Thursday, September 9, 2010

Demam Pemilu di Australia Terasa Tanpa Hiruk Pikuk

Pemilihan Umum (Pemilu) Federal Australia kurang dari sepekan lagi. Sabtu, 21 Agustus nanti warga negara Australia akan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara (TPS) yang diumumkan seminggu sebelumnya.

Meski Canberra merupakan ibukota nasional serta jantung pergerakan politik dan pemerintahan federal, di seputaran negara bagian wilayah Ibukota Australia (Australian Capital Territory/A.C.T.) sepintas tidak tampak kehebohan Pemilu. Tidak ada baliho-baliho raksasa apalagi spanduk malang-melintang layaknya suasana Pemilu di Indonesia dan berbagai negara lainnya.

Dengan spasial seluas sebuah benua dan penduduk yang hanya sekitar 20 juta, media luar ruang tampaknya memang bukan menjadi pilihan komunikasi politik dalam Pemilu di negeri Kanguru ini. Apalagi tempat tinggal penduduk relatif tersebar di berbagai sub urban (semacam distrik) yang terpencar-pencar.

Demam Pemilu baru terasa ketika memperhatikan berbagai media cetak maupun elektronik. Berbagai radio dan televisi secara periodik menyiarkan kunjungan kampanye tokoh kunci dari dua partai politik (parpol) utama, yakni Perdana Menteri Julia Gillard yang tengah menjabat (incumbent) dari Partai Buruh Australia dan pemimpin partai oposisi Tony Abbott dari Partai Liberal.

Saling serang program tampak sengit di iklan-iklan televisi. Misalnya Partai Buruh dibombardir dengan iklan kian banyak utang dan pajak. Partai Liberal diserang dengan iklan bakal menurunkan layanan-layanan publik yang saat ini diperjuangkan Partai Buruh yang berkuasa. Bahkan Partai Hijau pun tidak luput dari serangan di iklan televisi.

Selain memberitakan berbagai kunjungan para wakil rakyat, media cetak memiliki kekuatan analisa dan berbagai kolom yang diasuh para ilmuan. Seperti di Mingguan CityNews edisi 5-11 Agustus, Pakar politik dan sejarah Don Aitkin menulis betapa membosankannya Pemilu 2010 ini. Salah satu alasannya adalah tidak adanya keterhubungan dengan 'gambaran besar' masalah yang dihadapi. Aitkin mencontohkan kalau Australia memutuskan pembatasan imigrasi secara serius, dampaknya akan mengalami kekurangan tenaga trampil di berbagai bidang. Sementara tidak ada calon yang bicara soal investasi besar-besaran di bidang pendidikan untuk menghasilkan tenaga trampil tersebut.

Komunikasi Dua Arah
Koran lokal juga kebagian iklan para calon wakil rakyat yang memaparkan program dan mengundang konstituennya untuk mendatangi stand komunitas. Dengan demikian komunikasi para calon wakil rakyat tidak sekedar satu arah melalui media massa, melainkan interaktif langsung dengan calon pemilihnya.

Stand komunitas itu berlangsung pada pekan ini hingga pekan depan di berbagai pusat perbelanjaan di beberapa sub urban. Di sana para calon berupaya berinteraksi dengan konstituen dan calon pemilih atau setidaknya mereka membagikan pamflet berisi program mereka.

Di samping itu, para wakil rakyat juga mengiklankan kotak pos, alamat email dan website mereka. Dengan begitu, calon pemilih bisa mengangkat berbagai isu penting.

Tidak ketinggalan berbagai kelompok penekan (pressure group). Seperti Love 40 Percent yang mengangkat isu perubahan iklim dengan sasaran A.C.T. Berkomitmen mengurangi 40 persen tingkat karbon di tahun 2020. Kelompok-kelompok penekan ini lebih intens berkomunikasi langsung dengan wakil rakyat maupun calonnya, ketimbang turun ke jalan dengan unjuk rasa.

Sebuah Kewajiban
Mungkin salah satu alasan kurangnya hiruk pikuk Pemilu di Australia adalah karena memilih adalah sebuah kewajiban. Menjadi sebuah keharusan bagi warga negara Australia yang berusia dewasa (18 tahun ke atas) dan yang berhak memilih untuk mendatangi TPS pada Pemilu Federal. Mengingat Pemilu negara bagian biasanya digabung dengan Pemilu Federal, maka calon pemilih tidak bisa mengelak untuk tidak memberikan suaranya. Namun dengan Pemilu yang bersifat rahasia, calon pemilih bisa saja merusak surat suara.

Ketidakhadiran di TPS bisa berbuah hukuman, mulai dari sekedar denda, melakukan pelayanan pada masyarakat sampai hukuman kurungan kalau tidak mampu membayar denda yang besarnya mencapai 100 dolar Australia. Karenanya, Pemilu di Australia biasanya diadakan di hari Sabtu atau Minggu, sehingga tak ada alasan bagi warga yang bekerja untuk menunaikan kewajiban memberikan suara mereka.

Karena memilih menjadi sebuah keharusan, tak perlu perlu lagi dana kampanye untuk mengerahkan pemilih mendatangi TPS. Tampaknya keharusan ini juga dipandang positif untuk mengurangi politik uang dalam Pemilu.

Lebih dari itu, bagi pendukung Pemilu sebagai sebuah kewajiban, ini kesempatan untuk melakukan pendidikan politik serta merangsang warga untuk lebih mendapat informasi. Yang pasti, tingkat partisipasi politik bakal tinggi sehingga menjamin pemerintah yang terpilih mewakili mayoritas penduduk, bukan individu-individu yang memilihnya. Dengan demikian pemenang Pemilu diharapkan akan mendapat legitimasi politik yang lebih besar. Tetap sebuah pesta demokrasi, meski tanpa hingar-bingar yang riuh reda.


* Penulis merupakan mantan wartawan yang kini menetap di A.C.T.
Canberra, 14 Agustus 2010