IPCC relatif moderat. Tak heran kalau Presiden Global Coral Reef Alliance, Thomas J. Goreau menilai IPCC menyepelekan peningkatan suhu yang bakal terjadi. Menurutnya pemodelan IPPC mengambil dari dugaan, bukan rekaman masa lalu seperti yang ia lakukan.
“Pemanasan global lebih cepat daripada yang IPCC perkirakan dan akan lebih buruk ketimbang pemodelan,” kata Goreau yang bekerja untuk konservasi terumbu karang ketika SH temui di Pemuteran, Buleleng, beberapa waktu lalu.
Ia menandaskan saat ini pemanasan global sudah di luar kendali dan pemasan tidak boleh berlanjut.
“Terumbu karang dan pulau-pulau kecil yang rendah sudah tidak dapat lagi memanggung kenaikan suhu. Ini akan memicu bencana kematian massal terumbu karang,” tegas Goreau yang turun-temurun dari kakek dan ayahnya pakar ekosistem laut.
Ia juga mengungkapkan kalau pemanasan global naik satu derajat Celcius lagi di permukaan air laut, maka akan memicu pemutihan (bleaching) terumbu karang. Ia mengingatkan kalau suhu sampai naik dua derajat Celcius lagi, akan terjadi kematian massal terumbu karang di dunia.
“Beberapa tahun lagi daerah yang mendapat arus laut lebih panas, akan segera mengalami keambrukan perikanan, karena biota yang menjadi makanan ikan tak ada lagi,” tambah Goreau yang meraih doktor biogeokimia dari Harvard dan master astronomi dari California Technology.

Kian Miskin
Masalahnya bukan sekedar ramalan, tapi pemanasan global ini sudah terjadi kini dan di sini, di planet bumi yang semata wayang sebagai tempat tinggal makhluk hidup. Dampak pemanasan global berupa banjir, kekeringan, meningkatnya badai dan berbagai cuaca ekstrim lainnya telah terjadi nyaris di seluruh belahan bumi, tanpa terkecuali.
Hampir seluruh bencana alam yang terjadi belakangan berkaitan dengan perubahan iklim. Untungnya negara-negara maju memiliki mekanisme jaring pengaman sosial dan kesiapsiagaan dibantu teknologi canggih untuk peringatan dini, pertolongan dan sebagainya. Tapi negara berkembang?
Apalagi negara-negara seperti Afrika yang sekarang saja sudah rawan kekeringan dan berbagai bencana kemanusiaan seperti kelaparan dan sebagainya. Apakah negara kurang berkembang tidak kian terbelakang?
Sementara negara berkembang yang sudah membangun dengan susah payah, begitu diterjang badai atau banjir, apakah tidak mundur kembali ke jurang kemiskinan? Tak heran banyak pakar mengkhawatirkan tujuan pembangunan milineum - berupa pengurangan kemiskinan di 2015 menjadi separoh – bisa diterjang perubahan iklim ini. (mega christina)

Wednesday, April 16, 2008

Anak Yang Tumbuh, Namun Tidak Berkembang


Jakarta - Dalam usianya yang menginjak lima tahun lebih, Mawar (bukan nama
sebenarnya) telah meninggalkan masa balita. Ia telah beranjak dari masa
di bawah lima tahun yang dijuluki tahun keemasan (the golden years), yang diyakini sebagai masa perkembangan otak dan kecerdasan anak pesat-pesatnya.
Secara fisik, Mawar tak ubahnya anak-anak lain. Ia tumbuh, bertambah tinggi dan bertambah berat badannya. Meski ia tergolong sedikit kurus karena asupan gizi yang tak seimbang (kualitas) dan tak jarang kurang memadai (kuantitas) pula. Pada dasarnya Mawar tumbuh secara fisik.
Dengan tubuh sebesar itu ternyata perkembangan motorik seperti melipat kertas, jari-jemari memegang dan menggerakkan pensil serta kemampuan motorik halus yang lain Mawar tampak kurang terlatih.
Apalagi berhitung. Mawar baru bisa sebatas angka dengan satu tangan alias tak sampai angka 10 secara berurutan dengan benar. Bahkan untuk membedakan nuansa warna, bentuk, besar-kecil dan pemahaman dasar batita (bawah tiga tahun) pun, Mawar tergolong kurang.
Layaknya bunga, Mawar tumbuh secara fisik, namun tidak berkembang.

Perkembangan
Elizabeth B. Hurlock membedakan pertumbuhan dengan perkembangan. Kalau pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif, yaitu peningkatan ukuran dan struktur. Tidak saja anak menjadi lebih besar secara fisik, tapi ukuran dan struktur organ dalam dan otaknya juga meningkat.
Sebaliknya perkembangan, berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif maju (progresif). Ia menegaskan tujuan perkembangan ialah realisasi diri, upaya untuk menjadi terbaik secara fisik dan mental.
Perkembangan meliputi perkembangan emosi, mental, motorik, sosial bahkan perkembangan bermain.
Hurlock menyebutkan pentingnya perkembangan emosi tahun-tahun pertama anak akan menentukan penyesuaian pribadi dan sosial kelak dewasa nanti. Keterlantaran emosional - anak tidak mendapat pengalaman emosional yang menyenangkan - akan berada dalam kondisi 'lapar emosional' yang dapat menyebabkan perkembangan fisik, mental dan sosialnya terhambat.
Belum lagi ketertinggalan yang lain dalam perkembangan sosial, motorik, bermain anak akan mendatangkan kegagalan.

Akibat Serius
Kegagalan menguasai tugas perkembangan, menurut Hurlock, dapat menimbulkan akibat serius mulai dari anak merasa rendah diri, sampai timbul ketidaksetujuan sosial yang kerap disertai penolakan sosial. Yang lebih parah kegagalan ini akan menyulitkan tugas perkembangan baru (selanjutnya). Setiap tahun anak kian mundur karena tidak ada dasar yang diperlukan untuk membangun selanjutnya.
Alhasil ini akan ikut mempengaruhi kebahagiaan anak. Hurlock berpendapat ketidakbahagiaan membahayakan penyesuaian pribadi dan sosial anak.
Dengan demikian, anak tidak cukup hanya diberi makan untuk tumbuh, tapi juga dikasihi dan diperhatikan untuk dapat berkembang secara emosi, motorik, sosial, dan sebagainya. Agar tidak menjadi Mawar yang tumbuh tapi tidak berkembang, orangtua dan masyarakat bahkan negara yang patut dilindungi dengan mewujudkan hak tumbuh-kembang setiap anak. Sesuai Undang-undang Perlindungan anak, tumbuh-kembang adalah hak anak. Perlu upaya lebih besar lagi untuk mewujudkan hak tumbuh-kembang anak ini. (mega christina)

Sunday, April 13, 2008

Energy Concern

Dari membuka mata hingga menutup mata kembali, orang akan mengkonsumsi
energi dengan maupun tanpa mereka sadari. Bahkan dalam tidur pun, energi
makanan diubah menjadi sel-sel baru tubuh.
Dari bangun pagi, mandi tinggal putar kran air, orang (kota) tidak
menyadari air tanah atau air PAM harus dipompa menggunakan listrik yang
dibangkitkan dengan energi primer atau bahan bakar fosil. Semakin air yang
dipakai, kian banyak energi yang dibutuhkan.
Demikian pula untuk makanan, makin banyak yang dikonsumsi, semakin banyak
juga energi yang diperlukan. Menurut Redefining Progress
(www.myfootprint.org), konsumsi daging global menghasilkan 18% emisi gas
rumah kaca (GRK) dunia. Bukankah daging memang lebih lama diolah ketimbang
sayuran?
Ada berbagai pola makan dan gaya hidup keseharian yang berpengaruh terhadap
konsumsi energi kita. Andai semua orang membutuhkan mobil pribadi, rumah
besar dengan pola konsumsi negara maju, 6 miliar manusia butuh 1,5 bumi.
Entah setengahnya lagi kita dapatkan darimana, kalau sudah melebihi
kapasitas bumi untuk menanggungnya?
Mengurangi konsumsi makanan, berkendaraan pribadi, menghemat air dan semua
produk, memperpanjang usia seluruh barang, memilah sampah, dan tindakan
ramah lingkungan lain dapat menyelamatkan bumi kita. Setidaknya kita
membantu bumi memperpanjang regeneratifnya, mengurangi emisi GRK, sehingga
menghambat kenaikan suhu permukaan hingga mencegah pemanasan global.
Perubahan kecil gaya hidup kita akan berarti besar bagi bumi kita. Small
things add up!

Jakarta, 12 april 2008

Harga Melambung

Harga minyak mentah dunia sejak Januari 2008 tembus di atas US$ 100 per
barel, bahkan meroket ke rekor tertinggi mendekati US$ 112 per barel di
NYMEX, Amerika Serikat (AS) pekan ini.
Tingginya harga minyak memicu orang beralih ke biofuel (bahan bakar
nabati/BBN), sehingga minyak kelapa sawit mentah (CPO) ikut melambung.
Minyak mentah yang menjadi bahan baku petrokimia dan produk derivatifnya,
mendorong harga pupuk kimia meningkat.
Sementara krisis kredit perumahan AS (subprime mortgate) melemahkan dolar
AS, sehingga investor beralih ke bursa komoditas baik logam maupun pangan.
Gandum, beras dan biji-bijian naik sekitar 50% dibanding tahun lalu. Kini
tak ada lagi harga mie instan di bawah seribu perak.
Gorengan yang tahun lalu masih seribu dapat tiga, sekarang cuma dapat dua,
bahkan ada yang Rp 2.000 dapat tiga.
Minyak goreng operasi pasar Lebaran 2007 masih kubeli dengan harga RP
6.500/liter, kini harga sudah dua kali lipat.
Kalau perut rakyat terancam, apakah gizi buruk tak akan bertambah? Jika
urusan perut saja kian susah, apalagi yang lain? Bagaimana negara ini bisa
maju?

Jakarta, 10 April 2008

Thursday, April 10, 2008

Food is Heaven

Melihat penjual es keliling lewat, ingatanku terbang pada belasan tahun
lampau ketika Mama Papa kerap membelikanku dan adikku ice cream Tutty
Fruity. Berbentuk kotak, penjualnya menyebut es blok dengan rasa buah leci
dan irisan buah yang rasanya yahud, tiada duanya. Meski berbeda, aku
mengenang rasa ini di Ragussa ice cream yang sama jadul-nya.
Penjual es itu membawanya dari Kota Malang, lebih dari 150 kilometer dari
tempat kelahiranku. Sama halnya dengan ice cream modern Swensen dan roti
tawar kupas Frans (zaman itu belum ada di kota kecil kami) yang kusukai
ketika berlibur ke Surabaya.
Sebagai keturunan leluhur yang menghargai kuliner, Keluarga Besar kami
sangat cermat mengenai kualitas makanan. Makan bukan sekedar mengenyangkan,
lebih dari itu bagian dari budaya. Tradisi makanan Tionghoa yang kaya dan
pelik dengan segala coraknya menjadi warisan bagi kami.
Pola makan berseling panas dan dingin (macam yin yang makanan), mulai dari
appetizer, soup, main course hingga desert dengan kandungan yang
benar-benar kaya serta beragam.
Jelas ini telah melampau taraf subsisten, sehingga tak jarang Omib
menyebutku 'bourjuis kecil'. Rasanya kalau untuk urusan perut, dia tidak
salah :D

Jakarta, 6 April 2008

Tuesday, April 1, 2008

Under The Shadow

Di bawah sorotan terik matahari, berlindung di bawah bayang-bayang gedung atau pohon besar, akan terasa nyaman. Ini tak ubahnya ketika kita berlindung di bawah bayang-bayang kebesaran seseorang, bayang-bayang itu bisa kita banggakan dan kita agungkan.
Namun dengan berlindung di bawahnya, kita tak memiliki bayang-bayang atau tenggelam di bawah bayangan yang lebih besar.
Ini jelas suatu tantangan besar untuk keluar dari bayang-bayang, keluar dari zona nyaman untuk menantang terik mentari, menantang dunia nyata.

Thamrin-Jakarta, 2 April 2008

Broader Perspective

Keluar kantor, awan mendung gelap telah menyelimuti langit. Bahkan di arah selatan, mega hitam berbaur dengan kilatan petir menggores vertikal yang beraturan.
Suasana kelabu dan berdebu membuat hati melankolis. Namun lepas dari gedung-gedung tinggi, langit barat masih semburat jingga dengan mega-mega putih dan di utara langit masih membiru.
Ternyata ketika kita melebarkan perspektif, kondisinya tak seburuk yang kita sangka, terutama ketika hati kita dilanda prahara.

Jakarta, 1 April 2008