Bus tiga perempat dengan sopir gaya pembalap Formula 1 menerjang aspal jalanan seakan berkejaran dengan terik siang hari, tak peduli pada penumpangnya yang penuh berdiri kalang kabut menjejakkan kaki di bus yang oleng. Apalagi begitu keluar Tol Balaraja, jalanan dengan lubang mengangah bak kubangan kerbau menghadang di jalan. Sang sopir main hajar saja, sehingga lewat tengah hari bus telah tiba di Terminal Mandala Rangkas Bitung, yang jauh dari pusat kota.
Ingat typhus, kususuri jalan mencari rumah makan yang representatif bagi perut manja-ku. Hanya ada warteg agak jauh dari terminal, meski tak luput dari debu jalanan juga. Ibu pemilik warung hanya punya beberapa bungkus mie instan goreng untuk mengganjal lambung yang cuma terisi sari kacang hijau dan air sedari pagi.
Usai makan, kembali ke terminal. Petugas DLLAJR yang kutanyai, main suruh makelar angkot membawaku naik angkot 01 lalu oper 07 ke Subterminal Aweh.
Setelah menunggu sejam lebih, lepas Azhar, Elf yang tak kalah sembrononya menerjang jalan kelas kabupaten hotmix bopeng dengan kecepatan rata-rata 50-60 kilometer per jam. Padahal jalanannya beralur pengungkit naik turun bukit, itu pun tak jarang musti mengerem menghindari lubang. Sementara di dalam Colt Diesel itu sesak dengan tak kurang 20 orang plus lewat dari sebelah jari orang yang duduk di atas kap. Mungkin mereka terbiasa atau memang punya jantung cadangan, sedang aku duduk depan berempat saja sibuk cari pegangan.
Ini belum apa-apa, belok ke arah Ciboleger jalanan kian curam, petani Badui yang lepas berladang menjadi tambahan penumpang. Sampai ngandol tengah dan di depan, dengan jalan meliuk dan menukik terjal. Pasalnya inilah Elf terakhir sebelum senja turun.
Di Ciboleger, kenek melarangku turun dan membawaku menjauh dari putaran kecil yang disebut terminal. Menurutnya, orang terminal bisa menyesatkan dan aku percaya saja.
Akhirnya Mang Kawi yang membawaku melewati jalan setapak berlumpur yang bertemu dengan pintu gerbang ke Masyarakat Adat Badui.
Lapor ke Jaro (kepala desa) di dusun pertama, Kadeuketug. Cuma mengisi buku tamu dan memberikan uang sukarela.
Lewat dusun kedua, Balimbing, jalan setapak kian berlumpur becek, kulepas sandal jepitku. Ndelamak (bertelanjang kaki) kurasakan lebih memijak bumi dan aku lebih punya kendali, bersatu dengan alam.
Usai Dusun Marenggo, kabut malam mulai menebarkan jubah kelamnya. Jalan berbatu licin berlumut pula, plus curam menyeberang kali kecil. Rasanya ini lebih parah dari naik Gunung Gede. Namun kuingat kembali prinsip naik tambang, fokus ke depan, lalui satu per satu dengan mantap. Maka kutapakkan kaki dengan yakin pada jalur yang benar, percaya pada intuisi batu yang kupilih tak berkhianat menggelincirkanku.
Setelah bertemu sungai yang lebar di sisi kanan, akhirnya inilah dusun keempat yang kami tuju, Gajebo.
Menanjak ke sisi kiri jalan masuk, Mang Kawi membawaku ke kediaman A yang ternyata ayahnya kerap menerima Aristides dan Mimis istrinya, Don Hasman, serta Rudy Badil.
Magrib tanpa suara azan, rasanya sudah larut malam betul. Penerangan hanya lampu teplok yang rasanya sudah lama benar tak pernah kulihat. Tak ada listrik, jelas tak ada bising televisi dan alat elektronik lain.
Mungkin ini kunci Suku Badui bertahan menolak modernisasi, mereka punya banyak waktu bersosialisasi dan guyub. Ketika berbincang dengan tuan rumah, sayup-sayup kudengar tetangga juga ngobrol, satu-satunya hiburan.
Yang sempat mengejutkan di ruang tamu itu tiba-tiba suara elektronik khas telepon genggam memecah keheningan. Ternyata pemilik rumah punya HP dengan operator Indosat, sementara Telkomsel di HP-ku tak ada sinyal.
"Sebenarnya HP juga dilarang, tapi asal tidak menyolok," aku A yang tampak kerap bersentuhan dengan dunia luar.
Yang lebih menakjubkan lagi A bisa membaca dan mengirim SMS serta relatif berbahasa Indonesia dengan baik, padahal suku Badui tidak mengeyam sekolah atau pendidikan formal lain.
Self Sufficient
Ketika hari masih gelap, kokok ayam yang bersahutan membangunkan masyarakat Badui. Kaum perempuan menghidupkan pendiangan untuk menanak nasi dan memasak lauk yang akan dibawa ke ladang. Lalu ke sungai untuk mandi dan buang hajat.
Menjelang matahari terbit, mereka telah menyusuri punggung bukit menuju sawah atau ladang mereka yang menjadi sumber pangan dan pengisi lumbung mereka.
Kalau usai panen, mereka menenun dan mengerjakan berbagai kerajinan berbahan alami.
Sementara sebelum upacara besar Kawalu yang berlangsung tiga bulan, mereka membenahi rumah, terutama bagian atap dari anyaman rumbia daun sagu (kirai, mereka menyebutnya) dan ijuk. Atau bagian dinding dari anyaman bambu dan lantai bilah kulit luar bambu yang mirip lampit. Untuk bagian kuda-kuda dan palang plafon, mereka harus dari jauh-jauh hari merendam balok kayu di rawa-rawa sebagai anti rayap.
Rumah-rumah panggung itu berjajar rapi mengikuti garis sejajar sungai dan berundak seturut kontur tanah perbukitan. Sepintas lalu rumah itu tampak serupa dengan teras, ruang tamu, dan ruang keluarga yang merangkap dapur dan pendiangannya.
Namun tak ada semenan yang bakal ditemui di kawasan Badui. Fondasi rumah mereka terbikin dari tatanan batu sungai. Demikian pula dengan jalan setapaknya.
Jembatan yang membentang di atas sungai mereka merupakan jembatan bambu tertambat pada dua pohon besar dengan lengkung arch bridge. Bambu-bambu besar dan tua itu diikat dengan sepenuhnya dengan ijuk. Jembatan bambu itu pun harus diganti setahun sekali.
Semua dikerjakan secara bergotong royong dan semua kebutuhan bersama dipenuhi secara swadaya. Tak heran kalau suku Badui sudah relatif sibuk dengan kehidupan self sufficient-nya.
Karena semua telah tercukupi secara swadaya, tak perlu listrik dan barang-barang mewah, hidup suku Badui relatif makmur. Lumbung padi tiap keluarga bahkan bisa diwariskan secara turun-temurun, tak bakal ada kelaparan di sana.
Apalagi kemana-mana harus berjalan kaki, naik-turun bukit tak jarang bertelanjang kaki, orang Badui tampak sehat-sehat.
Isu Lingkungan
A menceritakan kearifan suku Badui yang dipercaya sebagai penjaga hutan sampai ke Ujung Kulon. Tak ada penebangan pohon yang tidak seizin adat.
Hanya atas kesepakatan pembukaan lahan, tegakan pohon akan dirobohkan. Ini sudah menjadi rahasia umum, yang sangat kontras mengingat sepanjang jalan hingga Ciboleger bertebaran penggergajian kayu dan truk-truk bermuatan kayu gelondongan.
Kami bertukar pandangan mengenai sampah. Dengan arif, A mengakui tak ada larangan membuang sampah di Badui, karena dulu daun pisang dibuang sembarang dapat segera menjadi kompos. Sementara kini sampah plastik, baik warga maupun pendatang tak dilarang menggunakannya dan tak jarang membuang ke tepi Sungai Cisemeut seperti yang kusaksikan.
A mengakui sekarang terlihat bersih karena hujan menghanyutkan sampah itu, namun di musim kemarau sampah akan terlihat bertebaran. Kuceritakan pengalamanku bersama Save The Pangrango memunguti sampah, proyek kompos Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) di Surabaya dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Denpasar. Rupanya A pernah juga ke Cibodas sampai Air Terjun Cibeureum. Terlihat ia antusias belajar atau paling tidak mengetahui dunia luar tentang masalah lingkungan. Tampaknya Tides dkk memberi
dampak kuat pada dirinya.
Ia mau menemaniku menemui Jaro untuk menanyakan isu lingkungan ini. Yang kemudian staf humasnya, Masardi yang menemuiku. Ia memulai penjelasannya dengan mengutip "Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak...."
Inilah amanat leluhur Badui yang dipegang teguh secara turun-temurun hingga kini. Yang artinya kira-kira, gunung harus ditanami, kalau dirusak akibatnya banjir dan longsor akan melanda di musim hujan serta sebaliknya kekeringan di musim kemarau.
Tak heran, kalau masyarakat Badui menjadi salah satu suku asli pelestari lingkungan hidup, khususnya dalam melindungi hutan.
Ini terlihat dari 5.100,8 hektar lahan masyarakat Badui, 3.000 hektar merupakan areal hutan lindung yang benar-benar dilindungi keberadaannya. Sementara sisanya digunakan untuk menghidupi 11.000 jiwa lebih masyarakat Badui yang menggantungkan hidup pada lahan pertanian dan ladang.
Kendati memiliki sistem pertanian berpindah, masyarakat Badui pantang merambah hutan. Masardi menegaskan ada hukuman sangat berat apabila hutan lindung dirambah.
"Hukumannya bisa hukuman batin seperti musibah atau merugi terus. Hukuman batin ini bisa sampai tujuh turunan dan hanya dihapuskan melalui upacara untuk berjanji tidak melanggar hutan lindung," jelas Masardi yang penulis temui di Dusun Kadeuketug, dusun terluar Badui di Desa Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Lebih lanjut ia menerangkan, ada juga hukuman adat, dipanggil tokoh adat di Badui Dalam.
"Sejauh ini hanya diperingatkan, belum ada yang sampai dikenai sanksi desa. Itu pun sangat jarang yang berani melanggar, paling hanya 1-2 kejadian," tambah Masardi.
Ia juga meluruskan pengertian berpindah itu bukan ke lahan hutan, melainkan sistem rotasi di lahan yang sudah ditetapkan menjadi hak keluarga itu. Misalnya suatu keluarga mendapat dua hektar, satu hektar ditanami pohon akasia, sisa lahan ditanami padi. Setelah pohon akasia dipanen kayunya lima tahun lagi, lahan itu ganti ditanami padi, sebaliknya sawah ditanami pohon.
"Tanah akan kurus (lapisan humusnya berkurang) kalau ditanami satu jenis tanaman," kata Masardi mengungkapkan kearifan lokal yang telah dipunyai Badui secara turun-temurun.
Selain itu, menurutnya, masyarakat Badui juga banyak yang berladang di luar wilayahnya sampai ke lima kecamatan di Lebak. Dengan demikian ini bisa mengatasi pertambahan penduduk Badui tumbuh sekitar satu persen dengan sensus Mei 2007 tercatat 5.500 laki-laki dan 5.441 perempuan.
Belum lagi adat suku Badui pantang menggunakan semen. Maka jalan ke dusun-dusun masyarakat Badui yang berbukit-bukit hanyalah jalan setapak dengan batu sungai sebagai pijakan di tanah liat. Di samping alami, tingkat kesulitan akses jalan ini menjadi semacam pengaman dari perambah hutan dan pengaruh negatif lain seperti berkurangnya daerah resapan.
Ujung Kulon
Masyarakat Badui juga dikenal sebagai penjaga hutan lindung sampai ke Ujung Kulon. Secara rutin mereka memantau kondisi hutan lindung di wilayah paling barat Pulau Jawa ini ketika mereka menggelar upacara penatapan.
Sesuai kepercayaan Sunda Wiwitan, masyarakat Badui meyakini setiap gunung memiliki penghuni. Upacara tadi dilakukan agar 'isi' gunung itu tidak resah. Dari sekian banyak gunung di Unjung Kulon, di antaranya adalah Gunung Honjeu dan Gunung Madur, tempat upacara tadi.
"Sampai 2006 kondisi hutan lindung Ujung Kulon masih aman. Tapi tahun lalu, ada sebagian, terutama yang dekat jalan, pohonnya ditebang," jelas Masardi yang menjadi salah satu dari 12 perangkat desa Badui.
Menurutnya, Badui tidak memiliki perangkat desa yang menjaga hutan (Jagawana). Ia menggarisbawahi tugas menjaga hutan itu dilakukan secara gotong royong, secara bersama-sama. Dengan demikian sejatinya setiap orang Badui adalah jagawana. Andai ini bisa diterapkan pada semua masyarakat tepi hutan-hutan kita.
Lebak, 20-21 Maret 2008
(real World Silent Day in Badui)
Saturday, March 29, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)