Bedil dengan sangkur Patung Pak Tani menuding langit jingga semburat merah
keunguan, pertanda senja tiba. Di bawah langit yang mulai temaram itu, Tugu
Pak Tani (dan perempuannya) seolah mengawasi kawanan bocah yang menjajakan
koran atau menghitung sisa di tumpukan.
Bocah di trotoar menunjuk pada satu-satunya bocah berseragam di taman di
tengah Jalan Prapatan, ketika kutanya Rizka.
Di sebelah tanaman perdu taman, bocah dengan rok putih dan seragam sekolah
itu - yang tersembunyi di balik rompi sponsor koran - tengah asyik
berjongkok. Tangan kirinya memegangi buku, tangan kanannya sibuk menulis.
Kubeli satu "Kompas" dari tumpukannya dan dengan cekatan ia mengambilkan
"Koran Tempo" dari temannya untukku.
"Nama kamu Rizka?"
Tanpa ekspresi wajah kecoklatannya mengangguk.
Dengan logat Betawi, ia mengaku sekolahnya tidak bayar, tapi musti beli
buku. Bulan ini Rp 85 ribu.
Ketika kutawarkan beasiswa dan akan ke sekolahnya, ia tampak ragu. Lalu
meluncur kisah yang sudah termuat di berbagai koran.
Guru dan pejabat SDN 05 Kenari tidak suka Rizka menjajakan koran dengan
berseragam. Pasalnya itu mengundang pertanyaan, meski sekolah gratis tapi
musti bayar buku. Mulai cara halus didudukkan di bangku belakang dan
dicuekin, sampai intimidasi dikata-katai dengan kasar.
Pernah anak yatim itu takut berangkat, tapi ibunya yang tukang sapu jalan
di Lapangan Banteng memaksanya tetap bersekolah.
Pernah juga ada ancaman mengeluarkannya dari SDN 05, tapi pupus karena
deraan berita di koran dan radio. Malangnya intimidasi terhadap Rizka stop
& go seiring dengan redanya pemberitaan.
Awal tahun klien-ku menitipkan sejumlah uang untuk anak asuh. Maka Rizka
menjadi pilihan utama, menjadi anak (asuh) baru kami.
Tugu Tani - Jakarta, 28 Januari 2008
Sunday, February 3, 2008
Ketika Air Tercurah
Awan gemawan tebal menghitam sesekali memercikkan kilat, tak lama kemudian
guruh memecah memekakkan telinga warga ibukota yang malam itu masih
terjaga. Segera air tercurah bak tumpah ruah dari langit yang merekah. Air
bagai tiada hentinya mengguyur Jakarta dan sekitarnya tengah malam itu
hingga berlanjut sesiangan dengan kian lebatnya.
Sebelum tengah hari sebagian besar jalanan metropolitan telah menjadi
anak-anak sungai dengan pencakar langit di sekitarnya. Bahkan jalan tol pun
tergenang mirip kali, termasuk bandar udara (bandara). Dengan jarak pandang
hanya 300 meter dan pandasan pacu terbenam air, bandara internasional
Soekarno-Hatta sempat buka-tutup 2-3 kali.
Jalan Raden Saleh depan kantor pun menjadi sungai, padahal biasanya Jalan
Raden Saleh I di belakang yang 'langganan' kebanjiran.
Usai deadline berkali-kali kulongok jendela dengan cemas, namun air
tercurah dari langit tiada hentinya. Kutahu anak asuh kami tak memiliki jas
hujan dan sepatu kanvasnya pasti basah kalau jalanan kebanjiran. Belum lagi
kalau ia seragamnya basah kuyub karena hujan lebat diiringi deru angin.
Baru anak asuh sudah kepikiran seperti ini, apalagi anak sendiri di musim
banjir begini. Tapi Rizka kerap cuek-bebek dan keluguannya seakan tidak
menganggap dirinya menderita dengan membiarkan seragamnya mengiring di
badan.
Polos, tidak ada kecemasan dan dramatisasi kemelaratan yang justru
menjadikannya dramatis. Rizka mengajarkan ketabahan dan hidup tanpa
kecemasan yang jauh lebih arif dari orang dewasa.
Tugu Tani - Jakarta, 1 Februari 2008
guruh memecah memekakkan telinga warga ibukota yang malam itu masih
terjaga. Segera air tercurah bak tumpah ruah dari langit yang merekah. Air
bagai tiada hentinya mengguyur Jakarta dan sekitarnya tengah malam itu
hingga berlanjut sesiangan dengan kian lebatnya.
Sebelum tengah hari sebagian besar jalanan metropolitan telah menjadi
anak-anak sungai dengan pencakar langit di sekitarnya. Bahkan jalan tol pun
tergenang mirip kali, termasuk bandar udara (bandara). Dengan jarak pandang
hanya 300 meter dan pandasan pacu terbenam air, bandara internasional
Soekarno-Hatta sempat buka-tutup 2-3 kali.
Jalan Raden Saleh depan kantor pun menjadi sungai, padahal biasanya Jalan
Raden Saleh I di belakang yang 'langganan' kebanjiran.
Usai deadline berkali-kali kulongok jendela dengan cemas, namun air
tercurah dari langit tiada hentinya. Kutahu anak asuh kami tak memiliki jas
hujan dan sepatu kanvasnya pasti basah kalau jalanan kebanjiran. Belum lagi
kalau ia seragamnya basah kuyub karena hujan lebat diiringi deru angin.
Baru anak asuh sudah kepikiran seperti ini, apalagi anak sendiri di musim
banjir begini. Tapi Rizka kerap cuek-bebek dan keluguannya seakan tidak
menganggap dirinya menderita dengan membiarkan seragamnya mengiring di
badan.
Polos, tidak ada kecemasan dan dramatisasi kemelaratan yang justru
menjadikannya dramatis. Rizka mengajarkan ketabahan dan hidup tanpa
kecemasan yang jauh lebih arif dari orang dewasa.
Tugu Tani - Jakarta, 1 Februari 2008
Anak Berkelahi dengan Waktu
Hujan lebat siang menjelang sore hari masih menyisakan rinai gerimis di
senja ketika aku turun bis dengan jaket bertudung kepala anti air.
Cuma mengenakan topi dan rompi sponsor koran di balik seragam merah-putih
SD-nya, anak-asuh kami giat mengacungkan Kompas update edisi siang yang
dibungkus plastik. Sebagian pakaiannya tampak basah atau mungkin sudah
mengering di badan.
Melihatku menyeberang ke arahnya, Rizka menepi ke taman. Tak jauh dari
abangnya, Rizki yang sudah drop-out sepeninggal ayahanda mereka.
Kutanya sikap guru kelas yang kemarin kutemui, ternyata beliau tidak masuk.
Ia bicara ceplas-ceplos antara malu dan cuek yang sulit kuterka.
Ketika kuulurkan sebungkus nasi dengan lauk dan Choco Cruch 'sisaku' dari
kantor. Ia menjawab, itu enaknya dengan susu.
Aih, mana ada anak jalanan mengerti Choco Cruch? Kian kuyakini, anak
terpelajar ini terdidik, mungkin juga oleh iklan televisi.
Lalu kuceritakan kalau tadi Bu Khotimah dulu juga guru Dodo, abang sulung
Rizka. Bu guru ini memuji, kalau Dodo paling pintar di antara tiga
bersaudara yang sekolah di SDN Kenari 05.
Tanpa pretensi apa-apa, kutanyakan Dodo di mana.
"Meninggal. Typhus," jawab Rizka polos dan lugas.
Tampaknya orang miskin tidak boleh sakit di remuk republik ini. Typhus yang
bisa diobati berujung kematian di jantung ibukota begini, apalagi di
pelosok negeri?
Kemiskinan dan keterpaksaan pula mendamparkan Rizka siang sampai petang
berbasah-kuyub atau bermandikan peluh terik mentari. Belum lagi ia musti
menghirup asap knalpot yang tak sepenuhnya bebas timbal.
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu....
Tugu Tani - Jakarta, 30 Januari 2008
senja ketika aku turun bis dengan jaket bertudung kepala anti air.
Cuma mengenakan topi dan rompi sponsor koran di balik seragam merah-putih
SD-nya, anak-asuh kami giat mengacungkan Kompas update edisi siang yang
dibungkus plastik. Sebagian pakaiannya tampak basah atau mungkin sudah
mengering di badan.
Melihatku menyeberang ke arahnya, Rizka menepi ke taman. Tak jauh dari
abangnya, Rizki yang sudah drop-out sepeninggal ayahanda mereka.
Kutanya sikap guru kelas yang kemarin kutemui, ternyata beliau tidak masuk.
Ia bicara ceplas-ceplos antara malu dan cuek yang sulit kuterka.
Ketika kuulurkan sebungkus nasi dengan lauk dan Choco Cruch 'sisaku' dari
kantor. Ia menjawab, itu enaknya dengan susu.
Aih, mana ada anak jalanan mengerti Choco Cruch? Kian kuyakini, anak
terpelajar ini terdidik, mungkin juga oleh iklan televisi.
Lalu kuceritakan kalau tadi Bu Khotimah dulu juga guru Dodo, abang sulung
Rizka. Bu guru ini memuji, kalau Dodo paling pintar di antara tiga
bersaudara yang sekolah di SDN Kenari 05.
Tanpa pretensi apa-apa, kutanyakan Dodo di mana.
"Meninggal. Typhus," jawab Rizka polos dan lugas.
Tampaknya orang miskin tidak boleh sakit di remuk republik ini. Typhus yang
bisa diobati berujung kematian di jantung ibukota begini, apalagi di
pelosok negeri?
Kemiskinan dan keterpaksaan pula mendamparkan Rizka siang sampai petang
berbasah-kuyub atau bermandikan peluh terik mentari. Belum lagi ia musti
menghirup asap knalpot yang tak sepenuhnya bebas timbal.
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu....
Tugu Tani - Jakarta, 30 Januari 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)