Rabu, 25 November 2009 14:32
Angka Partisipasi di Parlemen Tertinggi di Asia Selatan
Islamabad - Mengenakan celana panjang tradisional yang agak baggy, sepadan dengan kain semacam baju kurung dipadu dengan selendang yang disampirkan di pundak atau terkadang dikalungkan ke belakang.
Berkacamata hitam penangkis sinar matahari yang bersinar terik, Shaheen Akhtar siap di belakang kemudi mobil sedannya.
Perempuan Pakistan yang mengemudi sendiri tidaklah sedikit, nyaris seperti di Jakarta. Ini menjadi pemandangan umum perempuan modern Pakistan di Islamabad.
Beberapa di antaranya mengenakan pakaian yang lebih rapat dengan selendang menjadi kerudung atau jilbab dan cadar, terutama di universitas yang menyandang label Islam.
Shaheen merupakan salah satu dari enam peneliti perempuan di Institute of Regional Studies (IRS) Islamabad. Perempuan peneliti menjadi dominan di lembaga ini yang keseluruhan memiliki 10 peneliti.
Shaheen mengakui komposisi di IRS bukan cerminan umum, namun ia menggarisbawahi keterlibatan perempuan Pakistan dalam berbagai bidang, terutama pendidikan dan perekonomian yang demikian besar. Menurutnya, dalam arus utama nasional, perempuan memegang peran penting dalam kegiatan perekonomian keseharian.
“Anggota parlemen perempuan Pakistan mencapai 33 persen. Ini angka aksi afirmatif yang paling tinggi di Asia Selatan,” kata Shaheen ketika menerima SH dan delegasi media dari Indonesia menemui di kantornya di Islamabad, pekan lalu.
Demikian pula di bidang media, menurut Fariha Razak Haroon, Direktur Grup Geo TV Network & Jang Group of Companies. Ia memperlihatkan bagaimana dirinya menjadi direktur kelompok surat kabar berbahas Urdu tertua dan saluran televisi swasta terbesar di Pakistan.
“Kami mendorong kaum perempuan untuk mendapatkan lingkungan kerja yang bagus dan aman. Di sini kami memiliki perempuan dalam jumlah yang substansial,” kata Fariha ketika menemui SH dan delegasi media dari Indonesia di Jang Building, Karachi, Senin (23/11).
Kendati demikian ketika rombongan menengok ruang redaksi, tampak mayoritas laki-laki yang berada di dalam ruangan itu. Namun, di satu ruang redaksi Daily Jang yang berbahasa Urdu, ada 5-6 perempuan di antara belasan kaum adam.
Sistem Feodal
Shaheen Akhtar mengakui di daerah suku seperti di Provinsi Balochistan ada sistem feudal yang tidak memungkinkan perempuan untuk mengedepan. Demikian pula di Provinsi Punjab bagian selatan yang masih menganut sistem feudal.
“Perempuan di sana lebih terbelakang, terutama dari segi pendidikan,” ujar Akhtar. Ia juga mengakui keterbelakangan perempuan akibat penguasaan Taliban di Provinsi Perbatasan Barat Daya (NWFP). Sekolah khusus perempuan yang buka mendapat ancaman dan Taliban tidak menghendaki perempuan berada di tempat-tempat publik.
“Masyarakat menjadi sandera Taliban. Tapi sebenarnya Taliban sendiri menjadi sandera Al-Qaeda,” tegas Akhtar.
Hal itu pula yang tampaknya berdampak secara nasional angka melek huruf (orang di atas umur 15 tahun yang dapat membaca dan menulis) untuk perempuan hanya 36 persen, dibanding laki-laki yang mencapai 63 persen di 2005, menurut CIA Factbook.
Betapa pun, memajukan perempuan di sebuah negara yang berpenduduk 176 juta (menurut perkiraan CIA Factbook di Juli 2009) bukanlah perkara mudah.
Sunday, November 29, 2009
Di Islamabad, Sekolah Murah Bukan Sekadar Jargon
Selasa, 24 November 2009 13:03
Islamabad - Apakah Anda membayangkan studi lanjut di luar negeri dengan biaya sendiri yang lebih terjangkau ketimbang di dalam negeri? Itu bukanlah tidak mungkin.
Contohnya Adam Bakhtiar yang saat ini menempuh Studi Islam tingkat magister (S2) di International Islamic University Islamabad (IIUI) dengan biaya sendiri. Pemuda kelahiran Malang, Jawa Timur ini mengaku biaya studinya hanya US$ 100 per semester ditambah biaya hidup di asrama US$ 100. Dengan demikian, hanya dengan US$ 200 per semester, Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia (IIUI) itu sudah bisa kuliah S2 di sebuah perguruan tinggi terkemuka.
Pengakuan itu dibenarkan Muladi yang tengah menyelesaikan tesis Magister Syariah di universitas yang sama. Sarjana alumni Kairo ini bahkan memperoleh beasiswa karena indeks prestasi kumulatifnya (IPK) di atas tiga.
Adam Bakhtiar dan Muladi merupakan bagian dari sekitar 70 mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di universitas yang didirikan atas rekomendasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam di Lahore di tahun 1974 itu.
Di antara ribuan mahasiswa, warga China merupakan mahasiswa terbanyak di IIUI yang mencapai lebih dari 600 orang. Mereka datang tidak hanya dari provinsi China yang mayoritas menganut agama Islam, tapi juga mereka dari kalangan yang nonmuslim.
“Kami miliki hubungan yang sangat baik dengan China. Kami juga memiliki beberapa perjanjian kerja sama dengan beberapa pihak, seperti dengan Provinsi Ningxia dan Asosiasi Ilmu Sosial Ningxia yang setiap tahunnya mengirimkan lebih dari 100 mahasiswa,” kata Fateh Muhammad Malik, Rektor dan guru besar IIUI ketika menerima SH dan delegasi media dari Indonesia di kampus baru IIUI di Sektor H Islamabad, pekan lalu.
Menurutnya, IIUI juga memiliki kerja sama berupa pertukaran mahasiswa, pertukaran sarjana, tenaga pengajar, serta pertukaran publikasi dengan universitas Islam di Indonesia.
“Umumnya kami memiliki kerja sama dengan universitas di negara-negara muslim yang menjadi anggota Konferensi Negara-negara Islam (OKI),” tambah Malik yang juga salah satu tokoh sastra Pakistan.
Fakultas Nonagama
Meski menyandang nama universitas Islam, IIUI telah berkembang menjadi sebuah perguruan tinggi negeri yang mencakup berbagai fakultas nonagama, seperti teknik, sosial, ekonomi dan manajamen, seni dan bahasa, serta teknologi informasi (TI). Sementara dari awal didirikan di era 1980an, IIUI memiliki tiga fakultas agama, yakni Syariah, Studi Islam (Usuluddin), dan Bahasa Arab.
Kendati demikian, sebagai universitas Islam, IIUI konsiten memisahkan mahasiswa dengan mahasiswi. Kampus mahasiswi dipimpin seorang direktur perempuan dengan seluruh tenaga pengajar perempuan pula.
Baik kampus mahasiswa maupun mahasiswi memiliki beberapa blok dengan gedung perkuliahan tiga lantai bergaya Timur Tengah dengan batu bata merah yang masing-masing di tengahnya memiliki taman rindang untuk belajar bersama. Masing-masing kampus itu memiliki perpustakaan dan auditorium terpisah pula.
Kampus baru seluas lebih dari empat hektare di Sektor H—sektor yang ditujukan untuk pendidikan di pinggiran Islamabad itu—tampak masih akan terus berkembang, sebagaimana Kampus Universitas Indonesia di Depok. Tempat ini merupakan sebuah lingkungan pendidikan yang mengundang sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa asing.
Islamabad - Apakah Anda membayangkan studi lanjut di luar negeri dengan biaya sendiri yang lebih terjangkau ketimbang di dalam negeri? Itu bukanlah tidak mungkin.
Contohnya Adam Bakhtiar yang saat ini menempuh Studi Islam tingkat magister (S2) di International Islamic University Islamabad (IIUI) dengan biaya sendiri. Pemuda kelahiran Malang, Jawa Timur ini mengaku biaya studinya hanya US$ 100 per semester ditambah biaya hidup di asrama US$ 100. Dengan demikian, hanya dengan US$ 200 per semester, Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia (IIUI) itu sudah bisa kuliah S2 di sebuah perguruan tinggi terkemuka.
Pengakuan itu dibenarkan Muladi yang tengah menyelesaikan tesis Magister Syariah di universitas yang sama. Sarjana alumni Kairo ini bahkan memperoleh beasiswa karena indeks prestasi kumulatifnya (IPK) di atas tiga.
Adam Bakhtiar dan Muladi merupakan bagian dari sekitar 70 mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di universitas yang didirikan atas rekomendasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam di Lahore di tahun 1974 itu.
Di antara ribuan mahasiswa, warga China merupakan mahasiswa terbanyak di IIUI yang mencapai lebih dari 600 orang. Mereka datang tidak hanya dari provinsi China yang mayoritas menganut agama Islam, tapi juga mereka dari kalangan yang nonmuslim.
“Kami miliki hubungan yang sangat baik dengan China. Kami juga memiliki beberapa perjanjian kerja sama dengan beberapa pihak, seperti dengan Provinsi Ningxia dan Asosiasi Ilmu Sosial Ningxia yang setiap tahunnya mengirimkan lebih dari 100 mahasiswa,” kata Fateh Muhammad Malik, Rektor dan guru besar IIUI ketika menerima SH dan delegasi media dari Indonesia di kampus baru IIUI di Sektor H Islamabad, pekan lalu.
Menurutnya, IIUI juga memiliki kerja sama berupa pertukaran mahasiswa, pertukaran sarjana, tenaga pengajar, serta pertukaran publikasi dengan universitas Islam di Indonesia.
“Umumnya kami memiliki kerja sama dengan universitas di negara-negara muslim yang menjadi anggota Konferensi Negara-negara Islam (OKI),” tambah Malik yang juga salah satu tokoh sastra Pakistan.
Fakultas Nonagama
Meski menyandang nama universitas Islam, IIUI telah berkembang menjadi sebuah perguruan tinggi negeri yang mencakup berbagai fakultas nonagama, seperti teknik, sosial, ekonomi dan manajamen, seni dan bahasa, serta teknologi informasi (TI). Sementara dari awal didirikan di era 1980an, IIUI memiliki tiga fakultas agama, yakni Syariah, Studi Islam (Usuluddin), dan Bahasa Arab.
Kendati demikian, sebagai universitas Islam, IIUI konsiten memisahkan mahasiswa dengan mahasiswi. Kampus mahasiswi dipimpin seorang direktur perempuan dengan seluruh tenaga pengajar perempuan pula.
Baik kampus mahasiswa maupun mahasiswi memiliki beberapa blok dengan gedung perkuliahan tiga lantai bergaya Timur Tengah dengan batu bata merah yang masing-masing di tengahnya memiliki taman rindang untuk belajar bersama. Masing-masing kampus itu memiliki perpustakaan dan auditorium terpisah pula.
Kampus baru seluas lebih dari empat hektare di Sektor H—sektor yang ditujukan untuk pendidikan di pinggiran Islamabad itu—tampak masih akan terus berkembang, sebagaimana Kampus Universitas Indonesia di Depok. Tempat ini merupakan sebuah lingkungan pendidikan yang mengundang sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa asing.
Islamabad, Kota Benteng yang Selalu Siaga
Senin, 23 November 2009 12:55
Pengantar: Tiga jurnalis Indonesia, termasuk Mega Christina dari Sinar Harapan, mendapat kesempatan untuk mengunjungi Pakistan selama sepekan, dimulai 18 November hingga 26 November 2009. Dalam kunjungan ini, delegasi media dari Indonesia bertemu beberapa tokoh penting Pakistan dan menyaksikan kondisi terkini di Islamabad, Karachi, dan Lahore.
Islamabad – Pagi merekah bersama mentari yang muncul dari balik perbukitan Margalla yang mengitari kota ini, yang menjadi latar belakang penginapan kami di kawasan Kohsar.
Ini adalah sebuah daerah perumahan yang menyerupai kawasan Menteng, yang masing-masing memiliki taman tertata apik dengan pepohonan rindang.
Tak terhitung banyaknya kowa (burung sejenis elang kecil) yang terbang rendah hingga menggaris cakrawala di kaki Bukit Margalla. Koak-koaknya seakan hendak membangunkan seisi ibu kota.
Inilah ibu kota Pakistan yang berkedudukan di punggung Dataran Tinggi (Plateau) Pothohar, bagian utara negeri ini. Kota metropolitan ini baru dibangun di era 1960-an menggantikan Karachi di bagian selatan sebagai ibu kota Pakistan, dengan visi jauh ke depan mantan Presiden Ayub Khan yang mengingingkan kesimbangan distribusi utara selatan. Selain itu, Islamabad lebih dekat dengan markas besar tentara di Rawalpindi dan daerah pertikaian Kashmir di bagian utara.
Sebagai sebuah ibu kota modern, Islamabad merupakan salah satu kota yang paling terencana dengan baik di Asia Selatan dan paling hijau dengan Hutan Loi Bher serta taman-taman kota. Menurut survei, Islamabad dianggap sebagai kota paling bersih di Pakistan.
Kota ini juga terorganisasi dengan sangat baik, terbagi dalam delapan sektor, A hingga H, dengan delapan zona yang membagi kawasan perdagangan, kawasan pusat pemerintahan, kawasan diplomatik, distrik perdagangan, sektor pendidikan, sektor industri, daerah perumahan, daerah pedesaan, dan daerah hijau.
Barikade Jalanan
Pagi di Islamabad sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehebohan bom bunuh diri yang meledak di depan Gedung Pengadilan Peshawar, sekitar dua jam dari ibu kota ini.
Suasana keamanan seperti malam ketika kami tiba.
Begitu keluar, pagar tinggi dijaga beberapa satuan pengamanan (satpam). Di penghujung Jalan 26 menjelang jalan besar, melintang beton barikade di jalanan yang mengharuskan mobil berjalan pelan dengan cara zig-zag.
Di 7th Avenue, beberapa rumah tampak ditambah barikade seperti di beberapa depan kedutaan besar di Jakarta, bahkan beton barikade ada yang nyaris setinggi dua meter.
Kian mendekati kawasan pusat pemerintahan, makin kerap titik pemeriksaan keamanan yang mengharuskan pengemudi membuka kaca dan menunjukkan identitas.
Tidak itu saja, beton barikade ditambah penghalang besi beroda yang menutup jalanan sepenuhnya, sebelum kendaraan diizinkan melintas zig-zag melewati beberapa lapis beton barikade. Di penghujung barikade terakhir, biasanya ada seorang petugas keamanan di balik tumpukan karung barikade siap dengan senjata laras panjangnya.
Bahkan, di beberapa tempat ada seorang petugas keamanan di balik tumpukan karung barikade lengkap dengan senjata laras panjang itu juga. Seperti menjelang memasuki jalan depan Hotel Marriott. Bagian depan hotel yang dikenal dengan layanan keramahan itu lebih layak menyerupai benteng penjara, dengan beton barikade di atas dua meter dan kawat durinya, lengkap dengan penjagaan superketat.
“Bom bisa terjadi di mana saja. Kehidupan normal harus tetap berjalan. Semua ini kami butuhkan untuk mencegah dan memberikan rasa aman bagi kita semua,” kata Mansood Khalid, Sekretaris Menteri Luar Negeri Urusan Pakistan ketika menerima SH dan delegasi Media dari Indonesia di kantornya di Islamabad, Kamis (19/11).
Kendati demikian seorang warga Islamabad yang tidak mau disebutkan namanya mengaku pemeriksaan keamanan itu terkadang menjengkelkan. Namun, ia tidak berdaya mengingat pengebom bunuh diri bisa menyerang kapan saja dan memang menyasar tidak saja kalangan pemerintah, tapi juga rakyat sipil.
Seperti Mansood Khalid, ia pun memilih kehidupan terus berjalan sebagaimana biasanya, karena rasa takut itu yang diinginkan teroris, katanya.
Pengantar: Tiga jurnalis Indonesia, termasuk Mega Christina dari Sinar Harapan, mendapat kesempatan untuk mengunjungi Pakistan selama sepekan, dimulai 18 November hingga 26 November 2009. Dalam kunjungan ini, delegasi media dari Indonesia bertemu beberapa tokoh penting Pakistan dan menyaksikan kondisi terkini di Islamabad, Karachi, dan Lahore.
Islamabad – Pagi merekah bersama mentari yang muncul dari balik perbukitan Margalla yang mengitari kota ini, yang menjadi latar belakang penginapan kami di kawasan Kohsar.
Ini adalah sebuah daerah perumahan yang menyerupai kawasan Menteng, yang masing-masing memiliki taman tertata apik dengan pepohonan rindang.
Tak terhitung banyaknya kowa (burung sejenis elang kecil) yang terbang rendah hingga menggaris cakrawala di kaki Bukit Margalla. Koak-koaknya seakan hendak membangunkan seisi ibu kota.
Inilah ibu kota Pakistan yang berkedudukan di punggung Dataran Tinggi (Plateau) Pothohar, bagian utara negeri ini. Kota metropolitan ini baru dibangun di era 1960-an menggantikan Karachi di bagian selatan sebagai ibu kota Pakistan, dengan visi jauh ke depan mantan Presiden Ayub Khan yang mengingingkan kesimbangan distribusi utara selatan. Selain itu, Islamabad lebih dekat dengan markas besar tentara di Rawalpindi dan daerah pertikaian Kashmir di bagian utara.
Sebagai sebuah ibu kota modern, Islamabad merupakan salah satu kota yang paling terencana dengan baik di Asia Selatan dan paling hijau dengan Hutan Loi Bher serta taman-taman kota. Menurut survei, Islamabad dianggap sebagai kota paling bersih di Pakistan.
Kota ini juga terorganisasi dengan sangat baik, terbagi dalam delapan sektor, A hingga H, dengan delapan zona yang membagi kawasan perdagangan, kawasan pusat pemerintahan, kawasan diplomatik, distrik perdagangan, sektor pendidikan, sektor industri, daerah perumahan, daerah pedesaan, dan daerah hijau.
Barikade Jalanan
Pagi di Islamabad sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehebohan bom bunuh diri yang meledak di depan Gedung Pengadilan Peshawar, sekitar dua jam dari ibu kota ini.
Suasana keamanan seperti malam ketika kami tiba.
Begitu keluar, pagar tinggi dijaga beberapa satuan pengamanan (satpam). Di penghujung Jalan 26 menjelang jalan besar, melintang beton barikade di jalanan yang mengharuskan mobil berjalan pelan dengan cara zig-zag.
Di 7th Avenue, beberapa rumah tampak ditambah barikade seperti di beberapa depan kedutaan besar di Jakarta, bahkan beton barikade ada yang nyaris setinggi dua meter.
Kian mendekati kawasan pusat pemerintahan, makin kerap titik pemeriksaan keamanan yang mengharuskan pengemudi membuka kaca dan menunjukkan identitas.
Tidak itu saja, beton barikade ditambah penghalang besi beroda yang menutup jalanan sepenuhnya, sebelum kendaraan diizinkan melintas zig-zag melewati beberapa lapis beton barikade. Di penghujung barikade terakhir, biasanya ada seorang petugas keamanan di balik tumpukan karung barikade siap dengan senjata laras panjangnya.
Bahkan, di beberapa tempat ada seorang petugas keamanan di balik tumpukan karung barikade lengkap dengan senjata laras panjang itu juga. Seperti menjelang memasuki jalan depan Hotel Marriott. Bagian depan hotel yang dikenal dengan layanan keramahan itu lebih layak menyerupai benteng penjara, dengan beton barikade di atas dua meter dan kawat durinya, lengkap dengan penjagaan superketat.
“Bom bisa terjadi di mana saja. Kehidupan normal harus tetap berjalan. Semua ini kami butuhkan untuk mencegah dan memberikan rasa aman bagi kita semua,” kata Mansood Khalid, Sekretaris Menteri Luar Negeri Urusan Pakistan ketika menerima SH dan delegasi Media dari Indonesia di kantornya di Islamabad, Kamis (19/11).
Kendati demikian seorang warga Islamabad yang tidak mau disebutkan namanya mengaku pemeriksaan keamanan itu terkadang menjengkelkan. Namun, ia tidak berdaya mengingat pengebom bunuh diri bisa menyerang kapan saja dan memang menyasar tidak saja kalangan pemerintah, tapi juga rakyat sipil.
Seperti Mansood Khalid, ia pun memilih kehidupan terus berjalan sebagaimana biasanya, karena rasa takut itu yang diinginkan teroris, katanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)