Monday, January 19, 2009

Ciwidey-Kawah Putih-Situ Patengan-Pantai Jayanti

Menyongsong fajar kami duduk manis di bangku depan, Dedek sudah membawa Starlet-nya memasuki pintu tol Baros ke arah Kopo. Keluar tol menuju Soreang, menyusuri jalan raya padat menuju Ciwidey yang mulai menanjak. Melewati Pasir Jambu, kepadatan perkotaan berganti suasana pegunungan nan hijau menghimbau dengan kabut tipis di tiap tekuk liku jalannya.
Perhentian pertama di Kampung Strawberry, yang cottage-nya sudah fully-booked dan restorannya belum buka. Akhirnya kami cuma 'sarapan' secangkir bandrek untuk menghangat perut yang kosong sedari pagi. Langsung menuju Situ Patengan sembari jelalatan mencari penginapan yang asyik.
Situ Peateng-atengan, tempat mengangan-angan sang pujaan hati, sebuah legenda yang membalut telaga dengan pulau cinta-nya.
Kembali ke arah Rancabali, Cottage Walini dan Resort Patuha penuh. Kami berkejaran dengan mentari sebelum makin tinggi menuju Kawah Putih. Danau kawahnya putih kehijauan tosca nan menawan, sebuah warna harapan di penghujung tahun.
Lewat tengah hari, hawa panas kian intens kami melepas lelah dan makan siang di saung Sindang Reret tak jauh dari sawah dengan padi yang berbulir menjelang menguning. Suasana pedesaan terasa lengkap dengan gaya baju petani pramusaji yang membawakan makanan dengan rantang jadul dan wadah keramik tanah liat beralaskan daun dan membawa kembali dengan pikulan khas petani. Di tengah lapangan rumput yang hijau asri, ada beberapa pasang enggrang dan peralatan lomba sandal teklek. Santai dan ceria dengan anak-anak bermain.
Sementara mendengar kata pantai, kuping Dedek sudah berdiri dan keukeh ke selatan. Tanpa ada pompa bensin dan uang tunai cukup, kami terpaksa turun lagi ke Soreang ke ATM BRI.
Isi bensis sudah azar, hari cerah untuk melewati tanjakan demi tanjakan selepas Situ Patengan dengan perkebunan teh menghijau sejauh mata memandang hingga selepas Cibuni. Menuruni lereng curam dari kejauhan cucuran air putih curug menghiasi gigir bukit hijau. Sesekali mendung menggantung dengan cahaya mentari bak stairway to heaven di kejauhan di balik bukit, seakan mengatakan selalu ada harapan di balik awan kelam.
Usai 'memberi minum' pada radiator yang mulai kepanasan, bak bekejaran dengan kelam malam, kami menyongsong gemilang senja keemasan di ufuk barat. Begitu rona magenta semburat menghias angkasa, kami 'dipatahkan' jalanan bak kubangan kerbau kilometer enam dari Kecamatan Cidaun. Turun dari ketinggian Cimeang, nyiur pantai masih terlihat melambai-lambai di tengah kegelapan senja. Sayang jubah malam segera mengambil alih petang dengan mendung kelam.
Melewati jembatan balley, jalan menuju pantai riuh reda. Melewati gapura pembayaran tiket dan parkir, bau amis dari perahu nelayan yang berjajar dan tempat pelelangan ikan meruap. Tidak ada pilihan, makan malam new year eve kami bakso kampung dengan mie instan. Penginapan pantai penuh dan pantai terlalu ramai dengan panggung dangdut, kami kembali ke Cidaun dan 'mendamparkan diri' di penginapan kampung Putra Abadi.
Alam berbelas kasihan, menyibakkan mendung dengan sejuta bintang yang gemerlap menghias malam tahun baru. Rasi Orion bermegah di puncak kepala dan si jewel box yang cemerlang dipandang dengan mata telanjang. Benar-benar malam nan indah.

Ciwidey-Pantai Jayanti, 31 Desember 2008

Monday, January 12, 2009

Maju Kena Mundur Kena Lumpur Lapindo

Jakarta – Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo di Sidoarjo (Timnas) mustinya sudah mundur 8 Maret 2007 lalu. Berdasarkan rapat terbatas yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan Timnas diperpanjang alias maju untuk satu bulan lagi, berarti hingga 8 April 2007.
Sementara itu lumpur panas Lapindo tetap mengganas, tanpa mau menunggu kebijakan apa pun yang akan terjadi. Lubang mirip kawah sekitar 150 meter dari Sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc. itu tetap menyemburkan cairan panasnya.
Padahal upaya untuk menghentikan semburan lumpur dengan relief well praktis terhenti, pasca ledakan pipa gas PT Pertamina (Persero) 22 November 2006. Sebelum itu pun satu dari dua relief well sudah ‘parkir’ lantaran tergenangi lumpur.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengaku tidak ada anggaran untuk pengadaan relief well lagi kalau dari pemerintah. Malah Purnomo menyatakan akan meminta badan yang akan menggantikan Timnas nantinya untuk mengurus relief well itu.
“Kita minta kalau ada badan ini, relief well bisa masuk (anggaran badan). Kalau tidak bisa masuk, ya dikerjakan BP Migas (Badan Pengatur Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi). Karena secara engineering judgement tidak ada semburan kayak gini yang tidak bisa dimatikan,” kata Purnomo usai membuka seminar di Departemen ESDM Jakarta, Kamis (22/3).
Di samping BP Migas, Purnomo yang juga Ketua Tim Pengarah Timnas itu menyebut Pertamina bisa mengerjakan relief well itu.
“Masuk anggaran mereka. Itu pun belum pernah terjadi. Masalahnya siapa yg mau bayar?” tambah Purnomo tanpa menjelaskan lebih lanjut dan mengambang.

Ganti Rugi Perumtas
Ini sama mengambangnya dengan sikap Timnas terhadap nasib warga korban luapan lumpur panas Lapindo pasca ledakan 22 November. Terutama warga Perum Tanggulangin Sejahtera (Perumtas) 1 yang menuntut ganti rugi berupa uang (cash & carry) sama dengan warga korban lumpur panas Lapindo sebelum ledakan 22 November.
“Logikanya gini kalau mereka menuntut supaya dapat sama dengan sebelum 22 November, waktu itu ada empat desa yang kita beri ganti rugi. 22 November terjadi ledakan pipa. Ini bukan akibat langsung karena lumpur, tapi karena subduksi penurunan tanah yg sebabkan pipa meledak. Jadi tidak sepenuhnya dibebankan ke Lapindo,” jelas Purnomo.
Menampik membela Lapindo, Purnomo menandaskan itu argumen hukum. Menurutnya, saat ini tidak ada satu pun keputusan hukum yang mengatakan Lapindo bersalah.
“Kalau kita turuti misalnya, pilihannya kan pemerintah atau Lapindo. Kalau dari pemerintah, tidak bisa lebih dari yang dibayarkan di Aceh dan Yogya,” tambah Purnomo.
Ia mengaku pihaknya telah menekan Lapindo habis-habisan, dengan hasil keluarnya relokasi berupa tanah plus Rp 15 juta. Usai menghadiri pertemuan dengan Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Jatim, Purnomo kembali berjanji akan kembali meminta Lapindo agar mau memberikan ganti rugi berupa cash & carry. Baru janji.

Infrastruktur
Yang tak kalah mengambangnya juga soal infrastruktur seperti jalan tol Gempol-Surabaya yang menjadi tulang punggung Jawa Timur (Jatim), dari Surabaya ke selatan dan ke timur maupun sebaliknya. Setelah jalan tol Gempol-Porong lumpuh, praktis perekonomian tersendat.
Kendati Komisi V DPR telah sepakat mengeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), toh Ketua Timnas menyatakan masih ada pemikiran lain. Ia menyebutkan kemungkinan seperti jalan tol itu dibangun swasta.
“Kedua, pokoknya kita (pemerintah) bangun, nanti soal di-reimburse ke Lapindo sambil kita menunggu keputusan pengadilan yang 13 tersangka itu. Sekarang ada tidak ada hukum yang mengatakan Lapindo salah. Orang mengatakan iya (salah), saya katakan iya. Tapi keputusan yang in krach (mengikat) belum,” kata Purnomo.
Harusnya Tim Pengarah mengikuti pendapat Ketua Tim Pelaksana Timnas, Basuki Hadi Moeljono usai rapat persiapan Timnas di Departemen ESDM, Jakarta, Selasa (6/3) lalu. Basuki mengakui badan pengganti Timnas menggunakan dana APBN, namun Lapindo Brantas Inc.masih tetap harus bertanggung jawab.
“Yang penting negara bertanggung jawab, kalau saya. Melihat magnitude-nya kayak gitu itu. Kalaupun negara bertanggung jawab, itu bukan berarti Lapindo lepas tanggung jawab. Misalnya nanti negara mengambil alih, bukan berarti terus lepas. Nanti Pengadilan memutus bersalah, negara berurusan dengan Lapindo, jangan masyarakat berurusan dengan Lapindo,” tegas Basuki.
Sebagai negara hukum, tentu tidak ada satu badan usaha di Indonesia yang tidak tunduk pada hukum di Indonesia. Apalagi penyidikan Polisi akan segera dilimpahkan ke Kejaksanaan. Malah selain itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan banyak pihak lain juga mengajukan somasi terhadap Lapindo Brantas Inc. Mustinya pemerintah tegas untuk menyelamatkan warga serta perekonomian Jatim khususnya dan perekonomian Indonesia umumnya. *

‘Membaca’ Simbol ‘Surga Yang Dijanjikan’ dari Tangan Leonard

Pemutaran Perdana “Promised Paradise”

Jakarta – Setelah tidak lolos sensor dalam the Jakarta Intenational Film Festival (JIFFest) 2006, Promised Paradise akhirnya berhasil tayang. Pemutaran perdananya bukan dengan karpet merah, dengan layar lebar yang gegap gempita, namun di tengah murid kursus “Kekerasan dalam Gerakan-gerakan Islam” di Yayasan Wakaf Paramadina Jakarta, Jumat beberapa waktu lalu.
Kolaborasi sutradara Leonard Retel Helmrich dengan aktor utama Agus Nur Amal membuka ‘Surga yang dijanjikan’ dengan adegan simbolik sebuah pesawat menerjang kotak segipanjang yang berdiri tegak. Sebuah adegan yang langsung mengingatkan Tragedi Menara Kembar WTC, 11 September 2001.
Dengan cerdas, Agus mengeluarkan boneka Osama bin Laden dari dalam kotak persegi tadi. Menyusul adegan kocak boneka Osama menggoyang-goyangkan pinggulnya di bawah sambutan tawa renyah bocah-bocah penonton televisi panggung boneka khas Agus itu.
Lantas layar beralih pada siluet peperangan pada panggung Teater Mandiri Putu Wijaya. Ini mengantar kita kembali menyaksikan dokumentasi bom bunuh diri di Sari Club, Kuta yang kita kenal sebagai Bom Bali I, 12 Oktober 2002.
“Ngebom, untuk apa? Teroris tertawa ria. Dunia kapan akan berakhirnya,” ujar Agus dengan lantunan khasnya, tepat lokasi bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta, 9 September 2004.
Leonard memindahkan setting di Bali dengan gadis Bali menari, Monumen Tragedi Bom Bali I di Kuta menuju tembok tinggi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan. Tampak berbagai upaya Agus menembus birokrasi LP, termasuk dengan simbol uang terlipat yang diselipkan ke tangan petugas. Tak heran kalau Leonard mengerjakan film ini lebih dari dua tahun, 2002-2005 untuk urusan begini.
Kembali dengan simbol, Agus mengetuk dinding tebal penjara memanggil nama Imam Samudra dan Amrozi yang berada di dalamnya. Seakan nabrak tembok, dengan langkah gontai Agus menemukan cakram video “Aku Melawan Teroris” oleh Imam Samudra justru di pedagang kaki lima.

Percakapan Sang Imam
Inilah adegan yang menjadi kontroversial itu. Imam Samudra seakan berdialog dengan Agus dari balik terali besi penjara.
Sang Imam menyebut Sari Club 90 persen orang asing. Gambar beralih ke ‘dunia gemerlap’ dengan adegan mesra perempuan lokal dengan laki-laki asing, lalu Agus menemui turis Australia dengan gadis berpakaian minim tak jauh dari Monumen Tragedi Bom Bali I di Kuta. Sebuah simbol yang berbicara.
Kembali ke dialog, Agus membacakan Kitab At Taubah yang dikutip dari buku karangan Imam Samudra, “Aku Melawan Teroris”. Sang Imam dengan fasih menerangkan dalil-dalilnya.
Di akhir dialog, Agus mengatakan Iqbal, salah satu pelaku bom bunuh diri telah tewas, sementara Imam masih hidup. Dengan pelan Agus menanyakan bagaimana perasaan sang Imam.
Tak ada jawaban. Yang ada hanya wajah Imam Samudra tetap di bawah tatapan nanarnya, tak bergeming.
Sebagai sutradara yang lahir dari ibu Jawa, Leonard menghadirkan adegan paranormal Leo Lumanto yang ‘membawa’ Agus ke ‘dunia lain’ dan ‘menemui’ para pelaku bom bunuh diri. Ketika terakhir Agus menanyakan apakah mereka merasa berdosa. Menurut Agus, si pelaku diam seribu bahasa.
Leonard menutup dengan kembali ke panggung boneka, Agus berdialog dengan boneka Osama. Di penghujung adegan, Agus menegaskan, Muslim is not terrorist. Yang teroris, Agus memencet boneka Osama untuk kembali menggoyangkan pinggulnya. Simbol yang lain.
Film Leonard yang lain, Shape of the Moon tak kalah penuh dengan simbol dan telah memenangi World Cinema Grand Jury Prize dalam Festival Film Sundance 2005. Sebelumnya berbagai film dokumenter sutradara kelahiran Tilburg (Belanda) ini meraih berbagai penghargaan internasional, yang justru tak terlalu mendapat tempat negeri ibundanya. (mega christina)

Soeharto Menyulut Kebijakan Anti-Tionghoa di Tengah Perang Dingin


Jakarta – Era kepemimpinan Soekarno, Tionghoa Indonesia menikmati kebijakan multiras yang mengayomi seluruh golongan dan bulan madu dengan penguasa. Bahkan salah satu orang terdekat Soekarno adalah Oei Tjoe Tat yang terakhir menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Dwikora.
Begitu presiden pertama republik tak berdaya, dengan surat sakti Supersemar Soeharto menjadi digdaya. Berbalik 180 derajat pula kebijakannya yang semula merangkul, menjadi memusuhi Tionghoa.
“Selaras dengan terjadinya Gerakan 30 September (G30S), dimulailah kampanye sinophopia atau anti-Tionghoa yang luas, disponsori kekuatan asing, terutama Inggris dan Amerika Serikat (AS). Di dalam negeri, Lembaga Pembinaan dan Kesatuan Bangsa (LPKB) menggunakan momen ini untuk menghantam Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki),” kata Benny G.Setiono, penulis buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik.
Ia mencatat dalam Bab 49 bukunya, 25 Maret 1966 pemerintah menutup perwakilan kantor berita Hsinhua (sekarang ditulis Xinhua) dan mencabut seluruh kartu pers wartawannya.
“Mereka membelokkan opini rakyat Indonesia dengan menyatakan musuh bangsa dan rakyat Indonesia yang sesungguhnya adalah China yang berasal dari utara, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dengan serentak semua media massa Indonesia - yang lolos screening Angkatan Darat dan diizinkan terbit kembali – melakukan propaganda anti-Tionghoa dan anti-RRT,” tambah Benny.
Lebih jauh ia menjelaskan pada masa Orde Lama, inflasi menggila, sehingga dengan mudah Orde Baru menimpakan semua kesalahan pada orang Tionghoa yang dicap sebagai Kolone Kelima, tukang timbun, dan tidak peduli kepentingan rakyat.
Maka meletuslah kerusuhan anti-Tionghoa yang diiringi penjarahan, perusakan bahkan pembakaran rumah, toko, sekolah, mobil dan segala yang berbau Tionghoa. Termasuk unjuk rasa dan penyerangan Konsulat RRT di Medan, Jakarta, dan Makassar.

Berbagai Larangan
Benny yang waktu itu mahasiswa Universitas Res Publica menyaksikan mulai April 1966 tindakan kesatuan-kesatuan aksi mendapat dukungan militer yang mengeluarkan perintah penutupan 629 sekolah-sekolah Tionghoa, sehingga 272.782 murid dan 6.478 gurunya terlantar. Dengan Surat Keputusan 6 Juli 1966, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melarang murid eks sekolah Tionghoa ditampung di sekolah swasta nasional, sedang di sekolah negeri hanya dibatasi kurang dari lima persen saja.
Tidak itu saja, Benny menyebutkan tanggal 8 Mei 1966 Pangdam Aceh, Brigjen Ishak Djuarsa memerintahkan seluruh Tionghoa WNA meninggalkan Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Alhasil lebih dari 15.000 Tionghoa terpaksa angkat kaki dari Serambi Mekkah.
Sementara Pangdam Sriwijaya, Brigjen Makmun Murod mengizinkan Tionghoa WNA tinggal hanya di Pulau Bangka Belitung, kalau tidak mau, dipersilakan pulang ke RRT. Tanggal 20 Desember 1966 Brigjen Ryachudu mengusir ketua dan seluruh pengurus Chung Hua Kung Hui dari Kalimantan Barat. Sehari kemudian Walikota Makassar melarang Tionghoa WNA berdagang kebutuhan bahan pokok,
Benny menambahkan Juli 1966 Pangdam Brawijaya, Mayjen Soemitro melarang seluruh koran Tionghoa dan melarang penggunaan huruf dan bahasa China di muka umum, termasuk buku. Soemitro juga melarang Tionghoa WNA/stateless berdagang di kota, kecuali Surabaya; dilarang pindah domisili, dikenai pajak Rp 2.500 per jiwa dan menutup seluruh kelenteng di Jawa Timur dan Madura.
Bahkan 3 dan 21 Januari 1967 toko-toko Tionghoa WNA di luar Surabaya harus ditutup dan uang hasil penjualan barang dideposito dan dilaporkan ke panitia daerah. Dalam prakteknya, sumber SH mengalami tokonya diambil-alih tentara begitu saja, tanpa proses hukum apapun dan dibiarkan terlunta-lunta.

Kebijakan Resmi
Orde Baru menerapkan kebijakan melarang segala yang berbau Tionghoa, mulai dari yang paling ringan seperti ganti nama. Ini merupakan keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966.
Pengacara kenamaan Yap Thiam Hien mencatat tidak kurang dari 13 dokumen yang perlu diganti bersamaan dengan aturan ganti nama itu. Mulai dari Kartu Tanpa Penduduk, akta-akta, hingga berbagai rekening yang jelas memakan biaya tidak sedikit.
Seminar Kedua Angkatan Darat di Seskoad Bandung, 25-31 Agustus 1966 dipimpin Mayjen Suwarto memutuskan mengganti RRT menjadi RRC dan orang Tionghoa menjadi orang China. Keputusan ini dikukuhkan dengan Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.SE-06/Preskab/6/1967 tanggal 20 Juni 1967.
Tanggal 6 Desember 1967 Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat China. Isinya semua upacara agama, kepercayaan dan adat-istiadat China hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga atau di dalam ruangan tertutup. Maka lenyaplah perayaan Tahun Baru Imlek, capgomeh, lomba perahu naga, bahkan tarian barongsai.
Ini disusul dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4555.2-360 Tahun 1968 mengenai Penataan Kelenteng. Berikutnya ada Surat Edaran Menteri Penerangan No.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa China.
Lalu Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri mengukuhkan penerapan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melalui SKB 01-UM.09.30.80 No.42. Kebijakan-kebijakan ini jelas-jelas mendiskriminasi Tionghoa Indonesia.

Melestarikan Rasialisme
Sepanjang era Soeharto nyaris tiada tahun tanpa tindakan rasial terhadap Tionghoa, baik yang dilakukan langsung aparat negara maupun ledakan gerakan massa yang sudah terlanjur disulut sentimen anti-Tionghoa. Benny mengingatkan huru-hara anti-Tionghoa di Bandung, 5 Agustus 1973. Pemicunya tukang gerobak Asep bin Tosin tersenggol mobil VW yang dikendarai pemuda Tionghoa. Lalu Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) yang semula unjuk rasa menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka menjadi aksi rasialis terhadap toko-toko Tionghoa di Jakarta.
Dipicu perkelahian tiga siswa SGO di Solo, 22 November 1980, pecah kerusuhan anti-Tionghoa yang melebar ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, hingga melumpuhkan Semarang sampai tanggal 25 November.
Menjelang kejatuhan Soeharto, kerusuhan bukannya surut, malah menjadi-janji. Sebut saja di Purwakarta, 31 Oktober-2 November 1995; Pekalongan, 24 November 1995; Situbondo, 10 Oktober 1996; Tasikmalaya, 26 Desember 1996; Sanggau Ledo, 30 Desember 1995 - 2 Januari 1996; Tanah Abang, 28 Januari 1997; Rengasdengklok, 27-31 Januari 1997; Banjarmasin, 23 Mei 1997; Makassar, 15 September 1997 dan masih banyak lagi yang tidak terekam media.
Kerusuhan yang ujung-ujungnya menyasar toko-toko Tionghoa mencapai puncaknya pada 13-15 Mei 1998 yang dikenal sebagai May Riot di Jakarta dan sekitarnya.

Percukongan
Benny mengingatkan selain merangkul teknokrat lulusan negara kapitalis, Soeharto paham yang bisa menggerakkan sektor riil adalah Tionghoa. Maka ia menjadikan Tionghoa sebagai kroninya, apalagi yang sudah hopeng (akrab) dengannya sejak menjabat Pangdam Diponegoro, seperti Pek Kiong dan Liem Soe Liong (Sudono Salim).
“Soeharto menggunakan percukongan. Dari lurah sampai pangdam ada cukong di belakangnya. Di balik cukong ada pejabat,” jelas Benny lugas.
Jelas Soeharto merepresi hak-hak politik dan budaya kaum Tionghoa, namun memberi ruang gerak di sektor bisnis. Benny menyebutkan menggunakan Tionghoa semata sebagai 'binatang ekonomi' untuk kepentingan diri dan kroni-kroninya. (dari berbagai sumber/mega christina)


Tulisan ini diterbitkan dalam Sinar Harapan edisi khusus meninggalkan Soeharto, Januari 2008