Melihat penjual es keliling lewat, ingatanku terbang pada belasan tahun
lampau ketika Mama Papa kerap membelikanku dan adikku ice cream Tutty
Fruity. Berbentuk kotak, penjualnya menyebut es blok dengan rasa buah leci
dan irisan buah yang rasanya yahud, tiada duanya. Meski berbeda, aku
mengenang rasa ini di Ragussa ice cream yang sama jadul-nya.
Penjual es itu membawanya dari Kota Malang, lebih dari 150 kilometer dari
tempat kelahiranku. Sama halnya dengan ice cream modern Swensen dan roti
tawar kupas Frans (zaman itu belum ada di kota kecil kami) yang kusukai
ketika berlibur ke Surabaya.
Sebagai keturunan leluhur yang menghargai kuliner, Keluarga Besar kami
sangat cermat mengenai kualitas makanan. Makan bukan sekedar mengenyangkan,
lebih dari itu bagian dari budaya. Tradisi makanan Tionghoa yang kaya dan
pelik dengan segala coraknya menjadi warisan bagi kami.
Pola makan berseling panas dan dingin (macam yin yang makanan), mulai dari
appetizer, soup, main course hingga desert dengan kandungan yang
benar-benar kaya serta beragam.
Jelas ini telah melampau taraf subsisten, sehingga tak jarang Omib
menyebutku 'bourjuis kecil'. Rasanya kalau untuk urusan perut, dia tidak
salah :D
Jakarta, 6 April 2008
Thursday, April 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment