Monday, January 12, 2009

‘Membaca’ Simbol ‘Surga Yang Dijanjikan’ dari Tangan Leonard

Pemutaran Perdana “Promised Paradise”

Jakarta – Setelah tidak lolos sensor dalam the Jakarta Intenational Film Festival (JIFFest) 2006, Promised Paradise akhirnya berhasil tayang. Pemutaran perdananya bukan dengan karpet merah, dengan layar lebar yang gegap gempita, namun di tengah murid kursus “Kekerasan dalam Gerakan-gerakan Islam” di Yayasan Wakaf Paramadina Jakarta, Jumat beberapa waktu lalu.
Kolaborasi sutradara Leonard Retel Helmrich dengan aktor utama Agus Nur Amal membuka ‘Surga yang dijanjikan’ dengan adegan simbolik sebuah pesawat menerjang kotak segipanjang yang berdiri tegak. Sebuah adegan yang langsung mengingatkan Tragedi Menara Kembar WTC, 11 September 2001.
Dengan cerdas, Agus mengeluarkan boneka Osama bin Laden dari dalam kotak persegi tadi. Menyusul adegan kocak boneka Osama menggoyang-goyangkan pinggulnya di bawah sambutan tawa renyah bocah-bocah penonton televisi panggung boneka khas Agus itu.
Lantas layar beralih pada siluet peperangan pada panggung Teater Mandiri Putu Wijaya. Ini mengantar kita kembali menyaksikan dokumentasi bom bunuh diri di Sari Club, Kuta yang kita kenal sebagai Bom Bali I, 12 Oktober 2002.
“Ngebom, untuk apa? Teroris tertawa ria. Dunia kapan akan berakhirnya,” ujar Agus dengan lantunan khasnya, tepat lokasi bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta, 9 September 2004.
Leonard memindahkan setting di Bali dengan gadis Bali menari, Monumen Tragedi Bom Bali I di Kuta menuju tembok tinggi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan. Tampak berbagai upaya Agus menembus birokrasi LP, termasuk dengan simbol uang terlipat yang diselipkan ke tangan petugas. Tak heran kalau Leonard mengerjakan film ini lebih dari dua tahun, 2002-2005 untuk urusan begini.
Kembali dengan simbol, Agus mengetuk dinding tebal penjara memanggil nama Imam Samudra dan Amrozi yang berada di dalamnya. Seakan nabrak tembok, dengan langkah gontai Agus menemukan cakram video “Aku Melawan Teroris” oleh Imam Samudra justru di pedagang kaki lima.

Percakapan Sang Imam
Inilah adegan yang menjadi kontroversial itu. Imam Samudra seakan berdialog dengan Agus dari balik terali besi penjara.
Sang Imam menyebut Sari Club 90 persen orang asing. Gambar beralih ke ‘dunia gemerlap’ dengan adegan mesra perempuan lokal dengan laki-laki asing, lalu Agus menemui turis Australia dengan gadis berpakaian minim tak jauh dari Monumen Tragedi Bom Bali I di Kuta. Sebuah simbol yang berbicara.
Kembali ke dialog, Agus membacakan Kitab At Taubah yang dikutip dari buku karangan Imam Samudra, “Aku Melawan Teroris”. Sang Imam dengan fasih menerangkan dalil-dalilnya.
Di akhir dialog, Agus mengatakan Iqbal, salah satu pelaku bom bunuh diri telah tewas, sementara Imam masih hidup. Dengan pelan Agus menanyakan bagaimana perasaan sang Imam.
Tak ada jawaban. Yang ada hanya wajah Imam Samudra tetap di bawah tatapan nanarnya, tak bergeming.
Sebagai sutradara yang lahir dari ibu Jawa, Leonard menghadirkan adegan paranormal Leo Lumanto yang ‘membawa’ Agus ke ‘dunia lain’ dan ‘menemui’ para pelaku bom bunuh diri. Ketika terakhir Agus menanyakan apakah mereka merasa berdosa. Menurut Agus, si pelaku diam seribu bahasa.
Leonard menutup dengan kembali ke panggung boneka, Agus berdialog dengan boneka Osama. Di penghujung adegan, Agus menegaskan, Muslim is not terrorist. Yang teroris, Agus memencet boneka Osama untuk kembali menggoyangkan pinggulnya. Simbol yang lain.
Film Leonard yang lain, Shape of the Moon tak kalah penuh dengan simbol dan telah memenangi World Cinema Grand Jury Prize dalam Festival Film Sundance 2005. Sebelumnya berbagai film dokumenter sutradara kelahiran Tilburg (Belanda) ini meraih berbagai penghargaan internasional, yang justru tak terlalu mendapat tempat negeri ibundanya. (mega christina)

No comments: