Wednesday, May 9, 2007

Biaya Pembuatan Akte Kelahiran

Bayi WNI Keturunan Rp 150.000, Bayi Pribumi Rp 35.000

JAKARTA – Ini bukan mengada-ada. Ini adalah daftar biaya pembuatan Akte Kelahiran yang bisa Anda baca di Ruang Bersalin Immanuel Rumah Sakit Sint Carolus Jakarta.

Anak pertama yang lahir 1-50 hari dari orang tua pribumi dikenakan biaya pembuatan Akte Kelahiran Rp 35.000. Sementara anak yang lahir 1-50 hari dari orangtua Warga Negara Indonesia (WNI) Keturunan dipungut biaya sampai Rp 150.000.
Kendati di
sana tidak disebutkan keturunannya, namun WNI Keturunan biasa dilekatkan pada WNI keturunan Tionghoa. Artinya karena anak itu keturunan Tionghoa, maka biaya pembuatan Akte Kelahirannya menjadi empat kali lipat.
Padahal ketika SH mengecek ke Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Pusat, biaya resminya hanya Rp 5.000. Biaya itu tercantum dalam Tabel Retribusi Pencatatan Sipil berdasarkan Perda nomor 3 Tahun 1999.

Mengapa dengan kondisi yang sama, mereka mendapat perlakuan yang berbeda? Padahal sama-sama WNI. Adalah Koperasi Karyawan Usaha Bersama (KKUB) Rumah Sakit Sint Carolus yang menawarkan jasa pembuatan Akte Kelahiran. Ketika SH menanyakan di Wartel KKUB Sint Carolus, petugasnya membenarkan daftar yang terpampang itu masih berlaku.

Waktu SH menghubungi kembali melalui telepon Senin (23/9) malam, petugas yang mengaku bernama Agung menyatakan, ”Memang ketentuannya seperti itu.”

Sayangnya ketika dimintai konfirmasi dengan pihak Pengurus KKUB, Agung menyatakan tidak bisa menghubungkan. Ia pun tidak menunjukkan dimana Pengurus KKUB bisa dihubungi selain melalui nomor telepon yang terpampang pada papan pengumuman tersebut.


Itu Rasialis

Selain jasa pembuatan Akte Kelahiran, KKUB juga menawarkan pembuatan K1/OS 19 (model surat yang khusus berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa). Untuk itu KKUB memungut tambahan biaya sebesar Rp 55.000. Ketika SH menanyakan apakah K1 masih diperlukan, Agung menjawab, ”Kalau tidak bikin, tidak apa-apa.”

Di samping daftar biaya pembuatan Akte Kelahiran itu, terpampang pula sebuah pengumuman mengenai syarat-syaratnya. Di sana diberi catatan, nomor 5 sampai 7 untuk WNI Keturunan berupa fotokopi ganti nama ayah, fotocopi WNI ayah dan ibu serta K1 dan fotocopi akte kelahiran ayah dan ibu.
Padahal dari Petunjuk Praktis Akta-akta Catatan Sipil yang didapat SH dari Sudin Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Pusat, sudah tidak tercantum K1. Tapi di dalamnya masih mensyaratkan Surat Kewarganegaraan dan Ganti Nama Orangtua bagi WNI Keturunan.

Padahal menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku lagi. Keppres itu juga menyatakan, bagi warga negara Republik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan KTP atau KK , atau Akte Kelahiran tersebut.

Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia Keturunan Tionghoa (INTI), Gilbert Wiryadinata menyesalkan ketentuan seperti ini. Katanya, ”Carolus sebagai rumah sakit kok seperti itu, memberlakukan ketentuan yang lebih buruk dari Pemda dan ketentuan itu rasialis. Itu tidak pantas.”

Akte Kelahiran ini sangat penting sebab berlaku sebagai dokumen negara sepanjang hayat masih dikandung badan. Ke depan Akte Kelahiran akan menjadi dasar pembuatan dokumen-dokumen negara lainnya yang berlaku tidak hanya secara nasional tapi juga internasional.

Kalau dari Akte Kelahiran saja sudah diperlakukan tidak sama, apalagi dokumen selanjutnya? Ini akan menjadi mata rantai diskriminasi berkepanjangan yang tak ada putusnya. (SH/mega christina)

Sinar Harapan Selasa, 24 September 2002

No comments: