Sunday, November 29, 2009

Islamabad, Kota Benteng yang Selalu Siaga

Senin, 23 November 2009 12:55

Pengantar: Tiga jurnalis Indonesia, termasuk Mega Christina dari Sinar Harapan, mendapat kesempatan untuk mengunjungi Pakistan selama sepekan, dimulai 18 November hingga 26 November 2009. Dalam kunjungan ini, delegasi media dari Indonesia bertemu beberapa tokoh penting Pakistan dan menyaksikan kondisi terkini di Islamabad, Karachi, dan Lahore.

Islamabad – Pagi merekah bersama mentari yang muncul dari balik perbukitan Margalla yang mengitari kota ini, yang menjadi latar belakang penginapan kami di kawasan Kohsar.
Ini adalah sebuah daerah perumahan yang me­nye­rupai kawasan Menteng, yang masing-masing memiliki taman tertata apik dengan pepohonan rindang.
Tak terhitung banyaknya kowa (burung sejenis elang kecil) yang terbang rendah hingga menggaris cakrawala di kaki Bukit Margalla. Koak-koaknya seakan hendak membangunkan seisi ibu kota.
Inilah ibu kota Pakistan yang berkedudukan di punggung Dataran Tinggi (Plateau) Pothohar, bagian utara negeri ini. Kota metropolitan ini baru dibangun di era 1960-an menggantikan Karachi di ba­gian selatan sebagai ibu kota Pakistan, dengan visi jauh ke depan mantan Presiden Ayub Khan yang mengingingkan kesimbangan distribusi utara selatan. Selain itu, Islamabad lebih dekat dengan markas besar tentara di Rawalpindi dan daerah pertikaian Kashmir di bagian utara.
Sebagai sebuah ibu kota modern, Islamabad merupakan salah satu kota yang paling terencana dengan baik di Asia Selatan dan paling hijau de­ngan Hutan Loi Bher serta taman-taman kota. Menurut survei, Islamabad dianggap sebagai kota paling bersih di Pakistan.
Kota ini juga terorganisasi dengan sangat baik, terbagi dalam delapan sektor, A hingga H, dengan delapan zona yang membagi kawasan perdagangan, kawasan pusat peme­rintahan, kawasan diplomatik, distrik perdagangan, sektor pendidikan, sektor industri, daerah perumahan, daerah pedesaan, dan daerah hijau.

Barikade Jalanan
Pagi di Islamabad sama se­ka­li tidak menunjukkan tan­da-tanda kehebohan bom bu­nuh di­ri yang meledak di depan Ge­dung Pengadilan Peshawar, se­kitar dua jam dari ibu kota ini.
Suasana keamanan seperti malam ketika kami tiba.
Begitu keluar, pagar tinggi dijaga beberapa satuan pengamanan (satpam). Di penghujung Jalan 26 menjelang jalan besar, melintang beton bari­kade di jalanan yang mengharuskan mobil berjalan pelan dengan cara zig-zag.
Di 7th Avenue, beberapa rumah tampak ditambah bari­kade seperti di beberapa de­pan kedutaan besar di Jakarta, bahkan beton barikade ada yang nyaris setinggi dua meter.
Kian mendekati kawasan pusat pemerintahan, makin kerap titik pemeriksaan keamanan yang mengharuskan pengemudi membuka kaca dan menunjukkan identitas.
Tidak itu saja, beton bari­kade ditambah penghalang besi beroda yang menutup jalanan sepenuhnya, sebelum kendaraan diizinkan melintas zig-zag melewati beberapa lapis beton barikade. Di penghujung barikade terakhir, biasanya ada seorang petugas keamanan di balik tumpukan karung barikade siap dengan senjata laras panjangnya.
Bahkan, di beberapa tempat ada seorang petugas keamanan di balik tumpukan ka­rung barikade lengkap dengan senjata laras panjang itu juga. Seperti menjelang memasuki jalan depan Hotel Mar­riott. Bagian depan hotel yang dikenal dengan layanan kera­mah­an itu lebih layak menye­rupai benteng penjara, dengan beton barikade di atas dua me­ter dan kawat durinya, leng­kap dengan penjagaan superketat.
“Bom bisa terjadi di mana saja. Kehidupan normal harus tetap berjalan. Semua ini kami butuhkan untuk mencegah dan memberikan rasa aman bagi kita semua,” kata Man­sood Khalid, Sekretaris Men­teri Luar Negeri Urusan Pa­kis­tan ketika menerima SH dan delegasi Media dari In­do­nesia di kantornya di Isla­ma­bad, Kamis (19/11).
Kendati demikian seorang warga Islamabad yang tidak mau disebutkan namanya meng­aku pemeriksaan kea­man­an itu terkadang menjengkelkan. Namun, ia tidak berdaya mengingat pengebom bunuh diri bisa menyerang ka­pan saja dan memang me­nya­sar tidak saja kalangan peme­rintah, tapi juga rakyat sipil.
Seperti Mansood Khalid, ia pun memilih kehidupan terus berjalan sebagaimana biasa­nya, karena rasa takut itu yang diinginkan teroris, katanya.

No comments: