Ketika artikel dipublikasikan media, sebagai penulis lepas, ini merupakan sebuah capaian (achievement). Terlebih ketika belum ada prestasi atau capaian lain dalam artian signifikan.
Ini mengingatkan pada Need for Achievement (N-Ach), pelajaran di bangku kuliah. N-Ach mengacu pada keinginan seseorang akan suatu capaian signifikan yang menyangkut ketrampilan atau suatu standard kompetensi tertentu.
N-Ach mengarah pada sesuatu yang sulit untuk diraih. Individu dengan N-Ach rendah memilih suatu capaian yang relatif mudah untuk mengurangi risiko gagal. Sedang individu dengan N-Ach tinggi bakal tertantang untuk meraih capaian dengan standard tinggi yang terukur. Karenanya individu tersebut menyukai tantangan dan memiliki kemandirian yang tinggi pula.
Dengan N-Ach, ada suatu standard tertentu yang kita anggap sebagai capaian. Suatu pujian atas ketrampilan tertentu bisa merupakan suatu capaian bagi suatu individu, namun tidak demikian halnya bagi individu yang lain.
Bagiku, pujian atas ketrampilan domestik (tanpa merendahkan keuletan rumah tangga) belumlah merupakan suatu capaian signifikan. Ini menjadi bagian kegelisahan domestifikasi.
Ini karena tidak ada standard signifikan dalam capaian domestik. Pahadal kalau kita melakukan penghitungan moneter atas ketrampilan rumah tangga, nilai per jam-nya bisa melebihi pekerjaan purna waktu di arena publik yang mendapat penghargaan nyata.
Mengingat N-Ach berkorelasi dengan perasaan positif, ada baiknya orangtua mendorong kemandirian anaknya dengan rajin-rajin memberi pujian dan penghargaan atas capaian si bocah.
Negara maju relatif lebih sadar akan N-Ach ini, sehingga sedemikian banyak penghargaan akan kepahlawanan sederhana di tengah masyarakat. Maka negara ini 'rajin melahirkan' pahlawan-pahlawan cilik di berbagai bidang guna memupuk capaian besar di masa mendatang.
Canberra, 10 December 2010 (menyambut Dedek Mika)
Monday, December 13, 2010
Friday, November 12, 2010
Menulis Ulang Guru-guru yang Memberi Inspirasi Hidupku
Surya bersinar
Udara segar
Terima kasih ...
Bu Maria
Sepotong lagu Taman Kanak-kanak (TK) ini mengingatkanku pada sosok perempuan ramping, tinggi semampai dengan kacamata menghiasi wajah cantik yang murah senyum. Suaranya dan nada bicaranya lembut, memberi kesan sabar. Dialah guru pertama dalam hidupku, guru dalam arti sebenarnya di sebuah sekolah formal.
Hanya sepotong nama Bu Maria yang kuingat dengan baik. Namun jauh sebelum hari pertama sekolah dalam sejarah hidupku, nama itu sudah kudengar dari para orangtua murid, paman bibi serta kakakku yang pernah menjadi muridnya. Karenanya, dia menjadi semacam garansi rasa aman pada hari pertamaku sekolah. Ketika hampir seisi kelas anak sebayaku mulai menangis saat pintu kelas dengan tegas ditutup oleh Bu Maria, aku merasa baik-baik saja.
Sejak saat itu hingga 20 tahun sejarah diriku mengenyam pendidikan formal, sekolah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Meski terkenal sulit bangun pagi sejak kecil, namun sekolah tetap bukan sebuah keterpaksaan.
Sekolah merupakan suatu 'dunia' yang menarik bagiku sejak TK, salah satunya karena memiliki guru yang penyabar seperti Bu Maria. Yang masih teringat adalah guru TK saat itu masih harus melakukan potty training (mengajari bocah buang air ke toilet), sikat gigi dengan benar, membagikan ransum kacang hijau dan lain-lain.
Andai semua guru seperti Bu Maria, sekolah akan menjadi tempat yang nyaman.
Bu Budi
Dia adalah guru pertamaku di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Santo Joseph Lumajang, yang memperkenalkan padaku 'keindahan' dunia tulisan dengan mengajari membaca dan menulis. Saat itu ia memulai dengan mengeja “Iin Aan”, memenggal suku kata. Juga “ini Budi, ini ibu Budi” yang menjadi pelajaran membaca pertama saat itu.
Sosok kecil mungil dengan kulit sawo matang ini juga kulupa nama lengkapnya. Namun tak mungkin kulupakan jasanya yang membawaku pada dunia tulis-menulis saat ini.
Pak Saelan
Dia adalah guru dan wali kelasku di kelas V SDK Santo Joseph Lumajang. Ada satu pepatah Jawa darinya yang sampai saat ini melekat dalam benakku: ajur ajer (melebur dan menyatu, terjemahan bebas).
Bapak tiga anak yang mengayuh sepeda ke sekolah ini tidak menyembunyikan kesederhanaan hidup keluarganya dan pemahaman hidup gaya Jawa yang ia lakoni. Ia memperkenalkanku pada dunia filosofi Jawa melalui cerita pewayangan: Ramayana dan Mahabarata yang nantinya membawaku secara dini menyukai filsafat.
Guru Sastra SMA
Satu lagi guru yang memberi inspirasi dalam hidupku, sayang tak kuingat betul namanya. Ia merupakan guru muda yang rasanya hanya beberapa bulan sempat mengajar Sastra Indonesia di SMA Negeri 2 Lumajang. Konon ia merupakan adik penyair dan sastrawan terkenal.
Ia memperkenalkan dunia teater pada kami 'anak kampung' yang saat itu belum pernah menonton teater secara live. Di kelas ia mengajari mengapresiasi Teater Gandrik – yang tampaknya ia pernah bergabung.
Tidak sebagaimana guru yang sekedar mencurahkan ilmu dari buku teks, ia membawa dunia sastra dan teater dengan emosi dan kecintaannya yang membuat kami terpesona pada dunia peran.
Pada intinya guru-guru ini tidak sekedar mengajar dan menularkan ilmu pada anak didiknya. Lebih dari itu guru-guru ini membagikan seni menghadapi 'sekolah kehidupan' yang lebih luas.
Sayang sampai saat ini aku tidak mengetahui nama lengkap dan kabar berita mereka. Semoga dengan tulisan ini, setidaknya aku mengapresiasi yang sudah mereka 'wariskan' (legacy). Besar harapanku, mereka dalam keadaan sehat walafiat dan sejahtera.
Terima kasih seribu
Oh terima kasih seribu
Pada Tuhan Allahku
Oh pada Tuhan Allahku
Aku bahagia karena dicinta
Terima kasih
* Tulisan asli awalnya dimaksudkan untuk diterbitkan menjadi buku oleh sebuah LSM Pendidikan
.
Udara segar
Terima kasih ...
Bu Maria
Sepotong lagu Taman Kanak-kanak (TK) ini mengingatkanku pada sosok perempuan ramping, tinggi semampai dengan kacamata menghiasi wajah cantik yang murah senyum. Suaranya dan nada bicaranya lembut, memberi kesan sabar. Dialah guru pertama dalam hidupku, guru dalam arti sebenarnya di sebuah sekolah formal.
Hanya sepotong nama Bu Maria yang kuingat dengan baik. Namun jauh sebelum hari pertama sekolah dalam sejarah hidupku, nama itu sudah kudengar dari para orangtua murid, paman bibi serta kakakku yang pernah menjadi muridnya. Karenanya, dia menjadi semacam garansi rasa aman pada hari pertamaku sekolah. Ketika hampir seisi kelas anak sebayaku mulai menangis saat pintu kelas dengan tegas ditutup oleh Bu Maria, aku merasa baik-baik saja.
Sejak saat itu hingga 20 tahun sejarah diriku mengenyam pendidikan formal, sekolah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Meski terkenal sulit bangun pagi sejak kecil, namun sekolah tetap bukan sebuah keterpaksaan.
Sekolah merupakan suatu 'dunia' yang menarik bagiku sejak TK, salah satunya karena memiliki guru yang penyabar seperti Bu Maria. Yang masih teringat adalah guru TK saat itu masih harus melakukan potty training (mengajari bocah buang air ke toilet), sikat gigi dengan benar, membagikan ransum kacang hijau dan lain-lain.
Andai semua guru seperti Bu Maria, sekolah akan menjadi tempat yang nyaman.
Bu Budi
Dia adalah guru pertamaku di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Santo Joseph Lumajang, yang memperkenalkan padaku 'keindahan' dunia tulisan dengan mengajari membaca dan menulis. Saat itu ia memulai dengan mengeja “Iin Aan”, memenggal suku kata. Juga “ini Budi, ini ibu Budi” yang menjadi pelajaran membaca pertama saat itu.
Sosok kecil mungil dengan kulit sawo matang ini juga kulupa nama lengkapnya. Namun tak mungkin kulupakan jasanya yang membawaku pada dunia tulis-menulis saat ini.
Pak Saelan
Dia adalah guru dan wali kelasku di kelas V SDK Santo Joseph Lumajang. Ada satu pepatah Jawa darinya yang sampai saat ini melekat dalam benakku: ajur ajer (melebur dan menyatu, terjemahan bebas).
Bapak tiga anak yang mengayuh sepeda ke sekolah ini tidak menyembunyikan kesederhanaan hidup keluarganya dan pemahaman hidup gaya Jawa yang ia lakoni. Ia memperkenalkanku pada dunia filosofi Jawa melalui cerita pewayangan: Ramayana dan Mahabarata yang nantinya membawaku secara dini menyukai filsafat.
Guru Sastra SMA
Satu lagi guru yang memberi inspirasi dalam hidupku, sayang tak kuingat betul namanya. Ia merupakan guru muda yang rasanya hanya beberapa bulan sempat mengajar Sastra Indonesia di SMA Negeri 2 Lumajang. Konon ia merupakan adik penyair dan sastrawan terkenal.
Ia memperkenalkan dunia teater pada kami 'anak kampung' yang saat itu belum pernah menonton teater secara live. Di kelas ia mengajari mengapresiasi Teater Gandrik – yang tampaknya ia pernah bergabung.
Tidak sebagaimana guru yang sekedar mencurahkan ilmu dari buku teks, ia membawa dunia sastra dan teater dengan emosi dan kecintaannya yang membuat kami terpesona pada dunia peran.
Pada intinya guru-guru ini tidak sekedar mengajar dan menularkan ilmu pada anak didiknya. Lebih dari itu guru-guru ini membagikan seni menghadapi 'sekolah kehidupan' yang lebih luas.
Sayang sampai saat ini aku tidak mengetahui nama lengkap dan kabar berita mereka. Semoga dengan tulisan ini, setidaknya aku mengapresiasi yang sudah mereka 'wariskan' (legacy). Besar harapanku, mereka dalam keadaan sehat walafiat dan sejahtera.
Terima kasih seribu
Oh terima kasih seribu
Pada Tuhan Allahku
Oh pada Tuhan Allahku
Aku bahagia karena dicinta
Terima kasih
* Tulisan asli awalnya dimaksudkan untuk diterbitkan menjadi buku oleh sebuah LSM Pendidikan
.
Mobil Elektrik Mulai Ambil Posisi
Dari segi penampilannya, kendaraan ini tidak ada bedanya dengan mobil-mobil lainnya. Jenis sedan ini memiliki kapasitas empat bangku dengan empat pintu samping plus pintu hatchback di bagian belakang.
Sebagaimana layaknya sedan, mobil ini dilengkapi kendali digital, pengatur suhu (air conditioner), kunci terpusat (central lock), jendela otomat (power windows), radio AM/FM dengan MP3 dan CD serta Bluetooth.
Bahkan mobil ini juga mempunyai standar keselamatan khas negara maju berupa airbags ganda di bagian depan, head restraints di bangku depan, sabuk keselamatan (seatbelt pretensioners), empat rem cakram serta sistem rem anti-terkunci dan distribusi kekuatan pengereman secara elektronik(Anti-lock Braking System/ABS & Electronic Brakeforce Distribution/EBD).
Yang membedakan adalah bahan bakarnya. Sedan Electron Mark V ini sepenuhnya (100%) menggunakan listrik, bukan mobil hybrid masih bisa fleksibel dengan bahan bakar minyak (BBM). Jadi bahan bakarnya cukup dicolok ke listrik dengan standar colokan Australia berkaki tiga.
Mobil keluaran Blade Electric Vehicle (BEH) Australia ini memakai baterai non‐combustible Lithium Iron Phosphate (LiFePo4) yang bisa digunakan 8-10 tahun. Waktu pengisian baterai (charge) tergantung pada ampere-nya, pada 10 ampere (standar colokan rumah tangga) bisa sampai 7-8 jam untuk terisi penuh.
“Dengan pengisian baterai cepat (rapid charging) hingga 60% hanya sekitar 20 menit,” kata Doug Falconer dari BEH.
Karenanya ia mengklaim produksinya sebagai kendaraan bebas emisi: zero carbon dioxide, zero carbon monoxide, zero nitrogen oxides, zero hydrogen sulphide, zero hydrocarbons. Pasalnya di Wilayah Ibukota Australia (ACT) listriknya 100% bersumber dari energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu maupun Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
EV Festival
Pekan ini, 2-8 Oktober Blade Electron Mark V unjuk gigi dalam acara Green Zone Drive di Melbourne. Bulan lalu, Blade Electron Mark V menjadi salah satu mobil yang ditawarkan dalam Canberra Electric Vehicle Festival yang disponsori Australian Electric Vehicle Association and ACT Electric Vehicle Council.
Dalam ajang itu, BEH bahkan menawarkan 50 pembeli pertama Blade Electron Mark V dengan diskon AU$ 1,500 sehingga harganya AU$ 48.000 (sekitar Rp 400 juta) dengan garansi lima tahun dan jaminan pembelian kembali yang lebih tinggi dalam tiga tahun. BEH juga menawarkan dengan sistem sewa (leasing).
Ajang tadi dilengkapi pula dengan test drive. Dalam test drive yang dilakukan organisasi Clean Driving di Canberra bulan lalu, menempuh jarak 86 kilometer sedan ini melaju dengan kecepatan rata-rata 65,2 kilometer per jam. Kalau mau dimaksimalkan, kecepatan puncaknya dapat mencapai 120 kilometer per jam.
Clean Driving mengklaim Blade Electron Mark V cuma membutuhkan lima sen (dengan standar listrik pembangkit energi terbarukan Australia) per kilometernya.
Kini Blade Electron yang dirintis tahun 2006 di negara bagian Victoria sudah berproduksi sejak 2008 dengan 55 persen kandungan lokal Australia. Blade Electron mulai terlihat di jalanan di berbagai negara bagian Australia, bahkan sudah diekspor ke Selandia Baru.
Pengembangan EV
ACT sudah melakukan pendaftaran pertama mobil elektrik (EV), yakni Blade Electron dan menerima empat iMiEV keluaran Mitsubishi, sebagaimana diberitakan Mingguan CityNews pekan ini. Empat dari 20 iMiEV itu dimaksudkan untuk menguji kesiapan infrastruktur mobil elektrik di Canberra. Tahun 2010 ini, Australia akan menerima 110 iMiEV
Sebelumnya, ACT telah menandatangani nota kesepahaman dengan Produsen mobil Nissan-Renault guna mengembangkan kebijakan untuk memperkenalkan mobil elektrik di ACT.
Canberra bertelad menjadi ibukota EV yang ditandai adanya kontrak ACT dengan Better Place selaku perusahaan penyedia infrastruktur EV dan ActewAGL yang mengoperasikan jaringan listrik. Dengan kontrak itu, Better Place akan menyediakan tempat pengisian baterai cepat dan tempat penukaran baterai (battery-swapping) di Canberra mulai semester kedua tahun 2011.
Dengan demikian, mobil elektrik makin kuat. Tidak saja tersedia secara komersial, tapi juga mendapat dukungan politik untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan pemanasan global.
BOX: Spesifikasi Blade Electron Mark V
Jenis: empat tempat duduk, empat pintu samping dan pintu belakang hatchback
Jenis penggunaan: seputar kota dengan jangkauan 100 kilometer (bervariasi tergantung muatan, gaya menyetir, penggunaan asesoris, dll)
Power maksimum :35 kW @ 3000‐5000 rpm
Torsi maksimum : 90 Nm @ 0‐4000 rpm
Kinerja: 0-60 kilometer per jam dalam tujuh detik.
Kecepatan maksimal : 120 kilometer per jam
Baterai : Non‐combustible Lithium Iron Phosphate (LiFePo4)
Driven Wheels: 2WD
Panjang 3835 mm Wheelbase: 2455 mm
Lebar: 1665 mm
Tinggi: 1500 mm
Berat: 1185kg
* Tulisan ini dimuat di Harian Ekonomi "Bisnis Indonesia" Edisi Minggu, 30 Oktober 2010.
Sebagaimana layaknya sedan, mobil ini dilengkapi kendali digital, pengatur suhu (air conditioner), kunci terpusat (central lock), jendela otomat (power windows), radio AM/FM dengan MP3 dan CD serta Bluetooth.
Bahkan mobil ini juga mempunyai standar keselamatan khas negara maju berupa airbags ganda di bagian depan, head restraints di bangku depan, sabuk keselamatan (seatbelt pretensioners), empat rem cakram serta sistem rem anti-terkunci dan distribusi kekuatan pengereman secara elektronik(Anti-lock Braking System/ABS & Electronic Brakeforce Distribution/EBD).
Yang membedakan adalah bahan bakarnya. Sedan Electron Mark V ini sepenuhnya (100%) menggunakan listrik, bukan mobil hybrid masih bisa fleksibel dengan bahan bakar minyak (BBM). Jadi bahan bakarnya cukup dicolok ke listrik dengan standar colokan Australia berkaki tiga.
Mobil keluaran Blade Electric Vehicle (BEH) Australia ini memakai baterai non‐combustible Lithium Iron Phosphate (LiFePo4) yang bisa digunakan 8-10 tahun. Waktu pengisian baterai (charge) tergantung pada ampere-nya, pada 10 ampere (standar colokan rumah tangga) bisa sampai 7-8 jam untuk terisi penuh.
“Dengan pengisian baterai cepat (rapid charging) hingga 60% hanya sekitar 20 menit,” kata Doug Falconer dari BEH.
Karenanya ia mengklaim produksinya sebagai kendaraan bebas emisi: zero carbon dioxide, zero carbon monoxide, zero nitrogen oxides, zero hydrogen sulphide, zero hydrocarbons. Pasalnya di Wilayah Ibukota Australia (ACT) listriknya 100% bersumber dari energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu maupun Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
EV Festival
Pekan ini, 2-8 Oktober Blade Electron Mark V unjuk gigi dalam acara Green Zone Drive di Melbourne. Bulan lalu, Blade Electron Mark V menjadi salah satu mobil yang ditawarkan dalam Canberra Electric Vehicle Festival yang disponsori Australian Electric Vehicle Association and ACT Electric Vehicle Council.
Dalam ajang itu, BEH bahkan menawarkan 50 pembeli pertama Blade Electron Mark V dengan diskon AU$ 1,500 sehingga harganya AU$ 48.000 (sekitar Rp 400 juta) dengan garansi lima tahun dan jaminan pembelian kembali yang lebih tinggi dalam tiga tahun. BEH juga menawarkan dengan sistem sewa (leasing).
Ajang tadi dilengkapi pula dengan test drive. Dalam test drive yang dilakukan organisasi Clean Driving di Canberra bulan lalu, menempuh jarak 86 kilometer sedan ini melaju dengan kecepatan rata-rata 65,2 kilometer per jam. Kalau mau dimaksimalkan, kecepatan puncaknya dapat mencapai 120 kilometer per jam.
Clean Driving mengklaim Blade Electron Mark V cuma membutuhkan lima sen (dengan standar listrik pembangkit energi terbarukan Australia) per kilometernya.
Kini Blade Electron yang dirintis tahun 2006 di negara bagian Victoria sudah berproduksi sejak 2008 dengan 55 persen kandungan lokal Australia. Blade Electron mulai terlihat di jalanan di berbagai negara bagian Australia, bahkan sudah diekspor ke Selandia Baru.
Pengembangan EV
ACT sudah melakukan pendaftaran pertama mobil elektrik (EV), yakni Blade Electron dan menerima empat iMiEV keluaran Mitsubishi, sebagaimana diberitakan Mingguan CityNews pekan ini. Empat dari 20 iMiEV itu dimaksudkan untuk menguji kesiapan infrastruktur mobil elektrik di Canberra. Tahun 2010 ini, Australia akan menerima 110 iMiEV
Sebelumnya, ACT telah menandatangani nota kesepahaman dengan Produsen mobil Nissan-Renault guna mengembangkan kebijakan untuk memperkenalkan mobil elektrik di ACT.
Canberra bertelad menjadi ibukota EV yang ditandai adanya kontrak ACT dengan Better Place selaku perusahaan penyedia infrastruktur EV dan ActewAGL yang mengoperasikan jaringan listrik. Dengan kontrak itu, Better Place akan menyediakan tempat pengisian baterai cepat dan tempat penukaran baterai (battery-swapping) di Canberra mulai semester kedua tahun 2011.
Dengan demikian, mobil elektrik makin kuat. Tidak saja tersedia secara komersial, tapi juga mendapat dukungan politik untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan pemanasan global.
BOX: Spesifikasi Blade Electron Mark V
Jenis: empat tempat duduk, empat pintu samping dan pintu belakang hatchback
Jenis penggunaan: seputar kota dengan jangkauan 100 kilometer (bervariasi tergantung muatan, gaya menyetir, penggunaan asesoris, dll)
Power maksimum :35 kW @ 3000‐5000 rpm
Torsi maksimum : 90 Nm @ 0‐4000 rpm
Kinerja: 0-60 kilometer per jam dalam tujuh detik.
Kecepatan maksimal : 120 kilometer per jam
Baterai : Non‐combustible Lithium Iron Phosphate (LiFePo4)
Driven Wheels: 2WD
Panjang 3835 mm Wheelbase: 2455 mm
Lebar: 1665 mm
Tinggi: 1500 mm
Berat: 1185kg
* Tulisan ini dimuat di Harian Ekonomi "Bisnis Indonesia" Edisi Minggu, 30 Oktober 2010.
Canberra Bersiap Jadi Ibukota Mobil Elektrik
Canberra bersiap menjadi ibukota mobil elektrik (EV) yang ditandai dengan pendaftaran pertama sebuah EV, yakni Blade Electron buatan Australia dan tibanya iMiEV keluaran Mitsubishi, sebagaimana diberitakan Mingguan CityNews pekan ini.
Empat dari 20 iMiEV itu dimaksudkan untuk menguji kesiapan infrastruktur mobil elektrik di Canberra. Tahun 2010 ini, Australia akan menerima 110 iMiEV yang memakan waktu sekitar tujuh jam untuk terisi penuh baterainya dan dapat menempuh 140-160 kilometer tiap kali pengisian baterai (charge).
Dengan waktu pengisian baterai yang sama, Blade Electron mengklaim hanya membutuhkan AU$ 2 per 100 kilometer. Namun Blade Electron baru akan berproduksi penuh tahun depan, dengan kapasistas sebuah EV per hari yang 75 persennya buatan Australia.
Sebelumnya, Pemerintah Wilayah Ibukota Australia (Australian Capital Territory/ACT) telah menandatangani nota kesepahaman dengan Nissan-Renault guna mengembangkan kebijakan untuk memperkenalkan EV di ACT.
Infrastruktur
Kesiapan Canberra sebagai ibukota EV juga ditandai adanya kontrak ACT dengan Better Place selaku perusahaan penyedia infrastruktur EV dan ActewAGL yang mengoperasikan jaringan listrik. Dengan kontrak itu, Better Place akan menyediakan tempat pengisian baterai cepat dan tempat penukaran baterai (battery-swapping) di Canberra mulai semester kedua tahun 2011.
Jaringan penuh dan ketersediaan kendaraan diharapkan pada 2012 yang menjadikan Canberra, kota pertama di Australia yang memiliki infrastruktur EV.
Dari website resminya, Better Place bakal menyediakan pengisian baterai pribadi di rumah, akses ke jaringan pengisian baterai di tempat kerja dan tempat publik, akses ke pengisian ulang instan berupa stasiun penukaran baterai serta layanan untuk membantu pengendara mengetahui kapan dan dimana untuk melakukan pengisian baterai.
Better Place juga menjanjikan 100 persen penggunaan listrik yang ramah lingkungan (green electricity) di Australia. Dengan demikian EV akan menjadi kendaraan yang bebas polusi, mendukung energi terbarukan dan sekaligus menjadi solusi terintegrasi yang peduli keberlanjutan lingkungan sekitarnya.
* Tulisan ini disumbangkan ke www.energiterbarukan.net dan buletin Energi Hij@au
Empat dari 20 iMiEV itu dimaksudkan untuk menguji kesiapan infrastruktur mobil elektrik di Canberra. Tahun 2010 ini, Australia akan menerima 110 iMiEV yang memakan waktu sekitar tujuh jam untuk terisi penuh baterainya dan dapat menempuh 140-160 kilometer tiap kali pengisian baterai (charge).
Dengan waktu pengisian baterai yang sama, Blade Electron mengklaim hanya membutuhkan AU$ 2 per 100 kilometer. Namun Blade Electron baru akan berproduksi penuh tahun depan, dengan kapasistas sebuah EV per hari yang 75 persennya buatan Australia.
Sebelumnya, Pemerintah Wilayah Ibukota Australia (Australian Capital Territory/ACT) telah menandatangani nota kesepahaman dengan Nissan-Renault guna mengembangkan kebijakan untuk memperkenalkan EV di ACT.
Infrastruktur
Kesiapan Canberra sebagai ibukota EV juga ditandai adanya kontrak ACT dengan Better Place selaku perusahaan penyedia infrastruktur EV dan ActewAGL yang mengoperasikan jaringan listrik. Dengan kontrak itu, Better Place akan menyediakan tempat pengisian baterai cepat dan tempat penukaran baterai (battery-swapping) di Canberra mulai semester kedua tahun 2011.
Jaringan penuh dan ketersediaan kendaraan diharapkan pada 2012 yang menjadikan Canberra, kota pertama di Australia yang memiliki infrastruktur EV.
Dari website resminya, Better Place bakal menyediakan pengisian baterai pribadi di rumah, akses ke jaringan pengisian baterai di tempat kerja dan tempat publik, akses ke pengisian ulang instan berupa stasiun penukaran baterai serta layanan untuk membantu pengendara mengetahui kapan dan dimana untuk melakukan pengisian baterai.
Better Place juga menjanjikan 100 persen penggunaan listrik yang ramah lingkungan (green electricity) di Australia. Dengan demikian EV akan menjadi kendaraan yang bebas polusi, mendukung energi terbarukan dan sekaligus menjadi solusi terintegrasi yang peduli keberlanjutan lingkungan sekitarnya.
* Tulisan ini disumbangkan ke www.energiterbarukan.net dan buletin Energi Hij@au
“Menyelamatkan” Tiap Potong Roti Bagi Yang Membutuhkan
Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan lebih dari satu miliar orang di dunia mengalami kelaparan. Berarti tiap 1 dari 6 orang di bumi tidak cukup mendapatkan pangan. Benarkah dunia mengalami kekurangan pangan?
Sebetulnya yang terjadi adalah ketidakmerataan dan ketidakadilan yang dilanggengkan oleh sistem dan struktur. Pasalnya penulis kerap menyaksikan dengan hati pedih, roti segar (dalam jumlah banyak) yang dibuang begitu saja ke tempat sampah.
Ini karena sistem ekonomi di negara-negara maju menempatkan roti segar sebagai produk unggul. Untuk menjaga 'kesegaran' itu, roti harus keluar dari pemanggang di hari yang sama. Dengan demikian, produk yang tidak habis terjual hari itu akan terdampar di tempat sampah atas nama 'kesegaran'.
Cara-cara untuk 'menyelamatkan' roti dengan diskon di penghujung hari, itu bertentangan dengan sistem ekonomi yang menempatkan 'kesegaran' sebagai produk unggul.
Mendermakan roti segar begitu saja, ternyata 'dibayangi' tuntutan apabila yang memakannya mengalami gangguan kesehatan. Maka orang-orang macam Stanislawa Dabrowski adalah 'pahlawan penyelamat' setiap potong roti segar bagi yang membutuhkan.
Nenek 84 tahun yang akrab disapa Stasia ini berkeliling suburb Canberra untuk mengumpulkan roti segar yang disumbangkan pemilik gerai. Ia mengolahnya untuk disajikan dengan sup yang ia masak bagi para tuna wisma dan orang-orang yang membutuhkan.
Tentang Stasia bisa Anda baca di halaman Profil Harian Umum Sinar Harapan edisi Rabu, 13 Oktober 2010.
Sebetulnya yang terjadi adalah ketidakmerataan dan ketidakadilan yang dilanggengkan oleh sistem dan struktur. Pasalnya penulis kerap menyaksikan dengan hati pedih, roti segar (dalam jumlah banyak) yang dibuang begitu saja ke tempat sampah.
Ini karena sistem ekonomi di negara-negara maju menempatkan roti segar sebagai produk unggul. Untuk menjaga 'kesegaran' itu, roti harus keluar dari pemanggang di hari yang sama. Dengan demikian, produk yang tidak habis terjual hari itu akan terdampar di tempat sampah atas nama 'kesegaran'.
Cara-cara untuk 'menyelamatkan' roti dengan diskon di penghujung hari, itu bertentangan dengan sistem ekonomi yang menempatkan 'kesegaran' sebagai produk unggul.
Mendermakan roti segar begitu saja, ternyata 'dibayangi' tuntutan apabila yang memakannya mengalami gangguan kesehatan. Maka orang-orang macam Stanislawa Dabrowski adalah 'pahlawan penyelamat' setiap potong roti segar bagi yang membutuhkan.
Nenek 84 tahun yang akrab disapa Stasia ini berkeliling suburb Canberra untuk mengumpulkan roti segar yang disumbangkan pemilik gerai. Ia mengolahnya untuk disajikan dengan sup yang ia masak bagi para tuna wisma dan orang-orang yang membutuhkan.
Tentang Stasia bisa Anda baca di halaman Profil Harian Umum Sinar Harapan edisi Rabu, 13 Oktober 2010.
Abundant Versus Scarcity
Di antara kaum tuna wisma, tak jarang terlihat eksekutif berdasi ikut antri sup dan roti gratis yang Stanislawa Dabrowski bagikan di pusat ibukota Canberra tiap Jumat petang. Bagi nenek 84 tahun yang dikenal sebagai “The Soup Lady” ini, hal itu tidak masalah dan tidak ada yang perlu dibeda-bedakan.
“Saya mendapatkannya dengan cuma-cuma, maka saya memberikannya juga dengan cuma-cuma,” jawab Stanislawa yang akrab disapa Stasia.
Di mataku hal itu semacam moral hazard. Tak sepantasnya orang berdasi mendapatkan roti dan sup gratis yang sedianya ditujukan bagi kaum papa dan tuna wisma. Menjadi alumni sekolah bisnis dan manajemen, aku memandang sumber daya sebagai produk langka, bukan sesuatu yang patut 'salah peruntukkan' bagi orang yang tidak layak menerimanya.
Namun bagi Stasia, sumber daya itu akan datang dengan sendirinya. Di matanya, seolah sumber daya itu merupakan kasih dan kemurahan yang melimpah-limpah, yang tiada habisnya.
Dan memang ia tidak salah. Sepanjang menjadi relawan the Soup Kitchen, hampir setiap kali ada yang memberikan sesuatu bagi karya amal Stasia itu, mulai dari uang recehan sampai mobil van dari Pemerintah Wilayah Ibukota Australia (ACT).
Ini mengingatkan pada pola pikir dan law of attraction. Bila kita memandang sumber daya itu melimpah (abundant), pola pikir itu akan 'menarik' sumber daya yang melimpah tadi kepada kita.
Meski tidak sesederhana itu, namun cara pandang dan energi positif ini membuatku merindukan Stasia.
“Saya mendapatkannya dengan cuma-cuma, maka saya memberikannya juga dengan cuma-cuma,” jawab Stanislawa yang akrab disapa Stasia.
Di mataku hal itu semacam moral hazard. Tak sepantasnya orang berdasi mendapatkan roti dan sup gratis yang sedianya ditujukan bagi kaum papa dan tuna wisma. Menjadi alumni sekolah bisnis dan manajemen, aku memandang sumber daya sebagai produk langka, bukan sesuatu yang patut 'salah peruntukkan' bagi orang yang tidak layak menerimanya.
Namun bagi Stasia, sumber daya itu akan datang dengan sendirinya. Di matanya, seolah sumber daya itu merupakan kasih dan kemurahan yang melimpah-limpah, yang tiada habisnya.
Dan memang ia tidak salah. Sepanjang menjadi relawan the Soup Kitchen, hampir setiap kali ada yang memberikan sesuatu bagi karya amal Stasia itu, mulai dari uang recehan sampai mobil van dari Pemerintah Wilayah Ibukota Australia (ACT).
Ini mengingatkan pada pola pikir dan law of attraction. Bila kita memandang sumber daya itu melimpah (abundant), pola pikir itu akan 'menarik' sumber daya yang melimpah tadi kepada kita.
Meski tidak sesederhana itu, namun cara pandang dan energi positif ini membuatku merindukan Stasia.
PROFIL: Stanislawa Dabrowski
“Soup Lady” Yang Tidak Memikirkan Diri Sendiri
Tidak biasanya perempuan lanjut usia ini memperlihatkan raut muka bermuram durja. Kali ini wajahnya yang diwarnai keriput kehilangan keceriaan, bola matanya tak lagi berbinar. Meski ia tetap menyambut penulis dengan pelukan hangat, kali ini ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.
“Dokter memvonis tulang kaki saya telah mati, jadi harus diamputasi. Saya tidak bisa datang lagi menjemput roti. Lalu bagaimana nanti the Soup Kitchen? Tidak ada lagi yang menyediakan roti dan sup,” kata Stanislawa Dabrowski kepada penulis ketika menjemput roti di sebuah pusat perbelajaan di selatan Canberra, awal September lalu.
Pernyataan yang mengejutkan tadi segera membuat paham relawan yang membantunya mengemas roti hari itu. Namun yang lebih mengejutkan lagi, Stasia mengulangi berkali-kali kekuatirannya tidak ada yang menyediakan roti dan sup bagi kaum tuna wisma dan mereka yang membutuhkan di pusat kota Canberra.
Sampai-sampai ia bercucuran air mata. Bukannya menangisi vonis dokter dan kondisi kaki yang jalannya sudah pincang, tapi justru ia mengkuatirkan kaum tuna wisma yang selama 30 tahun terakhir ia layani secara sukarela.
Sebenarnya penurunan kondisi kesehatan Stasia – panggilan akrab Stanislawa Dabrowski – sudah berlangsung berbulan-bulan. Ia mengaku mengalami sakit seluruh badan sejak ditabrak orang ketika menjemput roti di pusat perbelanjaan yang lain.
“Ketika orang sudah menua, sel-sel tubuh tidak lagi mengalami regenerasi dengan cepat sehingga tak mudah pulih. Jadi saya berdamai dengan rasa sakit,” komentar Stasia tentang sakitnya.
Itu pun ia masih bersyukur karena pada usianya yang sudah 84 tahun, ia tidak mengalami patah tulang meski terpelanting karena mobil yang menabraknya melaju dengan kencang. Sebagai mantan perawat, Stasia paham ada organ tubuhnya yang mengalami kerusakan setelah ia jatuh terpelanting.
Namun setelah menjalani perawatan dan dinyatakan sehat, nenek mungil itu kembali menyetir sendiri mobil van untuk mengangkut roti dan sup. Tubuhnya yang tidak lebih tinggi dari 1,5 meter seakan tenggelam di balik kemudi kendaraan besar bertuliskan dengan bangga didukung oleh pemerintah Wilayah Ibukota Australia (Australia Capital Territory/ACT).
Memikirkan Sesama
Inilah perempuan berhati malaikat yang oleh warga Canberra dikenal sebagai the Soup Lady. Pada tahun-tahun awal, dengan kocek pribadi, ia memulai menyediakan roti dan sup hangat bagi kaum tuna wisma di ujung tahun 1979. Kegiatannya tiap Jumat petang itu kemudian dikenal sebagai the Soup Kitchen.
Itu terjadi justru setelah putranya mengalami ketergantung narkotika. Stasia memilih tidak sekedar memikirkan diri sendiri, namun sebaliknya berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain.
Itu pun bukan untuk pertama kalinya. Perempuan kelahiran Polandia itu mengalami kekejaman Perang Dunia pertama dan kedua yang menghancurkan keluarganya sampai menyeretnya ke kamp kerja paksa. Karenanya pascaperang, ia memilih menjadi perawat.
Setelah menikah dan memiliki seorang putra, Stasia bersama suaminya bermigrasi ke Australia. Kembali Stasia mengikuti panggilan hatinya mengabdi untuk orang lain, bergabung dengan layanan darurat Palang Merah Australia.
Tidak putusnya ia membaktikan diri bagi yang orang lain, meski kini usianya sudah senja dan didera rasa sakit. Tak heran ia menjadi kebanggaan dan inspirasi bagi warga Canberra, bahkan warga Australia pada umumnya.
BOX: Berbagai Penghargaan
Calon Warga ACT Abad Ini
Dimulai tahun 1996, Stasia meraih penghargaan Warga Canberra (Canberra Citizen of the Year). Menyusul tiga tahun kemudian, ia terpilih sebagai Lansia Asutralia (Senior Australian of the Year) dari negara bagian Wilayah Ibukota Australia (ACT).
Lalu di tahun 2005, negara bagian ACT memberi penghormatan ACT Honour Walk. ACT juga menyumbangkan sebuah mobil van putih yang kedua pintu depannya bertuliskan “The Kitchen Soup dengan bangga didukung ACT.” Hingga saat ini nenek mungil itu masih menyetir sendiri mobil van besar tadi untuk menjemput dan mengantar roti, sup dan lain-lain,
Australian Broadcasting Corporation (ABC) menobatkannya sebagai salah satu Pahlawan Tanpa Nyanyian (Unsung Heroes)/ Pasalnya ia dianggap menjadi inspirasi bagi warga Australia.
Menjelang Olimpiade Beijng 2008, Stasia mendapat kehormatan sebagai salah satu pembawa obor olimpiade ketika tiba di Canberra.
“ Usia saya sudah 82 tahun, tapi saya merasa semuda 28 tahun,” kata Stasia dikutip kantor berita Xinhua saat itu,
Kini ACT kembali mencalonkan Stasia untuk mendapat penghargaan sebagai Warga
ACT Abad Ini (ACT Citizen of the Century). Tak heran warga Canberra yang menyebut diri Canberrans begitu bangga pada nenek yang dijuluki the Soup Lady.
Seluruh penghargaan dan penghormatan tersebut tidak membuat Stasia berhenti atau berpuas diri. Ia menandaskan dirinya akan pensiun kalau sudah berada berkalang tanah.
* Penulis adalah mantan jurnalis Sinar Harapan yang kini menetap di selatan Canberra
Tidak biasanya perempuan lanjut usia ini memperlihatkan raut muka bermuram durja. Kali ini wajahnya yang diwarnai keriput kehilangan keceriaan, bola matanya tak lagi berbinar. Meski ia tetap menyambut penulis dengan pelukan hangat, kali ini ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.
“Dokter memvonis tulang kaki saya telah mati, jadi harus diamputasi. Saya tidak bisa datang lagi menjemput roti. Lalu bagaimana nanti the Soup Kitchen? Tidak ada lagi yang menyediakan roti dan sup,” kata Stanislawa Dabrowski kepada penulis ketika menjemput roti di sebuah pusat perbelajaan di selatan Canberra, awal September lalu.
Pernyataan yang mengejutkan tadi segera membuat paham relawan yang membantunya mengemas roti hari itu. Namun yang lebih mengejutkan lagi, Stasia mengulangi berkali-kali kekuatirannya tidak ada yang menyediakan roti dan sup bagi kaum tuna wisma dan mereka yang membutuhkan di pusat kota Canberra.
Sampai-sampai ia bercucuran air mata. Bukannya menangisi vonis dokter dan kondisi kaki yang jalannya sudah pincang, tapi justru ia mengkuatirkan kaum tuna wisma yang selama 30 tahun terakhir ia layani secara sukarela.
Sebenarnya penurunan kondisi kesehatan Stasia – panggilan akrab Stanislawa Dabrowski – sudah berlangsung berbulan-bulan. Ia mengaku mengalami sakit seluruh badan sejak ditabrak orang ketika menjemput roti di pusat perbelanjaan yang lain.
“Ketika orang sudah menua, sel-sel tubuh tidak lagi mengalami regenerasi dengan cepat sehingga tak mudah pulih. Jadi saya berdamai dengan rasa sakit,” komentar Stasia tentang sakitnya.
Itu pun ia masih bersyukur karena pada usianya yang sudah 84 tahun, ia tidak mengalami patah tulang meski terpelanting karena mobil yang menabraknya melaju dengan kencang. Sebagai mantan perawat, Stasia paham ada organ tubuhnya yang mengalami kerusakan setelah ia jatuh terpelanting.
Namun setelah menjalani perawatan dan dinyatakan sehat, nenek mungil itu kembali menyetir sendiri mobil van untuk mengangkut roti dan sup. Tubuhnya yang tidak lebih tinggi dari 1,5 meter seakan tenggelam di balik kemudi kendaraan besar bertuliskan dengan bangga didukung oleh pemerintah Wilayah Ibukota Australia (Australia Capital Territory/ACT).
Memikirkan Sesama
Inilah perempuan berhati malaikat yang oleh warga Canberra dikenal sebagai the Soup Lady. Pada tahun-tahun awal, dengan kocek pribadi, ia memulai menyediakan roti dan sup hangat bagi kaum tuna wisma di ujung tahun 1979. Kegiatannya tiap Jumat petang itu kemudian dikenal sebagai the Soup Kitchen.
Itu terjadi justru setelah putranya mengalami ketergantung narkotika. Stasia memilih tidak sekedar memikirkan diri sendiri, namun sebaliknya berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain.
Itu pun bukan untuk pertama kalinya. Perempuan kelahiran Polandia itu mengalami kekejaman Perang Dunia pertama dan kedua yang menghancurkan keluarganya sampai menyeretnya ke kamp kerja paksa. Karenanya pascaperang, ia memilih menjadi perawat.
Setelah menikah dan memiliki seorang putra, Stasia bersama suaminya bermigrasi ke Australia. Kembali Stasia mengikuti panggilan hatinya mengabdi untuk orang lain, bergabung dengan layanan darurat Palang Merah Australia.
Tidak putusnya ia membaktikan diri bagi yang orang lain, meski kini usianya sudah senja dan didera rasa sakit. Tak heran ia menjadi kebanggaan dan inspirasi bagi warga Canberra, bahkan warga Australia pada umumnya.
BOX: Berbagai Penghargaan
Calon Warga ACT Abad Ini
Dimulai tahun 1996, Stasia meraih penghargaan Warga Canberra (Canberra Citizen of the Year). Menyusul tiga tahun kemudian, ia terpilih sebagai Lansia Asutralia (Senior Australian of the Year) dari negara bagian Wilayah Ibukota Australia (ACT).
Lalu di tahun 2005, negara bagian ACT memberi penghormatan ACT Honour Walk. ACT juga menyumbangkan sebuah mobil van putih yang kedua pintu depannya bertuliskan “The Kitchen Soup dengan bangga didukung ACT.” Hingga saat ini nenek mungil itu masih menyetir sendiri mobil van besar tadi untuk menjemput dan mengantar roti, sup dan lain-lain,
Australian Broadcasting Corporation (ABC) menobatkannya sebagai salah satu Pahlawan Tanpa Nyanyian (Unsung Heroes)/ Pasalnya ia dianggap menjadi inspirasi bagi warga Australia.
Menjelang Olimpiade Beijng 2008, Stasia mendapat kehormatan sebagai salah satu pembawa obor olimpiade ketika tiba di Canberra.
“ Usia saya sudah 82 tahun, tapi saya merasa semuda 28 tahun,” kata Stasia dikutip kantor berita Xinhua saat itu,
Kini ACT kembali mencalonkan Stasia untuk mendapat penghargaan sebagai Warga
ACT Abad Ini (ACT Citizen of the Century). Tak heran warga Canberra yang menyebut diri Canberrans begitu bangga pada nenek yang dijuluki the Soup Lady.
Seluruh penghargaan dan penghormatan tersebut tidak membuat Stasia berhenti atau berpuas diri. Ia menandaskan dirinya akan pensiun kalau sudah berada berkalang tanah.
* Penulis adalah mantan jurnalis Sinar Harapan yang kini menetap di selatan Canberra
Subscribe to:
Posts (Atom)