Sunday, February 3, 2008

Ketika Air Tercurah

Awan gemawan tebal menghitam sesekali memercikkan kilat, tak lama kemudian
guruh memecah memekakkan telinga warga ibukota yang malam itu masih
terjaga. Segera air tercurah bak tumpah ruah dari langit yang merekah. Air
bagai tiada hentinya mengguyur Jakarta dan sekitarnya tengah malam itu
hingga berlanjut sesiangan dengan kian lebatnya.
Sebelum tengah hari sebagian besar jalanan metropolitan telah menjadi
anak-anak sungai dengan pencakar langit di sekitarnya. Bahkan jalan tol pun
tergenang mirip kali, termasuk bandar udara (bandara). Dengan jarak pandang
hanya 300 meter dan pandasan pacu terbenam air, bandara internasional
Soekarno-Hatta sempat buka-tutup 2-3 kali.
Jalan Raden Saleh depan kantor pun menjadi sungai, padahal biasanya Jalan
Raden Saleh I di belakang yang 'langganan' kebanjiran.
Usai deadline berkali-kali kulongok jendela dengan cemas, namun air
tercurah dari langit tiada hentinya. Kutahu anak asuh kami tak memiliki jas
hujan dan sepatu kanvasnya pasti basah kalau jalanan kebanjiran. Belum lagi
kalau ia seragamnya basah kuyub karena hujan lebat diiringi deru angin.
Baru anak asuh sudah kepikiran seperti ini, apalagi anak sendiri di musim
banjir begini. Tapi Rizka kerap cuek-bebek dan keluguannya seakan tidak
menganggap dirinya menderita dengan membiarkan seragamnya mengiring di
badan.
Polos, tidak ada kecemasan dan dramatisasi kemelaratan yang justru
menjadikannya dramatis. Rizka mengajarkan ketabahan dan hidup tanpa
kecemasan yang jauh lebih arif dari orang dewasa.

Tugu Tani - Jakarta, 1 Februari 2008

No comments: