Wednesday, May 9, 2007

Puisi Bergambar dalam Film-film Joris Ivens

JAKARTA – Hujan. Sebuah fenomena alam biasa ini menjadi tidak biasa di tangan Joris Ivens. Melalui kameranya, Ivens merekam peristiwa keseharian itu bak puisi bergambar. Dalam kebisuan warna hitam putih, dia bercerita begitu puitik.
Regen
(Hujan) adalah film pendek 12 menit yang dibuat Ivens tahun 1929. Untuk film yang ”hanya” sependek itu, ia menghabiskan waktu nyaris dua tahun guna mengambil gambar hingga mengeditnya. Ivens mendaulat dirinya menjadi ”pengamat hujan”. Selama waktu itu ia pergi ke mana-mana dengan dua kamera siap rekam dan jas hujan di tangan.
Ia membuka Regen dengan awan putih berarak yang terefleksi dari ketenangan air kanal-kanal Amsterdam. Gambar berpindah ke pepohonan yang terterpa angin, tenda kanopi yang berkibar-kibar, kawanan burung terbang hingga awan bergumpal-gumpal mengirim pertanda akan hujan.
Kini titik-titik air jatuh menimpa air kanal dan jalanan. Titik-titik air yang membentuk gelombang-gelombang longitudinal kecil beraturan. Langkah-langkah orang tergesa, berlarian kecil, menaikkan krah mantel dan merapatkannya, menghindari rintik hujan. Gumpalan awan menghitam.
Jendela-jendela ditutup. Aspal basah merefkleksikan roda-roda kendaraan di atasnya.
Air yang menggenangi jalan perlahan mengalir ke lubang selokan bawah tanah. Talang memuntahkan air menjadi pancuran.
Titik-titik air memburamkan kaca. Titik-titik air jatuh dari ujung-ujung payung yang mengembang. Puluhan payung terkembang. Dari atas payung hitam ini tampak seperti jamur yang bergerak di tengah kerumunan orang.
Titik air membentuk gelembung-gelembung dengan gelombang longitudinal yang kian membesar. Air bak meleleh di permukaan kaca.

Bagai jari-jari, air menuruni tembok-tembok gedung. Titik air merayap membentuk garis diagonal seperti anak kecebong melata di atas permukaan kaca trem yang bergerak.

Permukaan kanal perlahan tenang merefleksikan suasana yang kembali terang. Pelan-pelan awan berarak-arak menyibakkan sang mentari bersinar.

Sebuah pergantian suasana yang terekam indah. Tak heran Ivens menghadapi masa yang sulit untuk memilih gambar, karena dia begitu mencintai semua footage yang direkamnya.

Regen
hanya satu di antara sekian film-film pendek buah karya Ivens yang begitu jeli, detail dan cermat. Bersama De Brug (Jembatan) dan Indonesia Calling, ia diputar di Erasmus Huis dalam rangkaian Jakarta International Film Festival (JIFFEST) ke-5 di Jakarta minggu lalu.

Solidaritas pada Indonesia
Nama Ivens patut mendapat tempat tersendiri dalam sejarah perjuangan pasca kemerdekaan Indonesia. Dengan mengangkat kamera membuat Indonesia Calling, ia menyatakan solidaritasnya pada Indonesia dan mengundurkan diri sebagai Komisioner Film pada Pemerintahan Belanda tahun 1946.
Berbeda dari gaya puitik yang bercerita dalam kebisuan gambar, dalam Indonesia Calling Ivens tampak lugas dan tegas. Dalam film pendek 22 menit itu juga dilengkapi dengan narasi yang menunjang pesan tandas, kemerdekaan bagi Indonesia.
Ivens menggambarkan pemuda Indonesia di Australia yang mendapat dukungan perjuangan Serikat Pekerja Pelabuhan dan Pelaut setempat. Bahkan di akhir film, mereka berhasil menghentikan kapal berbendera Belanda yang membawa amunisi menuju Indonesia. Ini terjadi berkat solidaritas pelaut India yang hengkang meninggalkan kapal besar itu.
Film ini demikian terkenal, lantaran telah menyebabkan Ivens menjadi persona non grata bagi Pemerintah Belanda. Gara-gara paspor Belandanya disita, ia lantas tinggal di Eropa Timur dan membentuk beberapa serikat pekerja film di sana sejak tahun 1947.
Tahun 1955 Ivens menerima World Peace Prize. Dua tahun kemudian ia tinggal di Paris serta memenangkan Golden Palm di Cannes dan Gate Award di San Fransisco.
Baru tahun 1964 untuk pertama kalinya terselenggarakan resepsi festival di Amsterdam secara hati-hati bagi pemulihan dengan negeri kelahiran Ivens. Setelah memenangkan berbagai penghargaan di berbagai belahan dunia, tepat di usianya ke-90, Ivens menjadi warga kehormatan kota kelahirannya, Nijmegen.
Sebelum meninggal, Ivens sempat menerima anugerah Knighthood in the Order of the Dutch Lion. Pembuat film yang luar biasa ini menutup mata di Paris, 28 Juni 1989 dalam usia 91 tahun.
Kejelian dan kecermatannya dalam membuat gambar, patut menjadi contoh bagi sutradara film pendek Indonesia. Dedikasi dan kerja kerasnya pantas diteladani. (SH/mega christina)

Sinar Harapan Jum'at, 24 Oktober 2003

No comments: